Mencari sebuah momen indah selama menjadi penulis di Kompasiana itu memerlukan sebuah langkah kilas balik. Kilas balik artinya membuka lembaran sejarah satu demi satu dan lalu menikmati lagi kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang baru, karena aktivitas baru, menemukan kemampuan diri yang baru: MENULIS. Kebahagiaan bukan materi, kebahagiaan yang ada di hati. Itulah kenapa, momen indah di Kompasiana bagiku tidaklah satu.
Inilah momen-momen indah itu – not in chronoligical order J
20 April 2015 menjadi Pemenang Blog Competition Rekatkan Budaya Bersama Taman Mini “Indonesia Indah”
Momen ini sebenarnya lebih ke momen pribadi. Bukan!! Bukan karena saya menjadi pemenang pertama dengan tulisan TMII, 'Pusaka' yang Tidak Boleh Berkarat. Bukan pula karena saya membawa hadiah berupa laptop yang masih menjadi sarana menulis sekarang ini. Tidak dipungkiri, kedua hal itu saya apresiasi dan membuat saya bahagia. Momen indahnya justru saat saya menerima piala. Piala? Beneran. Itulah piala pertama saya seumur hidup yang saya dapatkan karena prestasi saya. Dan itu menjadi sebuah momen indah karena sekarang saya punya alasan dan daya tawar jika berbicara dengan si bungsu yang baru masuk SD kelas 1 yang sudah memiliki sebelas piala.
“Wew De… ayah juga punya piala da”. Begitu yang bisa saya katakan dengan si Ade, yang lalu menjadi awal kedekatan kami berdua setelah dibalas dengan tawa. Priceless momen, bukan?
Di tulisan saya “Karena Kompasiana Saya Dapat Piala”, saya sebutkan “Dengan Kompasiana lah P.I.A.L.A menghasilkan piala. Karena Kompasiana memberikan hal-hal berikut:
P - Persahabatan
I - Inspirasi
A - Aktualisasi
L - Lessons Learnt
A - Apresiasi
Tinggallah saya sekarang berusaha untuk menjaga inti dari piala itu dengan BERBAGI”.
Kaget bukan kepalang. Tulisan saya yang sebenarnya sekedar ikut meramaikan event Fiksi Anak Komunitas Fiksiana – berjudul Rio the Gatrikman – malah termasuk dalam 15 pemenang kategori fiksi realita. Padahal, pesertanya banyak banget, 451 orang dengan 491 karya. Makin bahagia ketika akhirnya saya menerima beberapa eksemplar buku di mana tulisan itu termasuk di dalamnnya, dan diterbitkan oleh penerbit mayor: Mizan.
Momen ini terasa indah karena sebelumnya saya tidak tahu dan tidak sadar bahwa saya bisa menulis fiksi. Apalagi fiksi anak yang kata orang lebih sulit dari fiksi umumnya. Dalam fiksi anak, kita dihadapkan pada kesulitan bagaimana menggunakan bahasa yang dimengerti anak. Artinya apa? Saya BISA!!! Saya bisa menulis sesuatu yang awalnya saya pikir saya tidak bisa. Hikmah utama lainnya adalah saya makin sering membaca buku anak dan makin menikmati bagaimana membaca buku anak itu saat mengiringi si Ade – anak saya yang saat itu berusia tiga tahun – menuju peraduannya.
Momen indah lainnya adalah sekonyong-konyong saya mendapatkan beberapa teman baru di fesbuk yang ternyata adalah pribadi-pribadi keren, penulis buku anak. Ah, priceless juga.
4 Juli 2011 Tulisan Dikomentari Ahli
Sekitar enam-tujuh bulan sejak saya bergabung dengan Kompasiana dan mulai menulis, saya buat sebuah artikel sederhana. Judulnya “Sudah Tahu Gila, Dipanggil Gila. Gila lo!!!”. Tulisan berdasarkan kegundahan pribadi melihat tontonan sampah yang tidak memiliki tuntunan dan edukasi. Tulisan yang sebenarnya sekedar curhatan itu sampai satu dua minggu hanya dibaca puluhan orang dan dikomentari satu orang. Komentarnya pun sederhana sekali: “Luar biasa tulisannya. Salam. AA”. Tapi komentar itu menjadikan kebahagiaan tak terkira, setelah melihat siapa yang memberi komentar: Andri,dr,SpKJ,FAPM. Seorang spesialis kejiwaan dan satu-satunya psikiater Indonesia yang mendapatkan pengakuan Fellow of Academy of Psychosomatic Medicine dari Academy of Psychosomatic Medicine di USA.
Bagi saya sebagai penulis pemula saat itu, komentar sesederhana seperti itu tapi diberikan oleh seseorang profesional dan ahli dalam bidangnya sekonyong-konyong melejitkan semangat menulis ke level tertinggi. Keyakinan semakin kuat. Jika kita menulis hal yang positif, maka menulis itu membahagiakan. Meski tanpa imbalan, saya pilih menulis agar saya bahagia. Dan bahagia itu tidak terukur uang. Priceless.
23 Juli 2014 Bertemu Pak Thamrin Sonata di Nangkring Kompasiana
Nangkring is nangkring. Kongkow-kongkow begitulah. Dengan topik yang begitulah, kadang sesuai dengan minat, kadang datang juga sekedar mencari gudibeg ..eh. Saya yang pekerja kantoran – saat itu – cenderung pemilih dalam mengikuti nangkring. Kalau topiknya cocok dan di luat jam kerja, bolehlah saya datang. Di Nangkring, saya tidak ekspektasi terlalu jauh, karena ya itu tadi, nangkring is nangkring.
Tapi di nangkirng saat itu, di toko buku Kinokuniya kalau tidak salah, saya bertemu beberapa orang Kompasianers. Satu yang dikenal adalah Mbak Edrida Pulungan. Berdiri seorang cowok paruh baya berkaos abu-abu. Saya akhirnya dikenalkan oleh Mbak Ed. Nama Kompasianer itu ternyata Thamrin Sonata. “Hmm….Sonata apa Soneta?” begitu pikirku. Entah kenapa, saat nangkring itu saya malah lebih banyak berada di luar, dibanding mengikuti paparan acara Nangkring. Saya malah asyik bercakap dengan Pak TS (begitu saya memanggilnya) tentang banyak topik, terutama menyangkut kepenulisan, kepenerbitan, singgungannya dengan edukasi dan guru serta ekspektasi ke depannya. Berbincang dengan beliau pertama kali itu serasa perbincangan dua orang teman lama. Kami rasanya nyambung.
Buku Cara Narsis Bisa Nulis sepertinya menuntun saya ke gerbang memasuki dunia lain: dunia edukasi dan dunia berbagi. Dan pintu gerbang itu dibuka justru di sebuah kota yang tidak pernah saya singgahi sebelumnya: Majalengka. Ya, SMANSA (SMA 1) Kota Majalengka. Melalui Pak TS dan Kompasianer Majalengka – yang Guru Matematika dan jago nulis fiksi – Pak Didik Sedyadi, saya – bersama Pak TS – didapuk untuk mengisi acara bulan bahasa. Acaranya bertema menggairahkan aktivitas menulis. Buku saya dianggap cocok untuk dikupas di depan 300 siswa sebagai audiensnya.
Acara itu mungkin adalah pertama kalinya saya berbicara di depan anak-anak sekolahan, berjumlah cukup banyak lagi, membicarakan sebuah aktivitas yang baru saya jalani tetapi sudah menjadi ‘gue banget’. Makanya, saya bawakan acara – kombinasi presentasi dan dialog – dengan cair. Tidak ada ketakutan bagi saya, karena notabene yang dibawakan adalah beneran pengalaman yang terjadi. Tanpa rekayasa. Tidak dibuat-buat. Karenanya, dialog yang ada Alhamdulillah berjalan lancar. Dan terus terang di sinilah saya melihat saya yang lain. Saya menemukan diri saya yang selama ini tidak terlihat. Saya merasa berbagi ilmu seperti ini – dalam bentuk dialog sharing sessio – adalah aktivitas yang cocok banget dengan pribadi saya. Saya menemukan passion baru saya. Sharing. Berbagi.
Kenapa dianggap spesial?
Momen indah trespesial itu adalah tatkala sebuah aktivitas menjadi saksi bisu dan menjadi awal aktivitas-aktivitas selanjutnya yang menggelinding bak bola salju. Bola salju bernama BERBAGI.
Sejak saya menjadi pembicara di SMANSA Majalengka, ada gairah dalam diri untuk berbagi. Apapun itu. Salah satunya berbagi buku Cara Narsis Bisa Nulis. Setelah penjualan lewat medsos melewati break even, saya bagikan buku itu kepada beberapa perpustakaan yang saya tahu. Saya kirimkan ke beberapa orang teman yang inspratif. Saya titipkan ke satu dua komunitas Kompasiana. Entahlah, saya tidak pernah mencatat siapa-siapa dan perpustakaan apa dan mana yang pernah saya titipkan buku itu. Mudah-mudahan saja buku itu ada yang membacanya. Dan semoga saja dari yang membaca itu ada satu dua yang mengikuti jejaknya.
Selain berbagi langsung, saya pun berbagi secara kombinasi: memberikan buku + memberi sharing session. Memberikan presentasi, dialog dengan hadiah buku. Harapannya hanya satu: sedikitnya ada informasi sampai ke audiens bahwa menulis itu membahagiakan. Tidak ada harapan di diri pribadi selain saya membawakan acara dengan baik. Perkara respons mereka baik atau tidak, terinspirasi atau tidak, saya serahkan kepada masing-masing orang.
Mari menulis. Mari berbagi. Mari berbahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H