Mohon tunggu...
Rifka Annisa
Rifka Annisa Mohon Tunggu... -

Bekerja sama menabur cinta kasih

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebuah Alternatif ”Psikologi Forensik”

13 Desember 2011   05:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:23 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konseling terhadap laki-laki pelaku kekerasan memang tergolong baru di Indonesia. Idealnya, polisi bisa merujuk pelaku untuk melakukan konseling. Misalnya pada UU PKDRT No.23 tahun 2004 Pasal 50 ayat 1 dan 2, menyebutkan  hakim dapat melakukan pidana tambahan terhadap pelaku kekerasan yang telah divonis untuk melakukan konseling. Disinlah peran psikologi sangat penting dalam mengakomodir kasus-kasus seperti ini.

Idealnya Indonesia memiliki semacam pengadilan keluarga, seluruh masalah keluarga diselesaikan didalamnya. Austaralia adalah negara yang telah menerapkan pengadilan keluarga, jadi polisi disini bertugas dalam membawa pelaku ke peradilan keluarga dan hakim nantinya akan memerintahkan kepada pelaku untuk melakukan konseling di bawah lembaga tertentu. Para konselor akan memberikan laporan terhadap hasil konseling yang telah dilakukan kepada aparat penegak hukum. Sejauh ini belum banyak negara yang menerapkan pengadilan keluarga seperti ini, termasuk Asia. Negara bagian Florida, Amerika Serikat adalah salah satu negara yang telah menerapkan pengadilan keluarga. Kini, negara bagian Florida tengah bekerjasama dengan Rifka Annisa dalam menangani sebuah kekerasan dalam keluarga.

Dalam upaya mendukung penaganan kasus hukum, wilayah apa saja yang dimasuki psikologi forensik?

Wilayah terapan psikolgi sebenarnya sangat luas sekali. Tapi disini bisa dilihat mulai dari proses pemeriksaan, pemberkasan dan pembuktian. Pertama adalah pemeriksaan, teknis pemeriksaan saksi yang diduga pelaku pada wilayah hukum biasanya menggunakan cara-cara tertentu sesuai prosedur hukum. Namun, dalam psikologi forensik menggunakan teknik-teknik tertentu, bagaamana membuat pelaku yang diduga melakukan kekerasan mengaku dengan cara yang humanis. Kedua pembuktian, psikologi akan melaihat kondisi psikologis pelaku seperti apa. Ketiga, dalam penangan pasca peradilan, psikologi berperan dalam tindakan kekerasan  tidak terulang kempali pada pelaku dan semua ini akan berpengaruh pada hakim saat memutus perkara.

Bagimana polisi melihat keterkaitan ilmu psikologi dalam penanganan kasus hukum?

Di kepolisian sebenarnya telah menerapkan hal ini saat penanganan kasus, khususnya melalui dinas psikologi di kepolisian, hanya dalam skop yang terbatas pada proses pemeriksaan, pemberkasan dan pembuktian. Namun, disini Rifka lebih kepada penanganan pasca putusan, tetapi dalam beberapa hal kepolisian dan Rifka juga telah bersama-sama melakukan upaya-upaya psikologi tersebut, seperti agar pelaku mengakui bahwa dia telah melakukan kekerasan. Perbedaannya disini adalah; kepolisian melakukan itu sebagai alat pembuktian/kepentingan penuntutan, sedangkan Rifka lebih kepada upaya untuk mengubah prilaku pelaku kekerasan.

Bagaimana  dengan hakim sendiri terkait dengan masalah di atas?

Kalau dari kalangan hakim, ilmu psikologi memang belum cukup populer dan yang saya lihat pada workshop, hakim juga tidak hadri, hanya pihak kepolisian saja.

Pada pembicaraan sebelumnya, Mas Adit banyak bercerita tentang Pengadilan Negeri sebagai sebuah lembaga peradilan yang menangani berbagai kasus hukum (pidana) seperti yang disinggung sebelumnya. Bagaimana dengan peran Pengadilan Agama?

Sama saja. Kajian psikologi yang digunakan pada dasarnya adalah untuk mencari kebenaran. Bagaimna hakim melihat dan mencapai kebenaran dalam sebuah kasus. Jadi, sebagai salah satu strategi untuk mencari tahu kebenaran.

Sejauh ini, apakah psikologi forensik sudah dirasakan maksimal dalam membantu aparat penegak hukum?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun