"Bukan nggak suka, tapi kan ada banyak toko selain Alfamart. Lalu kenapa harus Alfamart sih, heran aku", tanya kawanku lebih lanjut.
"Ceritanya sambil jalan aja yuk. Kalau sampai kita tertinggal kawan-kawan yang lain, bisa berabe nanti. Bisa-bisa kita dihukum oleh Pak Guru", ajakku sambil menarik tangan kawanku tersebut.
Sambil berjalan kembali menuju sekolah, aku mulai bercerita kepada kawanku tadi tentang mengapa aku begitu mencintai Alfamart.
"Gini lho..., waktu aku masih kecil, aku paling senang kalau disuruh belanja kewarung. Banggaaa banget kalau bisa pegang uang, lalu membeli sesuatu, dan mendapat kembalian. Apalagi kalau sesampainya dirumah, aku langsung dipuji mama dengan kata-kata, 'waduuuuh kamu memang anak pintar!'. Seperti melayang rasanya", ceritaku sambil mencoba mengatur nafas yang mulai sedikit tersengal karena berjalan cepat.
"Bahkan terkadang aku sering menawarkan diri pada mama untuk membelikan sesuatu. Dan mama seringkali menyuruh aku untuk membelikan ini dan itu, walaupun terkadang mama tidak terlalu membutuhkannya. Hanya untuk membuat aku senang saja", ucapku sambil tersenyum mengingat masa-masa indah itu.
"Hingga pada suatu waktu, mama menemukan bahwa ada makanan yang dijual diwarung tersebut ternyata sudah kadaluarsa, dan berbahaya jika di konsumsi. Dan ketika mama menyuruhku untuk menukarnya, si pemilik warung tidak mau menggantinya, dan mengatakan bahwa barang yang sudah dibeli tidak boleh ditukar atau dikembalikan", tuturku sambil menghela nafas.
"Aku pulang dengan perasaan takut. Takut kalau mama marah karena aku tidak berhasil menukar barang tersebut. Aku takut, kalau mama tidak memperbolehkan aku untuk belanja kewarung lagi, padahal aku sangat senang jika bisa berbelanja ke warung", kataku dengan pandangan menerawang mencoba mengingat-ingat tentang kejadian yang tidak menyenangkan itu.
"Dan ternyata benar. Sesampainya dirumah, mama marah. Bukan marah padaku, tetapi mama marah pada pemilik warung itu. Dan ketika papa pulang dari kantor, mama kemudian menceritakan hal tersebut pada Papa", ucapku dengan mimik serius.
"Akan tetapi papa hanya menganjurkan agar tidak lagi berbelanja di warung tersebut, dan jangan lagi mempermasalahkan hal itu, karena menurut papa, tidak enak dengan pemilik warung yang dikenal papa sebagai salah satu tetangga kami di komplek perumahan dimana kami tinggal".
"Mama hanya diam. Walaupun aku tahu bahwa mama tidak bisa menerima sepenuhnya tentang hal itu. Buktinya setiap ada tetangga yang berkunjung kerumah kami, mama selalu kembali membahas tentang hal tersebut kepada mereka", kataku sambil tersenyum-senyum mengingat betapa kesalnya mama saat itu.
"Dan yang menjadi obyek penderita ya aku..., sejak saat itu, aku dilarang berbelanja lagi oleh mama. Capeee deeh...", kataku sambil memperagakan memegang kening seperti tingkah laku artis yang 'lebay' di layar televisi.