Senjata nuklir merupakan senjata rudal yang menggunakan reaksi nuklir sebagai tenaga utama peledaknya. Kuatan ton TNT ledakan dari suatu senjata nuklir bisa berkisar dari 10-ton TNT (senjata W54) sampai 50-megaton TNT (senjata Tsar Bomba).
Amerika Serikat telah menggunakan senjata nuklir pada masa Perang Dunia II untuk mengebom kota Hiroshima dan Nagasaki dari Jepang.
Senjata nuklir ini sangat berelevansi pada masa Perang Dingin. Dimana pada masa tersebut terdapat dua kubu yaitu Kekuatan Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Kekuatan Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet.
Dalam Perang Dingin ini dimana kekuatan tertinggi hanya di tangan Amerika Serikat dan Uni Soviet, kedua negara tersebut secara tegas melakukan banyak aksi dan kebijakan untuk meningkatkan kekuatannya di lingkup internasional. Salah satunya adalah perlombaan senjata dengan melakukan proliferasi senjata nuklir.
Proliferasi senjata nuklir yang dimaksudkan adalah pengembangan dan pembentukan arsenal senjata nuklir negara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dengan adanya kuantitas dan kapabilitas senjata nuklir yang melebihi oposisi tersebut dapat menentukan siapa yang “menang” dalam masa Perang Dingin.
Tetapi karena aksi proliferasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet sangat cepat dan melebihi kapabilitas awal senjata nuklir, kedua negara tersebut akhirnya memiliki kuantitas senjata nuklir yang dengan mudah saja bisa menghancurkan negara oposisi dan juga wilayah sekitarnya.
Dengan senjata nuklir yang disebut sebagai Weapons of Mass Destruction ini terbentuk dilema dimana jika antara Amerika Serikat ataupun Uni Soviet menginisiasikan perang nuklir maka tentu saja negara oposisi akan juga menyerang menggunakan senjata nuklir yang mereka miliki.
Tentu saja ketika dua negara ini berperang dengan seluruh kapabilitas senjata nuklirnya pasti akan dapat dengan mudah memusnahkan secara penuh kedua negara tersebut dan juga berdampak secara drastis terhadap Bumi tersendiri.
Dengan kapabilitas yang dapat memusnahkan seluruh aktor yang terlibat dalam Perang Nuklir ini maka terbentuk konsep deterensi senjata nuklir untuk mengatasi dilema tersebut.
Deterensi senjata nuklir ini dimaksudkan dengan upaya suatu negara untuk memastikan bahwa negara oposisinya tidak akan menyerang dikarenakan risiko dari serangan akan lebih fatal daripada imbalan dari menangnya suatu konflik.
Dalam konteks Perang Dingin ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet dimana sadar bahwa kedua negaranya ini memiliki kapabilitas senjata nuklir yang sangat fatal maka berupaya untuk tetap memastikan bahwa negara oposisi tidak akan menginisiasikan suatu perang dingin dikarenakan konsekuensi dari adanya Perang Nuklir akan dengan mudah memusnahkan kedua negara tersebut.
Tetapi kedua negara itu juga harus sadar bahwa walaupun tidak akan menginisiasikan suatu Perang Dingin tetapi jika terjadi maka harus memiliki kapabilitas untuk menyerang kembali. Dimana Bernard Brodie menyatakan pada tahun 1959 bahwa kedua negara tersebut harus siap dapat menggunakan senjata nuklirnya tetapi tidak digunakan sama sekali dalam Perang Dingin. (Brodie, 1959)
Dengan berakhirnya Perang Dingin pada tahun 1989 dikarenakan Uni Soviet runtuh, pada akhirnya Amerika Serikat merupakan salah satu negara superpower yang memiliki kapabilitas nuklir paling fatal di dunia.
Tetapi dikarenakan tidak ada lagi negara oposisi, Amerika Serikat secara cepat menghentikan aksi proliferasi senjata nuklir negaranya, dan melalukan aksi containment, reduction, dan disarmament terhadap senjata nuklirnya. Tetapi, ada beberapa negara lain yang membentuk dan mengembangkan senjata nuklir pada masa Perang Dingin dan masa Pasca-Perang Dingin.
Negara-negara ini melakukan hal ini supaya tidak tertinggal dari dominasi bipolar Amerika Serikat dan Uni Soviet. Mereka dengan tegas melakukan proliferasi senjata nuklir dan bisa juga menyediakan senjata nuklir tersebut ke organisasi militer lainnya.
Oleh kekuatan senjata nuklir ini yang sangat drastis maka pada masa pasca perang dingin masalah tentang penyebaran dan terutamanya regulasi serta peniadaan penyebaran dan pembentukan senjata nuklir merupakan isu yang sangat penting dalam hubungan internasional untuk menjaga keamanan dunia.
Dengan oleh itu terciptanya traktat Non-Proliferation Treaty pada tahun 1968 yang bertujuan untuk meregulasi dan mengurangi senjata nuklir di dunia. Aksi non-proliferasi dimaksudkan merupakan tindakan suatu negara atau organisasi untuk tidak melakukan pengembangan dan penyebaran senjata nuklir, serta penelitian terhadap senjata lainnya nuklir. Aksi utama non-proliferasi adalah dilakukan suatu disarmament atau perlucutan senaja nuklir.
Disarmament senjata nuklir dan Non-Proliferation Treaty telah disepakati dilakukan karena bahaya ekstrem yang melekat pada perang nuklir dan kepemilikan senjata nuklir. (Gastelum, 2012) Pendukung disarmament senjata nuklir mengatakan bahwa aksi ini akan mengurangi kemungkinan terjadinya perang nuklir.
Dari terbentuknya Non-Proliferation Treaty pada tahun 1968, telah banyak program-program proliferasi senjata nuklir di beberapa negara dihentikan atau dinegosiasikan untuk diregulasikan.
Dalam Non-Proliferation Treaty sendiri terdapat tiga pilar aksi dalam meregulasi senjata nuklir, yang pertama adalah aksi non-proliferasi sendiri, yang kedua adalah aksi disarmament atau perlucutan senjata nuklir yang telah dibentuk, dan terakhir adalah perkembangan penggunaan teknologi nuklir bukan untuk senjata tetapi untuk sumber energi. 191 negara telah meratifikasikan dan melaksanakan tujuan dari terbentuknya Non-Proliferation Treaty tersebut.
Seperti contoh adalah kawasan wilayah Afrika Utara yang dimana pada awal tahun 1990-an telah melaksanakan program perkembangan senjata nuklir, tetapi setelah meratifikasikan Non-Proliferation Treaty, Afrika Utara secara cepat menghentikan perkembangan senjata nuklirnya dan menghancurkan seluruh arsenal atau kapabilitas senjata nuklirnya pada tahun 1991.
Tetapi walaupun sudah dilaksanakan dan diratifikasikan oleh mayoritas negara di dunia, masih terdapat kritik bahwa Non-Proliferation Treaty tersebut belum berhasil dalam tujuannya untuk meregulasi dan menghentikan produksi senjata nuklir.
Akuisisi senjata nuklir oleh negara berkembang seperti Israel pada awal tahun 1960-anm India pada tahun 1974, Pakistan pada tahun 1998, dan Korea Utara pada tahun 2006, memunculkan tantangan baru untuk komunitas internasional dan juga bisa disebut bahwa efektivitas Non-Proliferation Treaty belum sempurna.
Dikarenakan Israel, India, dan Pakistan belum sama sekali meratifikasikan Non-Proliferation Treaty, dan Korea Utara yang dulunya meratifikasikan dan mengikuti Non-Proliferation Treaty tetapi pada tahun 2003 keluar dari Non-Proliferation Treaty.
Dengan masih adanya keempat negara ini yang memiliki dan juga melaksanakan proliferasi senjata nuklir di masa modern, merupakan basis argumen kritikus terhadap pelaksanaan Non-Proliferation Treaty. Banyak yang beranggap bahwa Non-Proliferation Treaty ini merupakan suatu cara dimana negara yang telah memiliki senjata nuklir, seperti Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa, menggunakan Non-Proliferation Treaty untuk menahan perkembangan negara yang belum memiliki kemampuan senjata nuklir yang kuat, dan dapat mendominasi mereka dikarenakan tidak setaranya kapabilitas senjata nuklir tersebut.
Selain itu juga, walaupun Israel, India, dan Pakistan telah lama memiliki kapabilitas proliferasi senjata nuklir, aksi yang dilakukan oleh Non-Proliferation Treaty terhadap ketiga negara ini sangat tidak berdampak dan kadang mendorong negara-negara tersebut untuk tetap melaksanakan proliferasi senjata nuklirnya di masa modern ini. (Matthew Fuhrmann, 2016)
Dengan ini saya berargumentasi bahwa Non-Proliferation Treaty secara implikasi dan kebijakannya tidak terlalu efektif dalam meregulasi negara yang tetap memiliki senjata nuklir, Banyak faktor mengapa Non-Proliferation Treaty tidak memiliki kemampuan untuk memaksa negara tersebut untuk melakukan aksi non-proliferasi terhadap perkembangan senjata nuklirnya.
Yang paling utama adalah karena Non-Proliferation Treaty merupakan traktat yang terbentuk oleh negara-negara internasional tersendiri, aksi yang bisa dikatakan sebagai aksi diplomasi koersif untuk memaksa negara yang melakukan aksi proliferasi senjata nuklir, akan bisa menjadi pemicu terjadinya suatu Perang Nuklir dalam skala global. Selain dari itu, negara-negara yang memiliki senjata nuklir tersebut juga merupakan negara yang masih menggunakan sistem pemerintahan yang otoriter dan tidak akan mau menurunkan kekuatan negaranya untuk kepentingan bersama dunia.
Dampak dari tetap terjadinya proliferasi senjata nuklir sangat banyak yang paling utama pasti adalah kemungkinan terjadinya Perang Nuklir yang mungkin saja terjadi karena ada keliruan sistem deteksi rudal ataupun salah teknikal dalam sistem pengiriman rudal.
Hal yang bisa dikatakan sebagai human error ataupun kejadian yang tidak sengaja ini pasti diliat oleh negara oposisi atau negara lain sebagai tantangan atau inisiasi suatu negara untuk berperang, dan akan pasti akan meretaliasi dengan mengirimkan rudal senjata nuklir kembali ke negara penyerang.
Kejadian yang berasal dari kekonyolan ini akan dapat menyebabkan risiko yang fatal bukan hanya kepada kedua negara itu, tetapi untuk juga lingkup dunia secara global.
Dan dampak yang kedua yang sangat fundamental adalah nuclear waste yang terbentuk dari aksi proliferasi dan perkembangan senjata nuklir tersebut. Walaupun senjata nuklir telah dibentuk secara berkuantitas banyak dan tidak digunakan, dalam proses pembuatannya pasti akan terbentuk suatu waste product yaitu nuclear waste. Nuclear waste ini dapat dengan mudah jika tidak dikontaminasi secara benar, merusak lingkungan negara tersendiri. Dari kualitas udara akan memburuk, kualitas air yang terkontaminasi dari nuclear waste, dan juga efek radiasi yang sangat fatal terhadap tubuh dengan mudah akan menyebar.
Tentunya sangat dibutuhkan suatu traktat atau upaya untuk meregulasi senjata nuklir tersebut, tetapi dikarenakan Non-Proliferation Treaty merupakan traktat yang belum efektif dalam meregulasi senjata nuklir di dunia maka terbentuknya suatu traktat baru yaitu Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons.
Traktat ini terbentuk pada tahun 2017 dan mulai efektif pada tahun 2021 untuk merespons terhadap kritik Non-Proliferation Treaty yang dimana dikatakan belum efektif dan bekerja lambat dalam memenuhi tujuannya. Dalam traktat ini seluruh senjata nuklir yang telah dikembangkan atau dalam proses proliferasi akan secara total dihentikan dan langsung diperlucutkan. Kebijakan ini akan dilakukan secara efektif untuk seluruh negara yang telah meratifikasikan.
Maka dengan ini juga negara superpower seperti Amerika Serikat harus menaati dan melakukan perlucutan senjata nuklirnya yang masih banyak di dalam arsenal militernya.
Traktat ini akan bisa efektif bekerja karena basis dari traktat ini tidak ditentukan oleh suatu dominasi negara tapi terbentuk karena kerja sama dengan organisasi civil society International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. Maka dari itu seluruh desakan atau kebijakan dari traktat ini akan lebih mudah dilaksanakan dan berisiko lebih kecil dikarenakan basisnya dari keinginan masyarakat internasional untuk menghentikan dan memperlucuti seluruh senjata nuklir di dunia. (Gibbons, 2018)
REFERENSI
Brodie, B. (1959). The Anatomy of Deterrence. World Politics Vol. 11, No. 2, 173-191.
Gastelum, Z. (2012). International Legal Framework for Denuclearization and Nuclear Disarmament. Washington: Pacific Northwest National Laboratory.
Gibbons, R. D. (2018). The Humanitarian Turn in Nuclear Disarmament and the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons. The Nonproliferation Review Vol 25, 1-26.
Matthew Fuhrmann, Y. L. (2016). Do Arms Control Treaties Work? Assessing the Effectiveness of the Nuclear Nonproliferation Treaty. International Studies Quarterly, Volume 60, Issue 3, 530–539.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H