Menurut para ahli psikologis, eksibisonisme termasuk ke dalam sindrom parafilia, sindrom parafilia tersebut merupakan sindrom dimana seseorang yang menunjukkan keterangsangan seksual sebagai respon terhadap stimulus yang tidak biasa menurut DSM-IV paraphilia ini melibatkan dorongan dan fantasi seksual yang berulang dan kuat, yang bertahan selama 6 bulan atau lebih yang berpusat kepada pertama objek bukan manusia seperti pakaian dalam, sepatu, kulit, atau sutra, kedua memiliki perasaan merendahkan atau menyakiti diri sendiri atau pasangannya atau yang ketiga anak-anak dan orang lain yang tidak dapat atau tidak mampu memberikan persetujuan (dalam Nevid, dkk,2005).
Sindrom parafilia ini dapat dilihat dari berbagai macam persepektif antara lain yaitu :
- Perspektif Psikodinamika : Parafilia dipandang sebagai tindakan defensif, melindungi ego agar tidak menghadapi rasa takut dan memori yang direpres dan mencerminkan fiksasi di tahap pra-genital (masa kanak-kanak) dalam perkembangan psikoseksualnya. Individu yang mengidap parafilia dipandang sebagai individu yang tidak mampu membangun atau mempertahankan hubungan heteroseksual yang wajar. Perkembangan sosial dan seksual tidak matang, tidak berkembang, dan tidak memadai untuk dapat menjalani hubungan sosial dan hetereoseksual Contohnya: individu yang mengalami eksibisionis menurut psikologi meyakinkan diri sendiri tentang ke maskulinitasnya (laki-laki ) dan menunjukan ke laki-lakian nya ( alat kelamin) kepada individu lain ( perempuan, baik anak-anak atau dewasa).Â
- Adanya hubungan antara faktor budaya terhadap tindakan individu Budaya dan lingkungan memainkan penting dalam pembentukan perilaki individu. Termasuk tindakan seksual. Individu y6ang mengalami penyimpangan seksual eksibisionis menurut psikologi cenderung memiliki masalah atau konflik seksual dimasa lalu seperti, kekerasan seksual. Permasalahan-permasalahan di masa lalu yang belum terselesaikan tersebutlah yang menjadi biological/sexual drive bagi individu untuk melakukan penyimpangan. Dalam fase ini, individu tersebut sudah tidak lagi mampu untuk mengontrol dirinya untuk tidak melakukan hal-hal tersebut
Cara pencegahan atau mengobati dari pelaku eksibisionisme yaitu dengan melakukan terapi psikologis atau berkunjung psikiater untuk melakukan pendekatan supaya si pelaku dapat mengurangi kecemasan dalam dirinya.
Ada sebuah cerita pengalaman korban dari pelaku eksibisionisme ini, cerita ini datang dari mahasiswi dari salah satu kampus di Jakarta.
Dirinya mengalami kasus tersebut di trotoar dekat halte transjakarta Pedongkelan, malam sekitar pukul 21.00 WIB, ketika itu ada seorang pelaku bermodus menanyakan alamat kepada si korban sembari menujukan alat kelaminnya dan menujukan wajah gembira melihat korban yang ketakutan, kemudian tanpa berfikir panjang si korban langsung bergegas lari untuk menghindari pelaku tersebut.
"kejadiannya di trotoar deket halte transjakarta Pedongkelan, sekitar pukul 21.00 WIB, di datengin orang gak dikenal mau nanya alamat dan resleting celananya dibuka, gua bilang gatau terus abis itu gua langsung lari menjauh karena serem." Kata Naura, sebagai korban
Dari kejadian tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaku eksibisionisme ini hanya ingin memperlihatkan alat vitalnya kepada si korban dan ditandai dari ekspersi korban menunjukan bahwa dirinya terlihat maskulin dan terlihat superior, dia beranggapan bahwa berhasil untuk menguasai korban.
Pandangan korban tersebut mengenai kasus eksibisonisme ini yaitu, si pelaku harus mendapatkan hukuman yang seimbang dan diberikan pengobatan untuk penyembuhan penyakitnya.
"Harus benar-benar diobatin orang yang kaya gitu, dihukum oleh hukuman yang seimbang"Â Naura, korban
Naura juga memberikan pendapat untuk pelaku bahwa harus memberikan hukuman sekaligus dilakukan pengobatan
"Sembari di hukum harus ada treatment untuk penyembuhan si pelaku sih" Ungkap Naura