Anak kecil saya, Nailah - dipanggil Ade, suka sekali cuankie. Tenang, meski namanya berbau Chinese, tapi halal kok. Makanan ini cuman bakso kuah yang segar - meski ada MSG nya sih. Tapi, ini tidak bercerita tentang kenapa si Ade suka Cuankie. Tinggalkanlah Si Ade sejenak. Fokus lah ke si Ayah. Iya, ternyata si Ayah juga suka sekali baso Cuankie. Dan ternyata Cuankie itu akan dia rindukan  di Ramadan di tahun-tahun depan.
Ciyus? Kok yang dirindukan adalah Cuankie?
Cuankie berarti Bandung, ya kan? Baso Cuankie asli itu dari Bandung. Karenanya, si Ayah itu akan rindu Bandung. Meski Cuankie bisa didapat kapan saja, yang si Ayah rindukan adalah saat sahur. Itu berarti si Ayah akan rindu Bandung saat bulan puasa. Tapi, yang jualan Cuankie bulan puasa kan cuman malam doang. Kok sahur? Belum tahu ya, ternyata di Mesjid Pusdai, kita bisa menemukan Bakso Cuankie dijual saat sahur. Tidak hanya satu penjual, malah ada dua atau tiga penjual. Dan tidak hanya Bakso Cuankie, tetapi malah sahur si Ayah awali dengan makan kerak telor ditutup dengan jeruk peras.
Jadi, yang dirindukan si Ayah adalah makan bakso cuankie di mesjid Pusdai saat sahur?
BUKAN!!! Yang dia akan rindukan di bulan Ramadan tahun-tahun depan adalah....itikaf di sepuluh terakhir di Pusdai. Saat si Ayah sahur Cuankie.
Ya. Pengalaman itikaf di malam 27 tadi malam itu begitu mengesankan dan akan dirindukan si Ayah. Itikaf itu dalam rangka si Ayah memperkuat iman. Iman itu harus dijemput, dicari dan diusahakan. Dan itikaf adalah salah satu caranya.
Kenapa dirindukan?
Mesjid penuh
Semua terasa ringan jika dilakukan secara bersamaan, bukan. Dan untuk menjaga agar istiqamah, termasuk dalam beritikaf, maka dilakukan bersamaan akan menambah semangat. Bayangkan, jika kita itikaf sendirian di sebuah mesjid yang kosong. Perasaan sendirian cenderung akan mendorong kita untuk mundur dan selesai lebih cepat.
Selain jamaah bapak-bapak, mesjid penuh dengan anak-anak muda. Usia kuliahan atau awal bekerja. Wajah-wajah muda mereka begitu cerah dan tampan. Usia muda ternyata sudah dipenuhi oleh gairah keimanan. Bayangkan usia muda seperti itu sudah memiliki keimanan yang hebat, atau memiliki semangat untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Kenapa wajah anak-anak muda menjadi faktor yang dirindukan?
Bagi si Ayah, ini penting untuk menunjukkan stereotif - atau distereotifkan - beberapa lapisan masyarakat bahwa mereka yang ke mesjid berjanggut panjang, celana cingkrang dan identik dengan teroris itu salah besar. Tidak ada sedikitpun gambaran seperti itu ketika itikaf di Pusdai. Sama sekali. Iya, mereka memakai celana cingkrang. Iya mereka bercambang, beberapa cambangnya lebat.
Tapi, lihat saja. Cambang lebat khas anak mudahnya malah membuat menarik. Wajahnya teduh. Perangainya sopan. Dan baju gamis atau koko yang dipakainya pun menambah bagus tampilannya. Bahkan banyak anak muda yang terlihat tampan dengan kafiyeh melilit lehernya. Model hafiz Muzzamil Hasballah. Tadinya si Ayah juga mau pakai kafiyeh seperti itu, tapi takutnya daripada terlihat ganteng seperti Muzzamil Hasbalah, ini malah terlihat lucu seperti patung Haji Geyot.
Do'ain ya. Do'ain si Ayah beribadah khusu', ikhlas dan istiqamah dan Ayah jadi ganteng. Eaaa
Introspeksi time
Setelah tidur sejenak, jam satu dini hari, jamaah bangun untuk siap-siap melaksanakan Qiyamul Lail. Sebelum itu, dilakukan dulu semasam sesi mengaca diri, berintrospeksi, bermuhasabah. Sesi yang dipandu oleh ustadz atau Kiai yang diundang ini adalah sesi yang sangat menyentuh. Kita diajak melihat ke belakang atas apa yang telah kita lakukan selama ini. Dosa-dosa apa yang pernah dibuat. Kekecewaan-kekecewaan apa saja yang ada di diri kita kepada Allah. Kita diajak menghadirkan wajah ayah dan ibu kita, dan merenung apa yang sudah dan belum kita buat untuk mereka.
Suasana seperti ini insya Allah akan dirindukan.
One Qiyamullail One Juz
Pernah saya bermimpi suatu saat ingin mengikuti terawih dengan membaca satu juz. Tetapi, niat itu selalu diurungkan, karena selalu terkendala perspesi. "Waduh, bisa lama banget. Kaki pegal ya. Kayaknya gak akan kuat". Dan di Pusdai ini, imam solat Qiyamullail di jam dua dini hari itu ternyata membaca satu juz penuh dalam delapan rakaatnya. Antara kaget dan tidak percaya.
Bukan. Bukan karena si Ayah tidak mau ikut solat yang panjang itu, tapi ya kok setelah menjalaninya ternyata tidak selama yang dibayangkan. Alhamdulillah saya diringankan dengan bisa menikmati solat itu. Imam shalatnya membaca Juz 27 dengan cukup cepat tapi tartil.
Seperti cerita di awal, si Ayah sahur saat itikaf di Pusdai ini lain dari biasanya. Diawali dengan kerak telor, dilanjut bakso cuankie, ditutup oleh jeruk peras. Sebenarnya sih kerak telor saja juga cukup, cuman godaan tak tertahankan datang dari si bakso. Cuankienya enak banget, segar. Cuankie di Bandung itu ya satu-satunya yang enak di Indonesia.
Dengan baso yang enak di lidah, kuah yang kaldunya terasa, somay yang merekah. Ditambah sambal, cukup setetes, tanpa kecap manis atau saos tomat. Segar manstaf. Sengaja pesan tidak pakai mie, meski kebanyakan jamaah memesan Bakso Cuankie dengan mie, karena selain sudah cukup kenyang, aslinya bakso cuankie itu tidak memakai mie.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H