Momen indah lainnya adalah sekonyong-konyong saya mendapatkan beberapa teman baru di fesbuk yang ternyata adalah pribadi-pribadi keren, penulis buku anak. Ah, priceless juga.
4 Juli 2011 Tulisan Dikomentari Ahli
Sekitar enam-tujuh bulan sejak saya bergabung dengan Kompasiana dan mulai menulis, saya buat sebuah artikel sederhana. Judulnya “Sudah Tahu Gila, Dipanggil Gila. Gila lo!!!”. Tulisan berdasarkan kegundahan pribadi melihat tontonan sampah yang tidak memiliki tuntunan dan edukasi. Tulisan yang sebenarnya sekedar curhatan itu sampai satu dua minggu hanya dibaca puluhan orang dan dikomentari satu orang. Komentarnya pun sederhana sekali: “Luar biasa tulisannya. Salam. AA”. Tapi komentar itu menjadikan kebahagiaan tak terkira, setelah melihat siapa yang memberi komentar: Andri,dr,SpKJ,FAPM. Seorang spesialis kejiwaan dan satu-satunya psikiater Indonesia yang mendapatkan pengakuan Fellow of Academy of Psychosomatic Medicine dari Academy of Psychosomatic Medicine di USA.
Bagi saya sebagai penulis pemula saat itu, komentar sesederhana seperti itu tapi diberikan oleh seseorang profesional dan ahli dalam bidangnya sekonyong-konyong melejitkan semangat menulis ke level tertinggi. Keyakinan semakin kuat. Jika kita menulis hal yang positif, maka menulis itu membahagiakan. Meski tanpa imbalan, saya pilih menulis agar saya bahagia. Dan bahagia itu tidak terukur uang. Priceless.
23 Juli 2014 Bertemu Pak Thamrin Sonata di Nangkring Kompasiana
Nangkring is nangkring. Kongkow-kongkow begitulah. Dengan topik yang begitulah, kadang sesuai dengan minat, kadang datang juga sekedar mencari gudibeg ..eh. Saya yang pekerja kantoran – saat itu – cenderung pemilih dalam mengikuti nangkring. Kalau topiknya cocok dan di luat jam kerja, bolehlah saya datang. Di Nangkring, saya tidak ekspektasi terlalu jauh, karena ya itu tadi, nangkring is nangkring.
Tapi di nangkirng saat itu, di toko buku Kinokuniya kalau tidak salah, saya bertemu beberapa orang Kompasianers. Satu yang dikenal adalah Mbak Edrida Pulungan. Berdiri seorang cowok paruh baya berkaos abu-abu. Saya akhirnya dikenalkan oleh Mbak Ed. Nama Kompasianer itu ternyata Thamrin Sonata. “Hmm….Sonata apa Soneta?” begitu pikirku. Entah kenapa, saat nangkring itu saya malah lebih banyak berada di luar, dibanding mengikuti paparan acara Nangkring. Saya malah asyik bercakap dengan Pak TS (begitu saya memanggilnya) tentang banyak topik, terutama menyangkut kepenulisan, kepenerbitan, singgungannya dengan edukasi dan guru serta ekspektasi ke depannya. Berbincang dengan beliau pertama kali itu serasa perbincangan dua orang teman lama. Kami rasanya nyambung.
Buku Cara Narsis Bisa Nulis sepertinya menuntun saya ke gerbang memasuki dunia lain: dunia edukasi dan dunia berbagi. Dan pintu gerbang itu dibuka justru di sebuah kota yang tidak pernah saya singgahi sebelumnya: Majalengka. Ya, SMANSA (SMA 1) Kota Majalengka. Melalui Pak TS dan Kompasianer Majalengka – yang Guru Matematika dan jago nulis fiksi – Pak Didik Sedyadi, saya – bersama Pak TS – didapuk untuk mengisi acara bulan bahasa. Acaranya bertema menggairahkan aktivitas menulis. Buku saya dianggap cocok untuk dikupas di depan 300 siswa sebagai audiensnya.
Acara itu mungkin adalah pertama kalinya saya berbicara di depan anak-anak sekolahan, berjumlah cukup banyak lagi, membicarakan sebuah aktivitas yang baru saya jalani tetapi sudah menjadi ‘gue banget’. Makanya, saya bawakan acara – kombinasi presentasi dan dialog – dengan cair. Tidak ada ketakutan bagi saya, karena notabene yang dibawakan adalah beneran pengalaman yang terjadi. Tanpa rekayasa. Tidak dibuat-buat. Karenanya, dialog yang ada Alhamdulillah berjalan lancar. Dan terus terang di sinilah saya melihat saya yang lain. Saya menemukan diri saya yang selama ini tidak terlihat. Saya merasa berbagi ilmu seperti ini – dalam bentuk dialog sharing sessio – adalah aktivitas yang cocok banget dengan pribadi saya. Saya menemukan passion baru saya. Sharing. Berbagi.