Mohon tunggu...
Rifky Julio
Rifky Julio Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate (Baca: Penggangguran)

Sekedar menulis apa yang ingin ditulis. Antropologi | Anime | Daily Life | Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Empat Teori yang Bisa Kamu Gunakan dalam Kajian Antropologi Kesehatan

22 Mei 2021   20:45 Diperbarui: 22 Mei 2021   21:05 3007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto oleh Thirdman dari Pexels)

Pendekatan teori dalam Antropologi Kesehatan memang sudah pernah saya bahas di artikel sebelumnya. Namun, teori-teori tersebut berakar dari disiplin sosiologi dan sifatnya lebih general.

Kali ini saya mencoba memaparkan teori lainnya yang cukup khas dalam kajian antropologi kesehatan. Setidaknya, keempat teori berikut dapat menjadi variasi tambahan yang dapat digunakan selain dengan teori-teori sosiologi sebelumnya.

Health Belief Model (HBM)

Secara bahasa, teori ini terdiri dari tiga konsep utama yakni health, belief, dan model. Menurut WHO, health atau sehat ini adalah suatu kondisi sempurna dari fisik, mental, serta sosial yang tentunya tidak hanya bebas dari suatu penyakit atau cacat. Kemudian, belief dalam teori ini dapat kita artikan sebagai suatu keyakinan yang dipengaruhi oleh budaya sehingga dari keyakinan tersebut akan menimbulkan suatu tindakan atau perilaku mengenai kesehatan yang berbeda-beda. Sementara yang dimaksud dengan model adalah perwakilan atau gambaran tentang suatu ide dalam suatu kondisi.

Irwin Rosenstock (1974) dan Godfrey Hochbaum adalah dua nama dibalik terbentuknya teori ini. Mereka mendapatkan ide dari kasus penyakit TBC yang rentan dirasakan oleh masyarakat. Kemudian Stephen Kegels (1963) juga ikut menerapkan health belief model dalam kasus sakit gigi, yang mana orang-orang mengunjungi dokter gigi dianggap sebagai tindakat preventif dalam merasakan masalah pada gigi.

Hal ini menjadikan HBM sebagai model yang menjelaskan pertimbangan seseorang sebelum mereka berperilaku sehat. Oleh karena itu, HBM memiliki fungsi sebagai model pencegahan atau preventif.

Health belief model juga dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena kegagalan partisipasi masyarakat dalam proses pencegahan dan deteksi dini penyakit, serta seringkali dijadikan sebagai kerangka dari perilaku kesehatan manusia. 

Teori ini juga berguna dalam mengungkap alasan dari ingin atau tidaknya individu untuk berperilaku sehat serta mengkonstruksi sebuah kepercayaan individu dalam berperilaku sehat.

Terdapat enam komponen dalam teori HBM, yaitu:

  1. Perceived Susceptibility
    • Adanya kepercayaan seseorang terhadap suatu penyakit yang merupakan hasil dari suatu perilaku. Serta merujuk juga pada kerentanan seseorang sehingga berpeluang terkena suatu penyakit. Contohnya adalah kepercayaan bahwa semua orang bisa saja terkena penyakit kanker.
  2. Perceived Severity
    • Adanya kepercayaan individu yang bersifat subyektif mengenai tingkat berbahayanya suatu penyakit sehingga menhindari perilaku tidak sehat. Contohnya kepercayaan merokok dapat menyebabkan kanker.
  3. Perceived Benefits
    • Adanya kepercayaan akan keuntungan dari suatu tindakan pencegahan penyakit. Contohnya adalah jika tidak merokok maka tidak akan terkena kanker paru-paru.
  4. Perceived Barriers
    • Adanya kepercayaan dengan timbal balik yang kurang nyaman dari melakukan suatu perilaku sehat. Contohnya adalah merasa tidak enak, mulut terasa asam saat tidak merokok.
  5. Cues to Action
    • Adanya dorongan dan dukungan terhadap seseorang untuk berperilaku sehat. Contohnya adalah iklan berhenti merokok dan vaksinasi flu.
  6. Self Efficacy
    • Adanya kepercayaan diri dalam melakukan perilaku sehat.

Komponen-komponen di atas dapat diaplikasikan dalam tiga aplikasi HBM berikut:

  • Preventive health behaviour seperti iklan-iklan kesehatan, olahraga, pemberian vaksin, dan penggunaan alat kontrasepsi.
  • Sick role behaviour seperti menuruti rekomendasi medis dari dokter dan ahli kesehatan.
  • Clinic use seperti mengunjungi klinik untuk pemeriksaan kesehatan dll.

Salah satu contoh penerapan dari health belief model ini adalah pada kegiatan imunisasi. Ikutserta dalam kegiatan imunisasi dapat memberikan kesan-kesan kepada orang lain yang tidak mengikuti seperti berikut:

  • Peluang terkena suatu penyakit tinggi.
  • Jika terjangkit suatu penyakit maka akan mendapatkan masalah serius.
  • Imunisasi adalah cara yang efektif dalam pencegahan penyakit.

Meski tidak ada halangan berarti dalam pelaksanaan imunisasi, beberapa penelitian HBM justru menunjukkan hasil sebaliknya.

Kelebihan dari health belief model ini selain mudah dan murah juga dapat memprediksi seseorang untuk melakukan tindakan pencegahan dan mengubah perilaku mereka. Teori ini juga dapat membantu menggambarkan pentingnya kepercayaan individu dan memeriksa bagaimana perubahan dalam kepercayaan dapat menyebabkan perubahan perilaku kesehatan. HBM juga memudahkan peneliti dan perawat kesehatan untuk melakukan perilaku pencegahan penyakit seperti screening, imunisasi, dan vaksinasi.

Tetapi, jika ada kelebihan tentu ada pula kekurangannya. Sayangnya teori ini hanya berlaku pada kelas menengah dan bawah saja. Kemudian teori ini juga tidak mengikutsertakan faktor lain yang menentukan kesehatan seperti peran keluarga, kehidupan sosial, lingkungan budaya, dan hubungan politik. Sebagai contohnya, seseorang dapat bergabung dengan kelompok olahraga karena kontak sosial atau ketertarikan pada seseorang dalam kelompok tersebut. Keputusan yang diambil tidak ada kaitannya dengan kesehatan, tetapi memengaruhi kondisi kesehatannya.

Explanatory Model of Illness

Teori satu ini dikembangkan oleh antropolog Arthur Kleinman yang menyatakan bahwa model ini berguna untuk menyelami apa yang penting bagi klien atau pasien dalam hal kesehatan, penyakit, dan perawatan.

Kondisi seperti itu mungkin saja terjadi antara dokter dengan pasien. Pasalnya tiap pasien adalah individu yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda mengenai konsep kesehatan, penyakit, dan perawatannya. Sehingga seorang dokter tidak bisa langsung menyamaratakan teknik perawatan kepada setiap pasien.

Oleh karena itu, menurut Kleinman dengan adanya teori ini, dokter bisa lebih memahami pasien dan keluarganya, membuat sesuatu yang tidak biasa bagi mereka menjadi biasa. Singkatnya, model pada teori ini cenderung fokus pada perilaku individu berdasarkan kepercayaan dan kebudayaannya.

Dalam penerapannya, model ini dilakukan dalam bentuk daftar pertanyaan yang fokus pada diri pasien seperti karakteristik pasien, masalahnya, dan latar situasinya seperti berikut:

  • Menurut Anda apa penyebab dari masalah ini?
  • Apa yang penyakit Anda ini lakukan pada diri Anda? Bagaimana penyakit itu bekerja?
  • Seberapa parah penyakit Anda? Akankah ini berlangsung sebentar atau lama?
  • Jenis perawatan seperti apa yang harusnya Anda terima?
  • Hasil seperti apa yang paling Anda harapkan dari perawatan ini?
  • Apa masalah terbesar yang disebabkan oleh penyakit Anda?
  • Apa yang paling Anda takuti dari penyakit ini? dst.

Daftar pertanyaan seperti itu merupakan alat yang penting dalam melakukan komunikasi lintas budaya, agar menjamin pasien mengerti dan juga dapat menemukan permasalahan yang mungkin bisa dinegosiasi selanjutnya.

Explanatory model of illness ini juga berguna bagi kita untuk menafsirkan budaya medis dunia Barat. Bagi dunia Barat model pengobatan ibarat sebuah bengkel, yang mana dokter berperan sebagai ahli mekanik, sementara tubuh pasien adalah mesin yang mudah rusak sehingga butuh penggantian suku cadang sesekali. Pasien wajib menyerahkan mesinnya pada ahli mekanik saat sudah tidak dapat difungsikan sebagaimana semestinya untuk diperbaiki.

Model seperti itu berbeda dengan model pengobatan budaya lain yang mengasumsikan penyakit berasal dari ketidakseimbangan tubuh (misal: Tiongkok dengan Yin dan Yang) dan adanya pengaruh dari kekuatan spiritual, roh, setan, atau mungkin kutukan.

Hubungan Dokter dan Pasien

Dalam hubungan dokter dengan pasiennya, ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni penempatan otonomi pasien oleh dokter dalam pengambilan keputusan medis dan keharmonisan dengan komunikasi yang efektif.

Dalam praktiknya, seringkali dokter menempatkan dirinya lebih tinggi dibanding pasien, bagaikan seorang guardian dan menganggap dirinya paling serba tahu, yang akhirnya membuat pasien kehilangan otonominya.

Kondisi seperti itu dapat kita katakan sebagai hubungan yang bersifat paternalistik, atau ibarat hubungan ayah dan anak. Hubungan paternalistik menyebabkan adanya ketidakseimbangan dan menimbulkan hubungan yang "asimetris" antara dokter dan pasien.

Hingga saat ini pola hubungan paternalistik masih dianut oleh banyak dokter. Keputusan medis pun menjadi kewenangan dokter sepenuhnya dan pasien hanya dapat menerima apa adanya. Pasien tidak memiliki otonomi terhadap kuasa dokter dan tidak punya kontrol atas tindakan dokter kepadanya.

Hal itu juga diperparah jika pasien memang benar-benar tidak kritis dan pasrah akan setiap keputusan dokter. Namun, keadaan "asimetris" seperti itu bisa saja menjadi blunder bagi dokter karena membuat peluang kesalahan medis menjadi lebih besar.

Kemudian seiring berjalannya waktu, hubungan paternalistik antara dokter dan pasien pun bergeser menuju kesetaraan yang bersifat partnership dan fokus pada pasien.

Pasien mendapatkan otonomi penuh dan hak dalam mengambil keputusan medis. Hal tersebut terjadi berkat peristiwa demonstrasi para pasien di Amerika Serikat 30 tahun lalu yang menagih hak-hak para pasien. Sehingga saat ini kedua pihak mempunyai kedudukan yang setara dan saling membutuhkan.

Keputusan dalam perawatan medis diambil setelah pasien menyetujui dan mendapatkan informasi yang memadai. Pola partnership seperti itu juga kemudian berkembang menjadi hubungan kemitraan antara dokter dan pasien.

Hubungan yang harmonis antara dokter dan pasien dapat dibangun melalui komunikasi yang baik. Esensi hubungan diantara keduanya biasa dilakukan dengan komunikasi melalui wawancara pengobatan, karena sifatnya yang interpersonal.

Kedudukan dokter yang umumnya lebih tinggi daripada pasien kemungkinan menciptakan sebuah "jurang kompetensi". Tapi jurang kompetensi tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan kepercayaan masing-masing pihak. Dengan begitu diharapkan dokter dan pasien beserta keluarga pasien dapat saling bekerja sama demi tercapainya tujuan pengobatan.

Oleh sebab itu, dalam pelayanan kesehatan terdapat asas kejujuran yang dijunjung tinggi oleh setiap tenaga kesehatan. Dengan adanya kejujuran, kepercayaan dapat tumbuh dan menciptakan hubungan yang harmonis antara dokter dan pasien.

Teori ini pada dasarnya bertumpu pada pendekatan interaksionisme simbolik. Kesehatan dan pengobatan dalam pendekatan tersebut dianggap terkonstruksi secara sosial oleh interaksi orang-orang. Tindakan dan interaksi khas antar manusia dapat diinterpretasi secara bebas oleh orang lain dengan maksud untuk memahami maksud dari tindakan masing-masing, dalam pembahasan ini adalah tindakan dan perawatan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya.

Selain itu, faktor budaya masyarakat masing-masing juga mempengaruhi model apa yang dipakai dalam hubungan dokter dan pasien. Hubungan paternalistik mungkin cocok digunakan di masyarakat yang masih kurang akan pengetahuan kedokteran dan di wilayah darurat bencana. Sementara pada masyarakat yang lebih maju dan berpendidikan lebih tinggi, hubungan paternalistik sudah tidak relevan lagi dan akan tergantikan oleh model partnership atau kemitraan.

Health Seeking Behaviour

Health seeking behaviour atau perilaku pencarian layanan kesehatan adalah dimensi lain dari perilaku kesehatan. Definisi dari perilaku kesehatan menurut Skinner adalah suatu respon individu terhadap stimulus atau obyek yang berhubungan dengan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan.

Jadi setiap aktivitas masyarakat yang dapat diamati (observable) maupun tidak dapat diamati (unobservable) selama masih berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan adalah perilaku sehat. Pemeliharaan kesehatan tersebut termasuk pada tindakan pencegahan dan perlindungan diri dari penyakit dan masalah kesehatan, meningkatkan kesehatan, dan upaya mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan.

Kemudian, definisi dari perilaku pencarian layanan kesehatan yaitu perilaku orang sakit untuk memperoleh kesembuhan dan pemulihan kesehatannya. Perilaku tersebut juga disebut sebagai perilaku kuratif dan rehabilitasi yang terdiri dari kegiatan:

  • Mengidentifikasi gejala penyakit.
  • Mengobati sendiri atau mencari pelayanan dalam rangka penyembuhan aau pemulihan.
  • Mematuhi aturan-aturan dari dokter selama proses penyembuhan dan pemulihan.

Perilaku tersebut merupakan aspek penting bagi para provider layanan kesehatan untuk memahami cara pencarian, pemilihan, serta akses masyarakat terhadap suatu layanan kesehatan. Sehingga dapat diketahui jenis layanan kesehatan yang tepat bagi masyarakat tersebut.

Menurut Notoatmodjo, tindakan suatu masyarakat terhadap suatu penyakit bergantung dari apa yang mereka rasakan. Bila tidak terasa sakit, masyarakat tidak akan bergerak mencari pengobatan (disease but no illness). Setelah merasakan sakit, masyarakat baru akan mencari akses pengobatan ke pelayanan kesehatan.

Namun, belum tentu semua anggota masyarakat akan merasakan hal yang sama terhadap suatu penyakit. Masing-masing individu tentu memiliki respon yang berbeda seperti berikut:

  1. Tidak bertindak apa-apa (no action)
    • Respon ini diambil karena merasa penyakit tidak mengganggu kegiatan atau kerja sehari-hari dan percaya bahwa tubuhnya akan sembuh dengan sendirinya.
  2. Mengobati sendiri (self treatment)
    • Respon yang muncul karena percaya dapat menyembuhkan diri dengan metode pengobatan mandiri.
  3. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy)
    • Respon ini umumnya terjadi di masyarakat sederhana dengan masalah sehat-sakit yang berorientasi pada aspek sosial-budaya.
  4. Membeli obat di warung.
    • Warung mungkin menjadi tempat terdekat untuk mencari obat-obatan, tak terkecuali tukang jamu keliling.
  5. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern.
    • Fasilitas-fasilitas yang termasuk seperti puskesmas, rumah sakit, balai pengobatan yang disediakan pemerintah dengan metode perawatan yang lebih memadai.
  6. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter praktek.

Dari keenam poin diatas dapat disimpulkan bahwa health seeking behaviour berkaitan dengan kebudayaan tiap masyarakat. Persepsi dari tiap masyarakat terhadap suatu penyakit tentu berbeda-beda dan itu dapat dilihat dari bagaimana merespon sebuah penyakit.

Sehingga penting bagi penyedia pelayanan kesehatan untuk memahami pengetahuan masyarakat mengenai konsep sehat-sakit. Hal itu penting agar masyarakat mau menggunakan pelayanan kesehatan yang disediakan dan fasilitas yang disediakan pun tidak terbuang percuma.

Sumber Referensi

Husaini et al. 2017. Buku Ajar Antropologi Sosial Kesehatan. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat Press.

Kleinman A., Eisenberg L., Good B. 1978. Culture, illness, and care: clinical lessons from anthropological and cross-cultural research, Ann Intern Med.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun