Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[8 tahun Kompasiana] Momen Indah Saat Bola Salju Berbagi Menggelinding

1 November 2016   20:27 Diperbarui: 1 November 2016   20:55 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menerima piala dan hadiah dari TMII | Foto: Rifki Feriandi

Mencari sebuah momen indah selama menjadi penulis di Kompasiana itu memerlukan sebuah langkah kilas balik. Kilas balik artinya membuka lembaran sejarah satu demi satu dan lalu menikmati lagi kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang baru, karena aktivitas baru, menemukan kemampuan diri yang baru: MENULIS. Kebahagiaan bukan materi, kebahagiaan yang ada di hati. Itulah kenapa, momen indah di Kompasiana bagiku tidaklah satu.

Inilah momen-momen indah itu – not in chronoligical order J

20 April 2015 menjadi Pemenang Blog Competition Rekatkan Budaya Bersama Taman Mini “Indonesia Indah”

Momen ini sebenarnya lebih ke momen pribadi. Bukan!! Bukan karena saya menjadi pemenang pertama dengan tulisan TMII, 'Pusaka' yang Tidak Boleh Berkarat. Bukan pula karena saya membawa hadiah berupa laptop yang masih menjadi sarana menulis sekarang ini. Tidak dipungkiri, kedua hal itu saya apresiasi dan membuat saya bahagia. Momen indahnya justru saat saya menerima piala. Piala? Beneran. Itulah piala pertama saya seumur hidup yang saya dapatkan karena prestasi saya. Dan itu menjadi sebuah momen indah karena sekarang saya punya alasan dan daya tawar jika berbicara dengan si bungsu yang baru masuk SD kelas 1 yang sudah memiliki sebelas piala.

“Wew De… ayah juga punya piala da”. Begitu yang bisa saya katakan dengan si Ade, yang lalu menjadi awal kedekatan kami berdua setelah dibalas dengan tawa. Priceless momen, bukan?

Di tulisan saya “Karena Kompasiana Saya Dapat Piala”, saya sebutkan “Dengan Kompasiana lah P.I.A.L.A menghasilkan piala. Karena Kompasiana memberikan hal-hal berikut:

P - Persahabatan
 I - Inspirasi
 A - Aktualisasi
 L - Lessons Learnt
 A - Apresiasi

Tinggallah saya sekarang berusaha untuk menjaga inti dari piala itu dengan BERBAGI”.

Menerima piala dan hadiah dari TMII | Foto: Rifki Feriandi
Menerima piala dan hadiah dari TMII | Foto: Rifki Feriandi
18 November 2013 – Pemenang Fiksi Anak Fiksiana

Kaget bukan kepalang. Tulisan saya yang sebenarnya sekedar ikut meramaikan event Fiksi Anak Komunitas Fiksiana – berjudul Rio the Gatrikman – malah termasuk dalam 15 pemenang kategori fiksi realita. Padahal, pesertanya banyak banget, 451 orang dengan 491 karya. Makin bahagia ketika akhirnya saya menerima beberapa eksemplar buku di mana tulisan itu termasuk di dalamnnya, dan diterbitkan oleh penerbit mayor: Mizan.

Momen ini terasa indah karena sebelumnya saya tidak tahu dan tidak sadar bahwa saya bisa menulis fiksi. Apalagi fiksi anak yang kata orang lebih sulit dari fiksi umumnya. Dalam fiksi anak, kita dihadapkan pada kesulitan bagaimana menggunakan bahasa yang dimengerti anak. Artinya apa? Saya BISA!!! Saya bisa menulis sesuatu yang awalnya saya pikir saya tidak bisa. Hikmah utama lainnya adalah saya makin sering membaca buku anak dan makin menikmati bagaimana membaca buku anak itu saat mengiringi si Ade – anak saya yang saat itu berusia tiga tahun – menuju peraduannya.

Momen indah lainnya adalah sekonyong-konyong saya mendapatkan beberapa teman baru di fesbuk yang ternyata adalah pribadi-pribadi keren, penulis buku anak. Ah, priceless juga.

4 Juli 2011 Tulisan Dikomentari Ahli

Sekitar enam-tujuh bulan sejak saya bergabung dengan Kompasiana dan mulai menulis, saya buat sebuah artikel sederhana. Judulnya “Sudah Tahu Gila, Dipanggil Gila. Gila lo!!!”. Tulisan berdasarkan kegundahan pribadi melihat tontonan sampah yang tidak memiliki tuntunan dan edukasi. Tulisan yang sebenarnya sekedar curhatan itu sampai satu dua minggu hanya dibaca puluhan orang dan dikomentari satu orang. Komentarnya pun sederhana sekali: “Luar biasa tulisannya. Salam. AA”. Tapi komentar itu menjadikan kebahagiaan tak terkira, setelah melihat siapa yang memberi komentar: Andri,dr,SpKJ,FAPM. Seorang spesialis kejiwaan dan satu-satunya psikiater Indonesia yang mendapatkan pengakuan Fellow of Academy of Psychosomatic Medicine dari Academy of Psychosomatic Medicine di USA.

Bagi saya sebagai penulis pemula saat itu, komentar sesederhana seperti itu tapi diberikan oleh seseorang profesional dan ahli dalam bidangnya sekonyong-konyong melejitkan semangat menulis ke level tertinggi. Keyakinan semakin kuat. Jika kita menulis hal yang positif, maka menulis itu membahagiakan. Meski tanpa imbalan, saya pilih menulis agar saya bahagia. Dan bahagia itu tidak terukur uang. Priceless.

23 Juli 2014 Bertemu Pak Thamrin Sonata di Nangkring Kompasiana

Nangkring is nangkring. Kongkow-kongkow begitulah. Dengan topik yang begitulah, kadang sesuai dengan minat, kadang datang juga sekedar mencari gudibeg ..eh. Saya yang pekerja kantoran – saat itu – cenderung pemilih dalam mengikuti nangkring. Kalau topiknya cocok dan di luat jam kerja, bolehlah saya datang. Di Nangkring, saya tidak ekspektasi terlalu jauh, karena ya itu tadi, nangkring is nangkring.

Tapi di nangkirng saat itu, di toko buku Kinokuniya kalau tidak salah, saya bertemu beberapa orang Kompasianers. Satu yang dikenal adalah Mbak Edrida Pulungan. Berdiri seorang cowok paruh baya berkaos abu-abu. Saya akhirnya dikenalkan oleh Mbak Ed. Nama Kompasianer itu ternyata Thamrin Sonata. “Hmm….Sonata apa Soneta?” begitu pikirku. Entah kenapa, saat nangkring itu saya malah lebih banyak berada di luar, dibanding mengikuti paparan acara Nangkring. Saya malah asyik bercakap dengan Pak TS (begitu saya memanggilnya) tentang banyak topik, terutama menyangkut kepenulisan, kepenerbitan, singgungannya dengan edukasi dan guru serta ekspektasi ke depannya. Berbincang dengan beliau pertama kali itu serasa perbincangan dua orang teman lama. Kami rasanya nyambung.

Awal bertemu denga Pak TS. Ada Mbak Edrida Pulungan juga | Foto: RIfki Feriandi
Awal bertemu denga Pak TS. Ada Mbak Edrida Pulungan juga | Foto: RIfki Feriandi
Pertemuan itu adalah momen indah buat saya. Momen itu adalah suratan Allah dalam memberi warna dalam perjalanan hidup saya. Allah menakdirkan saya bertemu Pak TS, dan mentakdirkan Pak TS sebagai pemberi jalan bagi saya mencicipi indahnya sebuah aktivitas positif menulis, beserta dengan aktivitas positif ikutannya. Dua bulan setelah pertemuan itu, saya kerucutkan maksud untuk membuat buku sendiri. Pak TS menjembatani penerbitannya. Sampai akhirnya buku pertama saya terbit berjudul Cara Narsis Bisa Nulis. Tidak berhenti di situ, buku itu selanjutnya dilaunching sekaligus dikupas dalam acara Ngoplah di Palmerah tanggal 16 Agustus 2016.

Launching dan Bedah Buku Cara Narsis Bisa Nulis di Ngoplah di Palmerah | Foto: Dian Kelana
Launching dan Bedah Buku Cara Narsis Bisa Nulis di Ngoplah di Palmerah | Foto: Dian Kelana
16 Oktober 2014 – Mengisi Bulan Bahasa di Smansa Majalengka

Buku Cara Narsis Bisa Nulis sepertinya menuntun saya ke gerbang memasuki dunia lain: dunia edukasi dan dunia berbagi. Dan pintu gerbang itu dibuka justru di sebuah kota yang tidak pernah saya singgahi sebelumnya: Majalengka. Ya, SMANSA (SMA 1) Kota Majalengka. Melalui Pak TS dan Kompasianer Majalengka – yang Guru Matematika dan jago nulis fiksi – Pak Didik Sedyadi, saya – bersama Pak TS – didapuk untuk mengisi acara bulan bahasa. Acaranya bertema menggairahkan aktivitas menulis. Buku saya dianggap cocok untuk dikupas di depan 300 siswa sebagai audiensnya.

Acara itu mungkin adalah pertama kalinya saya berbicara di depan anak-anak sekolahan, berjumlah cukup banyak lagi, membicarakan sebuah aktivitas yang baru saya jalani tetapi sudah menjadi ‘gue banget’. Makanya, saya bawakan acara – kombinasi presentasi dan dialog – dengan cair. Tidak ada ketakutan bagi saya, karena notabene yang dibawakan adalah beneran pengalaman yang terjadi. Tanpa rekayasa. Tidak dibuat-buat. Karenanya, dialog yang ada Alhamdulillah berjalan lancar. Dan terus terang di sinilah saya melihat saya yang lain. Saya menemukan diri saya yang selama ini tidak terlihat. Saya merasa berbagi ilmu seperti ini – dalam bentuk dialog sharing sessio – adalah aktivitas yang cocok banget dengan pribadi saya. Saya menemukan passion baru saya. Sharing. Berbagi.

Momen indah terspesial di Smansa Majalengka | Foto: Didik Sedyadi
Momen indah terspesial di Smansa Majalengka | Foto: Didik Sedyadi
Dan inilah momen indah terspesial saya.

Kenapa dianggap spesial?

Momen indah trespesial itu adalah tatkala sebuah aktivitas menjadi saksi bisu dan menjadi awal aktivitas-aktivitas selanjutnya yang menggelinding bak bola salju. Bola salju bernama BERBAGI.

Sejak saya menjadi pembicara di SMANSA Majalengka, ada gairah dalam diri untuk berbagi. Apapun itu. Salah satunya berbagi buku Cara Narsis Bisa Nulis. Setelah penjualan lewat medsos melewati break even, saya bagikan buku itu kepada beberapa perpustakaan yang saya tahu. Saya kirimkan ke beberapa orang teman yang inspratif. Saya titipkan ke satu dua komunitas Kompasiana. Entahlah, saya tidak pernah mencatat siapa-siapa dan perpustakaan apa dan mana yang pernah saya titipkan buku itu. Mudah-mudahan saja buku itu ada yang membacanya. Dan semoga saja dari yang membaca itu ada satu dua yang mengikuti jejaknya.

Selain berbagi langsung, saya pun berbagi secara kombinasi: memberikan buku + memberi sharing session. Memberikan presentasi, dialog dengan hadiah buku. Harapannya hanya satu: sedikitnya ada informasi sampai ke audiens bahwa menulis itu membahagiakan. Tidak ada harapan di diri pribadi selain saya membawakan acara dengan baik. Perkara respons mereka baik atau tidak, terinspirasi atau tidak, saya serahkan kepada masing-masing orang.

Sharing kepenulisan di Masjid Jami An-Nur asuhan Pak Thamrin Dahlan | Foto: Thamrin Dahlan / Gaper Sandi
Sharing kepenulisan di Masjid Jami An-Nur asuhan Pak Thamrin Dahlan | Foto: Thamrin Dahlan / Gaper Sandi
Dengan menjadikan acara di SMANSA Majalengka sebagai template, maka saya mulai menggelindingkan acara berbagi di beberapa forum. Di Forum Lesehan Berbagi #2 – “Menulis itu Asyik” Masjid Jami Annur, Komseko, Jalan Raya Bogor, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Atau di depan remaja penghapal Qur’an yang sedang mempersiapkan bukunya di Mesjid Al Mujahidin Komplek Bukit Pamulang Indah Pamulang. Lalu, dengan modal di SMANSA itu, acara berbagi berlanjut lebih luas kepada topik soft skills dan profesi yang dijalani. Jadilah saya membawakan acara berbagi di depan beberapa tingkatan pendidikan. Topik art of decision making dan profesi untuk level mahasiswa di acara Studium Generale dan Kuliah Umum Fakultas Teknik Elektro dan Teknologi Informasi UGM, Program Studi Teknik Sipil IT dan Program Studi Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Universitas Agung Podomoro. Pengenalan profesi juga dibawakan ke hadapan anak-anak SD dalam acara pembukaan Rumah Baca di Mataso oleh komunitas 1N3B bagi masyarakat Dayak Iban dan Dayak Tamam. Juga untuk anak-anak TK Islam Hanifa, Pamulang dalam acara Parent Teaching. Acara berbagi itu dilengkapi untuk semua tingkat pendidikan pada hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2016 kemarin dengan sesi berbagi di hadapan 200an santri Pesantren Al Qur’an Baabussalam Bandung, termasuk anak-anak level SMP.

Bercerita tentang profesi insinyur yang penulis di depan anak TK Islam Hanifa | Foto: Rifki Feriandi
Bercerita tentang profesi insinyur yang penulis di depan anak TK Islam Hanifa | Foto: Rifki Feriandi
Melakukan sesi berbagi untuk semua jenjang pendidikan, mulai dari TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi itu adalah sesuatu yang tidak ternilia. Pengalaman yang sangat berharga. Priceless. Membahagiakan. Tentu saja, karena melakukannya tidaklah mudah karena pendekatan terhadap anak-anak TK tentu berbeda dengan anak SMA. Demikian pula untuk tingkat-tingkat pendidikan lainnya. Dan, jika kita membawakannya dengan baik, respons yang didapat adalah membahagiakan. Apapun responnya itu, baik terkait dengan kemenulisan atau justru menyangkut soft skills. Contoh kebahagiaan saya didapat dari tulisan Kompasianer Intan Rosmadewi, Speak Up! dan Tulislah Apapun yang Kamu Bisa, Berbagi Cara Narsis Bisa Nulis dari Kang Rifki Feriandi . “Karena Kang Rifki berbicara dengan hati yang ikhlas apa yang dia ungkapkan menuai hasil yang instan dan nyata sebagai mana diutarakan oleh Ibu Kepala Sekolah Lia Karlia Spd. bahwa salah seorang santri bernama Gugum kelas IX B dan Angga kls IX A mereka berdua sebelumnya tidak pernah satu kalimatpun meluncur setelah tiga tahun di Babussalam, namun di acara ini dengan serta merta ia tampil maju kedepan dan bicara meski dengan badan gemetaran dan wajah sedikit pucat pasi”. Respons yang priceless.

Berbagi pengalaman hidup di depan santri SMP/SMA Pesantren Al Qur'an Baabussalam | Foto: Intan Rosmadewi
Berbagi pengalaman hidup di depan santri SMP/SMA Pesantren Al Qur'an Baabussalam | Foto: Intan Rosmadewi
Itulah momen-momen indah saya selama menulis di Kompasiana, dan momen-momen indah ikutannya. Saya tidak ingin membatasi momen-momen indah itu sampai di sini saja. Saya ingin selalu berusaha menciptakan momen-momen indah dalam segala aktivitas yang akan dilakukan selanjutnya. Momen indah. Karena berbagi itu indah.

Mari menulis. Mari berbagi. Mari berbahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun