Mohon tunggu...
Rifka Annisa
Rifka Annisa Mohon Tunggu... -

Bekerja sama menabur cinta kasih

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebuah Alternatif ”Psikologi Forensik”

13 Desember 2011   05:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:23 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus-kasus perkara pidana di Indonesia meningkat secara signifikan dalam dua tahun terakhir. Hal ini ditandai dengan meningkatnya ragam kasus pidana seperti bebagai kejahatan ekonomi, terorisme, narkoba, trafficking, KDRT, asusila, kekerasan berbasis agama, maupun cyber crime. Sehingga, perlu adanya penerapan perspektif yang berbeda dalam melihat persoalan kasus pidana, salah satunya dengan penerapan perspektif psikologi. Penerapan psikologi dalam kasus pidana dikenal juga dengan psiologi forensik diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran terkait dengan upaya pencapaian peradilan pidana.

Berangkat dari persoalan diatas, Aditya Kurniawan, salah satu konselor Divisi Men’s Program Rifka Annisa berkesempatan untuk menjadi pembicara dalam Kongres Seminar dan Workshop Apsifor Indonesia 2011. Kongres Seminar dan Workshop dengan tema ”Peran Aparat Penegak Hukum dan Masyarakat: Kajian Psikologi dalam Upaya mecapai keadilan pada perkara pidana.”membicarakan lebih jauh tentang persolan penanganan kasus pidana melaui peran psikologi forensik.

Fadli, salah satu Relawan Media Rifka Annisa, berkesempatan mewawancarai Mas Adit untuk menanyakan tentang workshop dan materi yang dibicarakan dalam workshop tersebut. Berikut hasil wawancaranya.

Selamat pagi mas Adit, menindak lanjuti seminar atau workshop beberapa minggu lalu, bisa dijelaskan dahulu mengenai workshopnya, tentang apa dan diadakan kapan?

Selamat pagi mas Fadhli. Workshop tersebut diadakan 16-17 November kemarin dengan tema Peran Aparat Penegak Hukum dan Masyarakat: Kajian Psikologi dalam Upaya mecapai keadilan pada perkara pidana. Kegiatan ini diadakan oleh Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia. Tujuan untuk menyororti beberapa kasus seperti trafficking, KDRT, terorisme dsb, yang dilihat dari kacamata psikologi. Dalam hal ini Rifka, Divisi Men’s Program diminta untuk memaparkan pengalamannya selama ini dalam penanganan pelaku laki-laki dalam tindak kekerasan. Disana kita juga membicarakan titik temu antara titik temu antara hukum dan psikologi dengan mengadakan semacam mini workshop kepada aparat penegak hukum.

Untuk pesertanya berasal dari mana saja?

Pesertanya dari dinas kepolisian dan polda. Ada juga akademisi dan praktisi seperti mahasiswa dan dosen. Rata-rata mereka adalah yang berasal dari latar belakang kajian psikologi.

Apa tujuan workshop ini ?

Pertama untuk mengenalkan kepada masyarakat tentang psikologi forensik dan menjelaskan apa yang dapat dilakukan kajian psikologi dalam penegakan hukum untuk penanganan kasus-kasus pidana.

Sejauh ini yang Mas Adit lihat, secara praksis apa kaitan antara kajian psikologi dan hukum?

Dalam kajian psikologi forensik, hal terpenting yang dilakukan adalah mendukung proses penanganan pidana, misalnya kasus KDRT. Disini psikologi bertugas, bagaimana sebenarnya korban KDRT itu mengalami depresi melaui tes psikologi dan hasil tes itu bisa mendukung dan membantu penyidikan polisi. Itu sangat bermanfaat, ketika sudah masuk pada lembaga peradilan karena berpengaruh pada putusan hakim

Konseling terhadap laki-laki pelaku kekerasan memang tergolong baru di Indonesia. Idealnya, polisi bisa merujuk pelaku untuk melakukan konseling. Misalnya pada UU PKDRT No.23 tahun 2004 Pasal 50 ayat 1 dan 2, menyebutkan  hakim dapat melakukan pidana tambahan terhadap pelaku kekerasan yang telah divonis untuk melakukan konseling. Disinlah peran psikologi sangat penting dalam mengakomodir kasus-kasus seperti ini.

Idealnya Indonesia memiliki semacam pengadilan keluarga, seluruh masalah keluarga diselesaikan didalamnya. Austaralia adalah negara yang telah menerapkan pengadilan keluarga, jadi polisi disini bertugas dalam membawa pelaku ke peradilan keluarga dan hakim nantinya akan memerintahkan kepada pelaku untuk melakukan konseling di bawah lembaga tertentu. Para konselor akan memberikan laporan terhadap hasil konseling yang telah dilakukan kepada aparat penegak hukum. Sejauh ini belum banyak negara yang menerapkan pengadilan keluarga seperti ini, termasuk Asia. Negara bagian Florida, Amerika Serikat adalah salah satu negara yang telah menerapkan pengadilan keluarga. Kini, negara bagian Florida tengah bekerjasama dengan Rifka Annisa dalam menangani sebuah kekerasan dalam keluarga.

Dalam upaya mendukung penaganan kasus hukum, wilayah apa saja yang dimasuki psikologi forensik?

Wilayah terapan psikolgi sebenarnya sangat luas sekali. Tapi disini bisa dilihat mulai dari proses pemeriksaan, pemberkasan dan pembuktian. Pertama adalah pemeriksaan, teknis pemeriksaan saksi yang diduga pelaku pada wilayah hukum biasanya menggunakan cara-cara tertentu sesuai prosedur hukum. Namun, dalam psikologi forensik menggunakan teknik-teknik tertentu, bagaamana membuat pelaku yang diduga melakukan kekerasan mengaku dengan cara yang humanis. Kedua pembuktian, psikologi akan melaihat kondisi psikologis pelaku seperti apa. Ketiga, dalam penangan pasca peradilan, psikologi berperan dalam tindakan kekerasan  tidak terulang kempali pada pelaku dan semua ini akan berpengaruh pada hakim saat memutus perkara.

Bagimana polisi melihat keterkaitan ilmu psikologi dalam penanganan kasus hukum?

Di kepolisian sebenarnya telah menerapkan hal ini saat penanganan kasus, khususnya melalui dinas psikologi di kepolisian, hanya dalam skop yang terbatas pada proses pemeriksaan, pemberkasan dan pembuktian. Namun, disini Rifka lebih kepada penanganan pasca putusan, tetapi dalam beberapa hal kepolisian dan Rifka juga telah bersama-sama melakukan upaya-upaya psikologi tersebut, seperti agar pelaku mengakui bahwa dia telah melakukan kekerasan. Perbedaannya disini adalah; kepolisian melakukan itu sebagai alat pembuktian/kepentingan penuntutan, sedangkan Rifka lebih kepada upaya untuk mengubah prilaku pelaku kekerasan.

Bagaimana  dengan hakim sendiri terkait dengan masalah di atas?

Kalau dari kalangan hakim, ilmu psikologi memang belum cukup populer dan yang saya lihat pada workshop, hakim juga tidak hadri, hanya pihak kepolisian saja.

Pada pembicaraan sebelumnya, Mas Adit banyak bercerita tentang Pengadilan Negeri sebagai sebuah lembaga peradilan yang menangani berbagai kasus hukum (pidana) seperti yang disinggung sebelumnya. Bagaimana dengan peran Pengadilan Agama?

Sama saja. Kajian psikologi yang digunakan pada dasarnya adalah untuk mencari kebenaran. Bagaimna hakim melihat dan mencapai kebenaran dalam sebuah kasus. Jadi, sebagai salah satu strategi untuk mencari tahu kebenaran.

Sejauh ini, apakah psikologi forensik sudah dirasakan maksimal dalam membantu aparat penegak hukum?

Psikologi forensik bukanlah sebuah cara atau metodologi. Psikologi forensik lebih diartikan sebagai sebuah strategi perspektif dan bagaiamana agara psikologi forensik dimanfaatkan untuk kepentingan dan penegakan hukum pada proses litigasi dan rehabilitasi.

Kalau saya lihat workshop ini dilakukan dalam 2 hari. Bisa sedikit diceritakan mengenai kegiatan-kegiatan pada hari itu?

Workshop itu memang dilaksanakan dalam waktu 2 hari. Namun Rifka disini hanya mengikuti pada hari ke dua saja. Karena pada hari pertma itu khusus diikuti oleh internal APSIFOR. Itu mungkin semacam rapat tahunan.

Dalam kegiatan ini, kepentingan Rifka seperti apa?

Rifka berkepentingan agar proses pendampingan pelaku kekerasan ini dapat diakomodir oleh APSIFOR dan kita berkeinginan agar ini masuk dalam sistem peradilan dalam penangan kasus KDRT. Jadi nanti bagaimana nanti aparat penegak hukum dapat berkoordinasi dengan lembaga seperti Rifka.

Apa yang rekomendasi yang Rifka berikan pada kegiatan tersebut?

Rifka memaparkan sebuah standar operasional prosedur, yaitu sistem rujukan, agar aparat penegak hukum saat dalam proses hukum pada pelaku bisa berkoordinasi dengan Rifka dan hakim juga mempertimbangkan pelaku agar wajib konseling.

Apa harapan Rifka ke depan tentang psikologi forensik?

Agar psikologi forensik semakin dikenal sehingga hakim dapat mempertimbangkan psikologi forensik dalam putusan sebuah perkara dan dalam mencapai keadilan. Saya kira begitu.

dapat dilihat di http://rifka-annisa.or.id/go/sebuah-alternatif-%E2%80%9Dpsikologi-forensik%E2%80%9D/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun