Mohon tunggu...
Rifqi Ulinnuha
Rifqi Ulinnuha Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

pecinta filsafat, teologi, tasawuf, psikologi, moderasi agama-toleransi, lingkungan hidup, kemanusiaan, sosial-budaya, gender dan sastra.🪄

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berlin Und Zuneigung #1

14 Agustus 2024   18:12 Diperbarui: 15 Agustus 2024   12:19 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest: Shar(https://pin.it/6nEYyE9LM)

Siaran di televisi mengabarkan bahwa dalam jangka waktu dua minggu lagi akan turun salju di Berlin; tepatnya di seluruh Jerman dan negara-negara Eropa yang lainnya. Ya, siapa yang tidak kenal dengan salah satu kota paling romantis di benua eropa ini. Jerman adalah kasih sayang bagi siapapun yang singgah pada dirinya. Bangunan-bangunan klasik, cerita-cerita lama tentang romansa, trotoar yang selalu ramai oleh pejalan kaki dan lengangnya jalanan dari kendaraan pribadi, Gereja Katedral Koln, Gedung Reichstag, Gerbang Brandenburg, Kastil Neuschwanstein dan keindahan-keindahan tempat romantis dan bersejarah lainnya.

Ketta Charlotte adalah seorang guru di salah satu instansi sekolah di Berlin, yakni Berlin Metropolitan School. BMS adalah salah satu lembaga pendidikan yang menyediakan taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas berskala internasional di Berlin, Jerman. Tidak diragukan lagi, bahwa sekolah ini adalah yang paling benefit di Jerman dan juga dunia---dikarenakan fasilitasnya yang begitu lengkap dan canggih untuk menunjang kegiatan seluruh siswa dalam belajar; baik itu akademik ataupun non-akademik.

Ketta perempuan berusia dua puluh enam tahun itu segera bergegas untuk berangkat menuju ke tempat mengajarnya di BMS. Ia mengajar di elementary school. Sudah hampir empat tahun ia menghabiskan waktunya untuk mengajari anak-anak kecil di sekolah tersebut. Kesabaran yang menurut pandangannya waktu itu memiliki batas. Kini, berubah dan percaya bahwa sabar itu terlalu luas untuk dihitung dengan rumus-rumus matematika.

Waktu pulang dari mengajar Ketta mampir terlebih dahulu ke tempat minum kopi yang sering ia kunjungi sepulang mengajar dari BMS. Varian minuman kesukaannya adalah Caramel Macchiato. Tidak hanya diwaktu pulang sekolah saja. Ketika malam hari; pada saat weekdays dan pagi, siang, sore dan malam hari ia habiskan di tempat ini hanya untuk menikmati bergelas-gelas Caramel Macchiato---tentunya sambil mengerjakan laporan perkembangan siswa. Ia begitu mencintai dunia mengajar atau keguruan, bahkan sudah sejak kecil ia bercita-cita untuk menjadi seorang guru. Bukanlah hal mudah baginya dalam mengejar mimpinya yang sudah terwujud seperti sekarang ini. Banyak sekali rintangan yang harus ia hadapi untuk bisa menjadi seorang guru. Dari tidak setuju ayahnya yang menginginkannya untuk meneruskan perusahaan keluarga; dalam bidang pengembangan teknnologi dan komunikasi di Jerman yang sudah sangat terkenal. Kedua kakak laki-lakinya yang tidak senang melihat dirinya menjadi seorang guru; terutama guru elementary school---sekalipun ia seorang guru di sekolah yang sudah berskala internasional itu.

Tantangan dan rintangan akan selalu ada. Tidak perlu mendapatkannya jauh-jauh. Lingkungan keluarga terkadang adalah salah satu penghambat segala cita-cita. Kata tidak setuju adalah sebuah penghancuran atas segala mimpi yang sudah dirancang dengan baik. Perbedaan sudut pandang dan hal-hal yang prinsipil selalu bisa menjadi bumerang---membuat semuanya hancur dan berantakan; cerita, cinta dan cita-cita adalah korban pertamanya.

Bagi Ketta, unsur-unsur permasalahan selalu bisa disaring dengan kata ma'af dan kepala yang tenang. Dicukupi dan disudahi tanpa ada kata harus dihadapi---sama saja percuma. Kumandang-kumandang katak dipinggiran sungai-sungai dan perkebunan pun tidak akan dapat menerima itu. Terlalu menggantung, kata mereka kalau kita bisa mendengarnya. Hingga sekarang dan detik ini. ayahnya enggan menemuinya dengan alasan malu karena Ketta tidak mau mengembangkan perusahaan milik keluarga yang sangat besar dan benefit itu. Dan lebih memilih menjadi guru yang selalu menyumbangkan hati dan kepalanya pada siswa-siswa. Karena baginya, mengajar adalah cara untuk melatih perasaan, kepekaan dan kesetiaan.

Dan hanya ibunyalah yang mau menjenguknya di apartemen miliknya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari BMS dan tempat favoritnya menikmati segelas kopi hangat ataupun dingin. Waktu itu ibunya seringkali menjenguknya sekaligus mengajaknya untuk pulang ke rumah yang tidak pernah dianggapnya oleh rumah.

"Charlotte, pulanglah dengan Mama ke rumahmu yang sesungguhnya." katanya dalam bahasa Jerman. Mamanya memang suka sekali memanggilnya dengan nama belakangnya itu.

"Ma, rumahku di sini. Tidak ada lagi rumah yang paling nyaman di dunia selain bersama Mama."

"Charlotte,"

"Kalau aku pulang ke rumah berarti sama saja aku mau bunuh diri. Aku masih ingin hidup dan mengabdikan diriku pada ilmu, Ma," katanya sambil meneteskan air mata dan menggenggam erat tangan ibunya. Meyakinkan bahwa ia baik-baik saja.

"Kenapa kamu keras kepala seperti ini?"

"Ma, aku tidak keras kepala. Aku hanya ingin tetap memperjuangkan prinsip dan cita-cita hidupku yang tidak pernah bisa Ayah berikan kepadaku. Aku lelah terus-terusan dihina dan direndahkan oleh ayahku sendiri."

"Charlotte," katanya dengan air mata yang mulai menetes perlahan dan memeluk satu-satunya anak perempuan yang paling ia sayangi itu.

"Ayahmu itu mau yang terbaik untukmu,"

Tapi yang terbaik bagi ayah bukanlah yang terbaik untukku. Aku tahu semua perkatan-perkataan klasik itu adalah kebaikan yang harus diabadikan. Bukankah yang terbaik adalah yang dicita-citaka oleh diri sendiri dan bukanlah kendali dari orang lain. Ya, aku hanya ingin hidup dengan hidupku sendiri dan bukan hidup dengan hidup milik orang lain.

Caramel Macchiato pesanannya sudah datang. Ia taruh di sebelah kanan laptop miliknya yang sudah sedari tadi ia siapkan untuk mengerjakan laporannya---sembari menjelajahi masa-masanya yang lalu dan menyulitkan itu. Ia mulai mengetik dan sesekali melihat lembaran-lembaran berkas yang harus disalin lebih rapih lagi ke dalam Ms. Word. Ia juga sesekali meminum kopi yang sudah dipesannya itu. Semakin sore, suasana di kafe tersebut semakin ramai. Ketta memang sengaja memilih tempat di pojok yang sudah menjadi tempat ritusnya mengerjakan pekerjaannya atau bila waktu luang ia sempatkan untuk membaca buku.

Hampir enam jam Ketta duduk dan fokus dengan laptopnya itu. Segelas kopi pun bertambah menjadi tujuh gelas kopi. Bukan kali pertama ia melakukan kebiasaan yang bisa dikatakan buruk ini. ia terus mengulanginya seperti roda sepeda yang terus berputar. Hari mulai larut dan beberapa menit kemudian ia pun menutup laptopnya, bergegas menuju meja kasir dan segera pulang ke apartemen miliknya.

Sepuluh langkah keluar dari kafe tersebut. Perutnya merasakan sakit hebat. Ini bukanlah pertama kalinya, sudah sering sekali ia merasakan sakit hebat di perutnya ini---bahkan yang paling parahnya ialah ia pingsan ketika sedang mengajar.

Ketta terus memegangi perutnya yang sakit itu dan berjalan pelan sempoyongan. Ia berusaha untuk terus berjalan sambil memegangi dinding toko yang berjejeran tanpa jeda. Semakin lama ia sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakitnya itu dan ia pun pingsan.

***

Perlahan Ketta membuka matanya menatap ke arah langit-langit ruangan. Ia merasakan tubuhnya berbaring disebuah ranjang empuk. Kini, matanya sudah terbuka sempurna. Ia melihat ke arah kanan dan terlihat seorang laki-laki yang tidak asing baginya. Ia berusaha terus mengingat siapa laki-laki yang ada di sampingnya itu. Sepuluh menit berlalu dan kepalanya tidak berhasil mengingatnya.

Belum juga sempat Ketta bertanya bahwa ia sedang ada di mana, laki-laki itu tersenyum lebar dan berkata "Kamu sedang ada di rumah sakit."

"Kamu... bukannya kamu pekerja di Medios-Apotheke Oranienburger Tor?"

Laki-laki itu menanganggukkan kepalanya "Iya. Aku seorang apoteker dan sekaligus pemilik apotek itu."

Ketta melirikkan matanya ke arah lain, menarik napas dalam-dalam mencoba untuk menenangkan dirinya sebelum bertanya apa yang terjadi pada dirinya hingga harus masuk ke rumah sakit.

"Ada apa denganku?"

Bukannya menjawab pertanyaan dari Ketta, justru laki-laki itu memperkenalkan dirinya "Panggil saja, Joe."

"Aku tidak menanyakan namamu siapa,"

"Aku juga tidak memintamu bertanya seperti itu."

Hah? Manusia ini kok aneh sekali. Belum juga satu hari mengenalnya, tapi dia sudah berhasil membuatku kesal. Menyebalkan sekali, kata Ketta dalam hatinya.

"Aku ulangi lagi, kenapa aku bisa di sini?"

"Sepulang dari apotek. Aku melihatmu pingsan di depan toko kue, aku khawatir dengan keadaanmu dan langsung membawamu ke rumah sakit."

"Seharusnya kamu tidak perlu membaku ke rumah sakit segala. Itu cuma sakit perut biasa saat aku datang bulan." katanya dengan ringan.

Joe menggelengkan kepalanya, wajahnya berubah menjadi serius. Alisnya menukik tajam seperti singa yang akan memakan mangsanya. Tapi tidak. Joe ingin memberitahukan hal yang sangat serius itu pada Ketta. Joe meraih tangan Ketta dan menggenggamnya erat.

"Gagal ginjal, stadium 3B."

Wajah Ketta begitu terkejut mendengarnya. Ia tidak menyangka bahwa akan mendengarkan kabar yang tidak pernah terlintas di dalam benaknya itu. Gagal ginjal, stadium 3B. Ia tidak bisa membanyangkan akan seperti apa hidupnya nanti. Ia sering sekali mendengar tentang penyakit yang bisa mengancam nyawanya itu; bila tidak segera menemukan seseorang yang tepat untuk mendonorkan ginjal padanya. Apa hidupku harus sesedih ini? Apa aku harus berakhir dengan kisah hidupku yang ganjil dan tidak pernah berpihak padaku sekalipun. Tuhan, bila kau memang adil. Lalu, kenapa engkau menyakitiku dengan cara seperti ini? harus seperti inikah jalan untuk mempertebal keyakinanku padamu. Apa masih kurang bahwa ayahku sudah membenciku dan tidak suka dengan semua mimpi-mimpiku? Bolehkah aku berkata pada-Mu bahwa ini adalah rencana paling keterlaluan? Tuhan, aku lelah dengan semua rencana-rencanamu itu. Terserah, aku pasrah bila kamu ingin terus menyakitiku.

Tidak dirasai sendiri olehnya, air matanya mengalir deras ke pipinya. Joe yang melihatnya langsung menyeka air mata itu.

"Namamu siapa?" Joe berusaha untuk mengalihkan kesedihan yang terlukis di wajah Ketta.

"Untuk apa?"

"Kamu sering sekali membeli obat sakit perut di apotekku. Sampai hapal betul aku dengan wajahmu, tapi tidak tahu namamu."

"Ketta Charlotte," katanya berusaha untuk tetap tegar di antara kegelisahan dan ketakutan yang masih ramai di dalam hati dan kepalanya.

"Jangan sedih. Aku bisa terus menemanimu bila mau,"

"Tidak usah."

"Untuk sementara, kamu harus cuci darah selama seminggu sekali."

"Tidak usah!"

"Tidak takut mati?"

Ya, jelas sekali Ketta sangat takut akan hal itu. Ia masih ingin terus mewujudkan mimpinya untuk membagikan ilmunya sampai usia seribu tahun. Itu memang aneh dan sebuah ketidak mungkinan yang tidak akan bisa terjadi pada dirinya.

"Kalau kamu tidak ingin melakukan cuci darah, aku bisa saja memberitahu keluargamu tentang ini." katanya sambil menunjukkan handphone milik Ketta.

Mata Ketta terbelalak mendengar Joe mengancamnya seperti itu. Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia ingin sekali semua keluarganya tahu tentang penyakitnya ini. Lagi-lagi ia berpikir lebih jauh dan lama, bahwa tidak perlu untuk memberitahukan hal ini pada keluarganya. Ia tidak mau Mamanya khawatir, hanya itu saja. Ayah mungkin akan tertawa hebat melihat kondisiku yang seperti ini. "Jangan, Joe!! Kenapa kamu mengancamku seperti itu?!"

"Karena..." Joe menghentikan kalimatnya yang menjadi sebuah kata saja.

"Karena apa?"

"Karena banyak anak-anak yang harus kamu berikan ilmu keabadian dan kamu harus hidup selama seribu tahun lagi, Ketta."

"Kamu tahu dari mana tentang mimpiku itu?"

Joe menundukkan kepalanya, wajahnya terlukis begitu banyak rasa bersalah yang siap-siap ia sampaikan pada Ketta.

"Ma'af, selama enam jam kamu belum sadar. Saya tidak sengaja membaca buku harianmu yang tergeletak di sampingmu waktu kamu pingsan. Sekali lagi saya minta ma'af padamu."

Ketta tersenyum lebar, lalu ia berkata "Nggak apa-apa. Justru aku senang sekali, karena ada seseorang yang mau membaca isi kepala dan hatiku yang begitu hancur."

"Nggak mau marah?"

"For what?"

"Hati seorang guru benar-benar lapang ya,"

Ketta tidak menyangka akan bertemu manusia; tepatnya seorang laki-laki yang benar-benar mengahargai mimpi-mimpinya itu. Di dalam dadanya seperti ada pelangi dan ribuan kupu-kupu yang sedang berterbangan memenuhinya. Senang dan begitu bahagia disaat-saat yang seharusnya membuatnya sedih karena dekat dengan kata pulang.

-Bersambung-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun