1. Tuhan dan sifat - sifat-Nya
Ada perbedaan pendapat mengenai sifat - Sifat Allah yang tidak dapat di hindari walaupun mereka setuju bahwa mengEsakan Allah itu adalah wajib. Saat itu asy'ariah di hadapkan dengan dua pandangan berbeda,yaitu kelompok Shifatiah ( pemberi sifat ), kelompok Mujassimah ( antropomorfis ) dan kelompok musyabbihah yang mereka berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang di sebutkan di dalam Al - Qur'an dan Sunnah yang dimana sifat - sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya.
Tetapi asy'ariah ini sendiri memiliki pemahaman yang berbeda dengan Mu'tazilah. Asy'ariah ini sendiri secara tegas mengemukakan pendapat bahwa Tuhan memiliki sifat. Asy'ariah juga mengemukakan pendapat bahwa Tuhan mengetahui atau memiliki pengetahuan menghendaki,berkuasa, dan dalam sudut pandang asy'ariah Tuhan itu memiliki pengetahuan, kemauan dan daya.
2. Kebebasan dalam berkehendak ( free-will )
Dalam konteks apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dalam hal ini asy'ariah menengahi dua pendapat yang berbeda,yang di kemukakan oleh Jabariah dengan faham pra-determinismenya dan pendapat dari Mu'tazilah Dengan faham kebebasan mutlak yang dimana Mu'tazilah itu sendiri berpendapat bahwa manusia itu menciptakan perbuatannya sendiri. Dalam hal ini asy'ariah mengambil jalan tengah untuk kedua pendapat yang berbeda tersebut, dengan ini asy'ariah menggunakan cara membedakan antara Khaliq dan kasb. Menurut asy'ariah,Allah adalah pencipta (Khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia itu adalah yang mengupayakan atau yang mengusahakan (muktasib). Dalam konteks ini hanya Allah lah yang dapat menciptakan segala sesuatu (termasuk apa yang di inginkan manusia).
3. Akal,Wahyu dan kriteria baik dan buruk
Dalam hal ini Al - Asy'ari mengutamakan Wahyu, sementara dari sisi Mu'tazilah sendiri lebih mengutamakan akal. Menentukan baik dan buruk pun masih terjadi perselisihan pendapat di antara mereka,dari asy'ariah sendiri mengemukakan pendapat bahwa baik dan buruknya sesuatu harus berdasarkan Wahyu, sedangkan dari sisi Mu'tazilah berdasarkan akal.
4. Kadimnya Al - Qur'an
Di sini kadim sendiri itu memiliki arti sebagai sesuatu yang tidak bermula. Sedangkan jika di masukkan ke konteks keimanan kadim itu sendiri sering di kaitkan dengan wujud Allah yang di yakini memang ada sehingga Allah SWT di sebut kadim. Kembali ke konteks pembahasan,dari Asy'ariah ini sendiri berpendapat bahwa walaupun Al - Qur'an terdiri atas kata - kata,huruf dan bunyi,hal itu tidak bisa melekat pada esensi Allah sehingga tidak di katakan kadim. Dalam Al - Qur'an sendiri di terangkan di dalam (Q.S. An -Nahl [16]: 40). Yang bunyinya Allah berfirman :
اِنَّمَا قَولُنَا لِشَيءٍ اِذَآ اَرَدْ نٰهُ اَنَّقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
"Sesungguhnya firman kami terhadap sesuatu apabila kami menghendaki-nya,kami hanya mengatakan kepadanya, "jadilah!" Maka jadilah sesuatu itu."