Mohon tunggu...
Rifki GG
Rifki GG Mohon Tunggu... -

“Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian.” (Pramoedya Ananta Toer)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sedikit Mengenai Relativisme

8 Januari 2017   21:01 Diperbarui: 8 Januari 2017   21:11 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun walau demikian, tak pada semua hal relativisme berlaku. Pada keadaan normal dua orang yang saling menampar dengan kekuatan penuh  akan sama-sama merasakan sakit.  Jika seorang Hakim berkata kepada seorang pengemplang pajak: “Kenapa anda menunggak pajak”? “Ini  pelanggaran serius”!  Bayangkan  bila ia menjawab :”Tidak ada yang salah. Sebab menurut saya tidak membayar pajak adalah  sebuah perbuatan benar”

Untuk menjadi absah sebuah ide seyogyanya selamat dari penegasian oleh ide itu sendiri. Di sinilah aib relativisme. Jika kebenaran itu relatif,  maka kalimat “kebenaran itu relatif” relatif dan dengan demikian tidak dapat menjadi ukuran. Namun bila kita membuat pengecalian dengan mengatakan  “kebenaran itu relatif” itu tidak relatif, maka kita sudah membuat pengakuan bahwa tidak semuanya relatif. Pengakuan bahwa setidak-tidaknya  ada yang absolut yaitu “Kebenaran itu relatif”

Di Indonesia, relativisme  cukup mendapat tempat.  Terutama  di kalangan intelektual,  aktivis pegiat kampanye anti Intoleransi.  Dari kalangan Islam kita semua tahu lokomotifnya adalah  JIL. Ada juga yang membawa nama sendiri.  Sedang yang berlatar belakang agama lain, sejauh ini saya mendapati satu.  Jelang Natal 2016 salah satu media  bermarkas di Surabaya memuat sebuah tulisan. Penulisnya adalah  seorang  Kristiani, anggota Gusdurian (Gusdurian seperti yang jamak diketahui bergerak dalam isu-isu intoleransi). Dalam  opininya, Ia berusaha menjelaskan konsep dalam kristen dan kurang lebih padanannya dalam konsep yang ada di Islam.  Sama sekali tidak ada penegasian. Yang satu benar dan yang  lainnya sama benarnya.

Yang dapat menjelaskan mengapa   relativisme mendapat tempat di Indonesia  agaknya karena kemajemukan Indonesia. Relativisme terkenal dengan fungsinya mengumpulkan hal-hal yang berbeda dan bertolak belakang tanpa perlu repot-repot menyebut siapa yang salah. Dan ini mungkin cocok dengan Indonesia yang kerap dilanda insiden berbau SARA dan  ketakutan akan intoleransi. Kita dapat melihat dalam isu-isu  inilah para aktivis tadi menggaungkan relativisme.

Pertanyaanya sejauh mana validitas klaim bahwa relativisme adalalah obat mujarab intoleransi? Sebab jika ditelaah, meyakini sebuah nilai sebagai kebenaran mutlak adalah hal yang dapat mendorong seseorang melihat ke dalam wilayah nilai orang lain. Dan dari situ terbuka kesempatan  belajar memahami dan menghormatinya.  

Relativisme pada hakikatnya justru membuat seseorang bertahan dengan nilainya sendiri yang ia yakini kebenarannya. Ia meyakini  kebenaran nilai pihak selain dirinya dan karena itu tak perlu untuk masuk.  Menengok  ke dalam nilai-nilai yang orang lain yakini. Mengetahui adalah kunci memahami. Dan bagaimana mungkin toleransi yang ruhya adalah memahami  akan hadir bila  untuk mengetahui saja enggan.

Sebagai sebuah mazhab berpikir, relativisme patut untuk kita selami. Tapi mesti dengan kecermatan dan sikap kritis.

Belum lama ini muncul buku Jokowi Undecover yang isinya tidak benar. Juga kata pancagila yang digunakan militer Australia.  Saya tidak tahu pendapat  Anda. Tapi saya yakin satu hal ; mengatakan bahwa apa yang ditulis oleh penulis buku di atas  serta  apa yang dilakukan oleh militer Australia itu adalah benar, sebagaimana yang diafirmasi oleh relativisme, merupakan sesuatu yang tak dapat diterima.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun