Mohon tunggu...
RifqiNuril Huda
RifqiNuril Huda Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fakultas Hukum, Ketua Forum Karang Taruna Kec. Srono, Kab. Banyuwangi, President YOT Banyuwangi, Ketua Badan Eksekutif FH Univ. 17 Agustus 1945 Banyuwangi. Direktur BUMDes "Surya Kebaman". Twitter : @nurilrifqi Ig :rifqinurilhuda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peran "Justice Collabolators" dalam Pengungkapan Tindak Pidana di Indonesia

31 Maret 2018   23:03 Diperbarui: 31 Maret 2018   23:49 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Oleh : Rifqi Nuril Huda

rifqinhuda@gmail.com

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Untag 45' Banyuwangi

Negara Indonesia menyatakan diri sebagai Negara Hukum adalah sebuah pilihan yang sangat tepat dalam sistem ketatanegaraan. Sehingga dalam setiap pengambilan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah ataupun lembaga negara yang non pemerintah haruslah sesuai dengan landasan norma hukum yang sah. Amanat ini di bubuhkan dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang isinya "Negara Indonesia adalah Negara Hukum"[1]. 

Sehingga penegasan dalam konstitusi sudah jelas, dan kedudukan masyarakat dihadapan hukum terdapat juga pada pasal 28 D ayat 1 yang isinya "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum".[2]

Sebagai negara yang berlandaskan pada norma hukum, maka jaminan kesamaan dihadapan hukum Equality Before The Law juga sudah tertulis dalam konstitusi. Sehingga tidak ada hal apapun yang dapat menghalangi berjalannya aturan, karena ada dalam Konstitusi Negara Indonesia.

Membahas mengenai asas kesamaan hak masyarakat dihadapan hukum atau Equality Before The Law,dalam dinamika kehidupan bermasyarakat masih banyak kebijakan pemerintah (Public Policy), aturan hukum, hingga penegakan hukum (Law Enforcement) mengalami kekurangan hingga pada bentuk ketidakadilan kepada para pencari keadilan.

Sehingga perlu adanya evaluasi dalam kehidupan berhukum di Inodnesia, mulai dari pembuatan produk hukumnya, hingga pada proses penegakan hukum. Yang di mana perlindungan hingga kesamaan dihadapan hukum yang kurang optimal. Dalam hal ini, perlindungan terhadap saksi dan korban dalam kasus pidana.

Pada hukum pidana induk sumber hukum materiil dalam penegakan hukum di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan warisan produk Hukum Kolonial yang diterapkan di Indonesia berdasarkan asas konkordasi dan sampai sekarang belum juga disahkannya draf RUU KHUP yang baru.

Di dalam hukum pidana selain sumber hukum materiil terdapat juga terdapat sumber hukum formil yang berfungsi untuk menjalankan hukum materil. Yang dimana dalam pengaturannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Isinya adalah mengatur semua ketentuan beracara pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, hingga putusan bahkan upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Semua itu diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dalam hukum pidana yang di cari adalah kebenaran materiil, terkait hal tersebut di dalam KUHAP diatur mengenai pembuktian, dengan tujuan mencari kebenaran materiil, bewijs diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dalam kamus hukum, bewijs diartikan sebagai segala sesuatu yang memperlihatkan kebenaran fakta tertentu atau ketidakbenaran fakta lain oleh para pihak dalam perkara pengadilan, guna memberi bahan kepada hakim bagi penilaiannya.[3] Sementara itu, membuktikan berarti memperlihatkan bukti dan pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan, atau cara membuktikan. Pengertian bukti, membuktikan, dan pembuktian dalam konteks hukum tidak jauh berbeda dengan pengertian pada umumnya.[4]

Di dalam pasal 183 KUHAP  yaitu hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya[5]. Dan pasal 184 KUHAP menjelaskan alat bukti yang sah ialah a. Keterangan saksi, b. Keterangan ahli, c. Surat, d. Petunjuk, e. Keterangan terdakwa.[6] Dari kedua pasal KUHAP diatas kedudukan alat bukti sangat dibutuhkan dalam proses peradilan tindak pidana.

Dan menurut penulis  keterangan saksi memiliki kedudukan yang esensial, dengan berpedoman pada kedua pasal diatas. 

Dijelaskan juga dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 Mengenai Perlindungan Saksi dan Korban "Saksi adalah orang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri."[7]

Dengan melihat kedudukan saksi  yang sangat esensial dalam kasus tindak pidana, dan melihat fakta yang ada yaitu tidak adanya jaminan secara pasti dalam perlindungan saksi. Maka, perlu adanya penguatan pengaturan perlindungan saksi dalam pengungkapan kasus tindak pidana.

Contoh saja dalam kasus tindak pidana korupsi yang diambil dari laman liputan6.com Koalisi LSM pada Agustus tahun silam. Lembaga yang melaporkan temuan dugaan korupsi di tubuh KPK itu dilaporkan Hamid Awaluddin ke polisi dengan tudingan pencemaran nama baik. Nasib tak jauh berbeda juga dialami Endin Wahyudin yang melaporkan dugaan suap oleh tiga hakim agung. Bukan hakim Yahya Harahap, Supraptini Sutarto, atau Marnis Kahar, yang dijatuhi hukuman, malah pelapor divonis tiga bulan karena mencemarkan nama baik.[8]

dokpri
dokpri
Dari beberapa contoh diatas, masih banyak lagi beberapa kasus yang yang memang tidak menjamin adanya perlindungan terhadap saksi. Tentunya ini ada sebuah ketidak harmonisan pada pernyataan bahwa kedudukan masyarakat dihadapan hukum adalah sama (Equality Before The Law).

Dalam perkembangan ilmu Viktimologi (ilmu yang mempelajari tentang saksi dan korban) ada sebuah istilah yang dinamakan Justice Collabolator yang artinya adalah saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum demi terungkapnya sebuah kasus tindak pidana. Yang dalam hal ini juga diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelaku tindak pidana (Whistleblower)dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collabolators) di dalam perkara tindak pidana tertentu.

Dalam Angka 9 SEMA 4/2011 disebutkan bahwa pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) adalah yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu yang dimaksud dalam SEMA 4/2011 yaitu tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang dan tindak pidana lainnya yang terorganisir dan menimbulkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat.[9] 

Adapun syarat-syarat lain agar seorang pelaku tindak pidana tertentu dapat ditentukan sebagai Justice Collaborator adalah:

Mengakui kejahatan yang dilakukannya;

Bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut;

Memberikan keterangan saksi dalam proses peradilan.

Apabila  dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 Mengenai Perlindungan Saksi dan Korban, seseorang ditetapkan sebagai Justice Collabolatorakan memperoleh empat hak dan perlindungan.

Pertama, Pelindungan hukum; Kedua, Perlindungan fisik dan psikis; Ketiga, penanganan secara khusus dan Keempat memperoleh penghargaan. Untuk penanganan secara khusus, terdapat beberapa hak yang bisa didapatkan seseorang yang ditetapkan sebagai Justice Collabolator diantaranya yaitu, dipisahkan tempat penahanan dari tersangka atau terdakwa lain dari kejahatan yang diungkap, pemberkasan perkara dilakukan terpisah dengan tersangka atau terdakwa lain dalam perkara dilaporkan.

Diperkuat lagi pada pasal 10 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang isinya yaitu :

Ayat 1 "Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik."[10]

 

Ayat 2 "Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan  yang akan, sedang, dan telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap."[11]

 

Maka, dalam pengungkapan kasus tindak pidana peran Justice Collabolatorsebagai saksi yang berperan kooperatif kepada penegak hukum menjadi posisi yang esensial. Dalam pengaturannya  justice collabolatormenurut penulis sudah sesuai, tetapi dalam implementasinya masih jarang terdapat perlindungan yang seharusnya didapatkan. Ini dikarenakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hanya terdapat di Jakarta dan belum tersebar di daerah-daerah. Dan juga seseorang yang dinyatakan sebagai Justice Collabolatorhanya pada kasus-kasus tindak pidana seperti Korupsi, Terorisme, Narkotika, dan Tindak Pidana Pencucian Uang(TPPU), yang memang dalam kategori tindak pidana terorganisir dan sulit dalam pengungkapannya.

 

            Solusi terbaik yaitu perlu adanya aturan tambahan dalam pengaturan justice collabolator,kasus-kasus tindak pidana yang dalam kategori tindak pidana biasa, seperti pencurian, pembunuhan, hingga pencabulan. Supaya dalam pengungkapan kasus tindak pidana dapat terungkap dengan mudah dan tidak terpaku pada kasus-kasus yang dianggap terorganisir dan sulit diungkapkan saja.

 
 
 

[1] Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945  

   

[2] Pasal 28 D Undang-Undang Dasar 1945  

   

[3] Andi Hamzah, Kamus Hukum dalam Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pmbuktian,Penerbit Erlangga, Jakarta, 2012. Hlm. 3

   

[4] Ibid.

   

[5] Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

   

[6] Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 

   

[7] Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 Mengenai Perlindungan Saksi dan Korban

   

[8]http://www.liputan6.com/news/read/99544/perlindungan-saksi-kasus-korupsi-belum-optimal. Diakases Pada Tanggal 30 Maret 2018. Jam 14.25 WIB.

[9]http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt58d33e6281239/perbedaan-saksi-mahkota-dengan-ijusticecollaborator-i. Diakses pada Tanggal 30 Maret 2018 Jam 16.05 WIB.

[10] Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

   

[11] Pasal 10 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun