Setelah membuang nafas berat sang Mandor berkata
"Bisa jadi dia sudah mati. Tadi ada petugas puskesmas  singgah dan memeriksa. Katanya nadinya lemah. Badannya juga dingin. Botol minuman banyak sekali. Dia minum dari habis magrib kemarin. Kemarin ribut-ribut itu karena pada pedagang di taman cekcok dengan dia. Mereka melarang dia yang sudah mulai minum pas azan magrib. Emang buka puasa apa."
Bahtar masih mencoba mencari-cari lelaki itu dengan matanya. Ia ingin berdiri di atas kursi bus dan mengeluarkan setengah badannya dari jendela agar dapat melihat lelaki itu. Tapi kepalanya pusing bukan main.
Bus melaju menembus derasnya hujan. Entah bagaimana nasib lelaki itu pikir Bahtar.
Lokasi tempat kerjanya adalah area pegunungan tinggi. Perusahaan tempatnya bekerja sedang membangun sebuah waduk. Maka jadilah area pegunungan itu sebuah dataran yang luas. Sisi-sisinya adalah tebing buatan hasil dikikis oleh alat berat. Masih ada beberapa yang perlu finishing. Bahtar termasuk yang melakukan itu.
Hujan deras sejak kemarin mengguyur lokasi itu. Air keruh kecoklatan genangannya di mana-mana.
Bus perusahaan baru berhenti. Keresek toa perusahaan diaktifkan terdengar
"Mandor paket A! Mandor paket A! Ke Kantor PT sekarang. Sekian" Suara Bos kontraktor
"Oh ya. Bajingan yang namanya Bahtar, pulang saja! Anda dipecat!"
Bahtar berdiri di bawah hujan masih memegangi kepalanya. Ia melihat si mandor menaikan penutup kepala jas hujannya sambil melihat kearahnya lalu berbalik meninggalkannya.
Orang-orang dengan pakaian putih terlihat bubar dari acara takziah itu. Tadi, yang  berceramah adalah Mubalig terkenal kabupaten. Saat berbicara mengenai larangan mengkonsumsi miras wajahnya terlihat sedih. Seorang dosen sekaligus duta kampanye anti miras juga hadir. Raut wajahnya juga sama. Entah sebagai pribadi atau karena diminta oleh pemerintah.