Mohon tunggu...
RifqiNuril Huda
RifqiNuril Huda Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fakultas Hukum, Ketua Forum Karang Taruna Kec. Srono, Kab. Banyuwangi, President YOT Banyuwangi, Ketua Badan Eksekutif FH Univ. 17 Agustus 1945 Banyuwangi. Direktur BUMDes "Surya Kebaman". Twitter : @nurilrifqi Ig :rifqinurilhuda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peran "Justice Collabolators" dalam Pengungkapan Tindak Pidana di Indonesia

31 Maret 2018   23:03 Diperbarui: 31 Maret 2018   23:49 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam hukum pidana yang di cari adalah kebenaran materiil, terkait hal tersebut di dalam KUHAP diatur mengenai pembuktian, dengan tujuan mencari kebenaran materiil, bewijs diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dalam kamus hukum, bewijs diartikan sebagai segala sesuatu yang memperlihatkan kebenaran fakta tertentu atau ketidakbenaran fakta lain oleh para pihak dalam perkara pengadilan, guna memberi bahan kepada hakim bagi penilaiannya.[3] Sementara itu, membuktikan berarti memperlihatkan bukti dan pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan, atau cara membuktikan. Pengertian bukti, membuktikan, dan pembuktian dalam konteks hukum tidak jauh berbeda dengan pengertian pada umumnya.[4]

Di dalam pasal 183 KUHAP  yaitu hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya[5]. Dan pasal 184 KUHAP menjelaskan alat bukti yang sah ialah a. Keterangan saksi, b. Keterangan ahli, c. Surat, d. Petunjuk, e. Keterangan terdakwa.[6] Dari kedua pasal KUHAP diatas kedudukan alat bukti sangat dibutuhkan dalam proses peradilan tindak pidana.

Dan menurut penulis  keterangan saksi memiliki kedudukan yang esensial, dengan berpedoman pada kedua pasal diatas. 

Dijelaskan juga dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 Mengenai Perlindungan Saksi dan Korban "Saksi adalah orang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri."[7]

Dengan melihat kedudukan saksi  yang sangat esensial dalam kasus tindak pidana, dan melihat fakta yang ada yaitu tidak adanya jaminan secara pasti dalam perlindungan saksi. Maka, perlu adanya penguatan pengaturan perlindungan saksi dalam pengungkapan kasus tindak pidana.

Contoh saja dalam kasus tindak pidana korupsi yang diambil dari laman liputan6.com Koalisi LSM pada Agustus tahun silam. Lembaga yang melaporkan temuan dugaan korupsi di tubuh KPK itu dilaporkan Hamid Awaluddin ke polisi dengan tudingan pencemaran nama baik. Nasib tak jauh berbeda juga dialami Endin Wahyudin yang melaporkan dugaan suap oleh tiga hakim agung. Bukan hakim Yahya Harahap, Supraptini Sutarto, atau Marnis Kahar, yang dijatuhi hukuman, malah pelapor divonis tiga bulan karena mencemarkan nama baik.[8]

dokpri
dokpri
Dari beberapa contoh diatas, masih banyak lagi beberapa kasus yang yang memang tidak menjamin adanya perlindungan terhadap saksi. Tentunya ini ada sebuah ketidak harmonisan pada pernyataan bahwa kedudukan masyarakat dihadapan hukum adalah sama (Equality Before The Law).

Dalam perkembangan ilmu Viktimologi (ilmu yang mempelajari tentang saksi dan korban) ada sebuah istilah yang dinamakan Justice Collabolator yang artinya adalah saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum demi terungkapnya sebuah kasus tindak pidana. Yang dalam hal ini juga diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelaku tindak pidana (Whistleblower)dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collabolators) di dalam perkara tindak pidana tertentu.

Dalam Angka 9 SEMA 4/2011 disebutkan bahwa pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) adalah yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu yang dimaksud dalam SEMA 4/2011 yaitu tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang dan tindak pidana lainnya yang terorganisir dan menimbulkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat.[9] 

Adapun syarat-syarat lain agar seorang pelaku tindak pidana tertentu dapat ditentukan sebagai Justice Collaborator adalah:

Mengakui kejahatan yang dilakukannya;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun