Mohon tunggu...
Rifqi Ulinnuha
Rifqi Ulinnuha Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

pecinta filsafat, teologi, tasawuf, psikologi, moderasi agama-toleransi, lingkungan hidup, kemanusiaan, sosial-budaya, gender dan sastra.🪄

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berlin dan Kasih Sayang #1

14 Agustus 2024   18:12 Diperbarui: 14 Agustus 2024   18:13 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest: Shar(https://pin.it/6nEYyE9LM)

"Kalau aku pulang ke rumah berarti sama saja aku mau bunuh diri. Aku masih ingin hidup dan mengabdikan diriku pada ilmu, Ma," katanya sambil meneteskan air mata dan menggenggam erat tangan ibunya. Meyakinkan bahwa ia baik-baik saja.

"Kenapa kamu keras kepala seperti ini?"

"Ma, aku tidak keras kepala. Aku hanya ingin tetap memperjuangkan prinsip dan cita-cita hidupku yang tidak pernah bisa Ayah berikan kepadaku. Aku lelah terus-terusan dihina dan direndahkan oleh ayahku sendiri."

"Charlotte," katanya dengan air mata yang mulai menetes perlahan dan memeluk satu-satunya anak perempuan yang paling ia sayangi itu.

"Ayahmu itu mau yang terbaik untukmu,"

Tapi yang terbaik bagi ayah bukanlah yang terbaik untukku. Aku tahu semua perkatan-perkataan klasik itu adalah kebaikan yang harus diabadikan. Bukankah yang terbaik adalah yang dicita-citaka oleh diri sendiri dan bukanlah kendali dari orang lain. Ya, aku hanya ingin hidup dengan hidupku sendiri dan bukan hidup dengan hidup milik orang lain.

Caramel Macchiato pesanannya sudah datang. Ia taruh di sebelah kanan laptop miliknya yang sudah sedari tadi ia siapkan untuk mengerjakan laporannya---sembari menjelajahi masa-masanya yang lalu dan menyulitkan itu. Ia mulai mengetik dan sesekali melihat lembaran-lembaran berkas yang harus disalin lebih rapih lagi ke dalam Ms. Word. Ia juga sesekali meminum kopi yang sudah dipesannya itu. Semakin sore, suasana di kafe tersebut semakin ramai. Ketta memang sengaja memilih tempat di pojok yang sudah menjadi tempat ritusnya mengerjakan pekerjaannya atau bila waktu luang ia sempatkan untuk membaca buku.

Hampir enam jam Ketta duduk dan fokus dengan laptopnya itu. Segelas kopi pun bertambah menjadi tujuh gelas kopi. Bukan kali pertama ia melakukan kebiasaan yang bisa dikatakan buruk ini. ia terus mengulanginya seperti roda sepeda yang terus berputar. Hari mulai larut dan beberapa menit kemudian ia pun menutup laptopnya, bergegas menuju meja kasir dan segera pulang ke apartemen miliknya.

Sepuluh langkah keluar dari kafe tersebut. Perutnya merasakan sakit hebat. Ini bukanlah pertama kalinya, sudah sering sekali ia merasakan sakit hebat di perutnya ini---bahkan yang paling parahnya ialah ia pingsan ketika sedang mengajar.

Ketta terus memegangi perutnya yang sakit itu dan berjalan pelan sempoyongan. Ia berusaha untuk terus berjalan sambil memegangi dinding toko yang berjejeran tanpa jeda. Semakin lama ia sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakitnya itu dan ia pun pingsan.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun