Namun walau demikian, tak pada semua hal relativisme berlaku. Pada keadaan normal dua orang yang saling menampar dengan kekuatan penuh akan sama-sama merasakan sakit. Jika seorang Hakim berkata kepada seorang pengemplang pajak: “Kenapa anda menunggak pajak”? “Ini pelanggaran serius”! Bayangkan bila ia menjawab :”Tidak ada yang salah. Sebab menurut saya tidak membayar pajak adalah sebuah perbuatan benar”
Untuk menjadi absah sebuah ide seyogyanya selamat dari penegasian oleh ide itu sendiri. Di sinilah aib relativisme. Jika kebenaran itu relatif, maka kalimat “kebenaran itu relatif” relatif dan dengan demikian tidak dapat menjadi ukuran. Namun bila kita membuat pengecalian dengan mengatakan “kebenaran itu relatif” itu tidak relatif, maka kita sudah membuat pengakuan bahwa tidak semuanya relatif. Pengakuan bahwa setidak-tidaknya ada yang absolut yaitu “Kebenaran itu relatif”
Di Indonesia, relativisme cukup mendapat tempat. Terutama di kalangan intelektual, aktivis pegiat kampanye anti Intoleransi. Dari kalangan Islam kita semua tahu lokomotifnya adalah JIL. Ada juga yang membawa nama sendiri. Sedang yang berlatar belakang agama lain, sejauh ini saya mendapati satu. Jelang Natal 2016 salah satu media bermarkas di Surabaya memuat sebuah tulisan. Penulisnya adalah seorang Kristiani, anggota Gusdurian (Gusdurian seperti yang jamak diketahui bergerak dalam isu-isu intoleransi). Dalam opininya, Ia berusaha menjelaskan konsep dalam kristen dan kurang lebih padanannya dalam konsep yang ada di Islam. Sama sekali tidak ada penegasian. Yang satu benar dan yang lainnya sama benarnya.
Yang dapat menjelaskan mengapa relativisme mendapat tempat di Indonesia agaknya karena kemajemukan Indonesia. Relativisme terkenal dengan fungsinya mengumpulkan hal-hal yang berbeda dan bertolak belakang tanpa perlu repot-repot menyebut siapa yang salah. Dan ini mungkin cocok dengan Indonesia yang kerap dilanda insiden berbau SARA dan ketakutan akan intoleransi. Kita dapat melihat dalam isu-isu inilah para aktivis tadi menggaungkan relativisme.
Pertanyaanya sejauh mana validitas klaim bahwa relativisme adalalah obat mujarab intoleransi? Sebab jika ditelaah, meyakini sebuah nilai sebagai kebenaran mutlak adalah hal yang dapat mendorong seseorang melihat ke dalam wilayah nilai orang lain. Dan dari situ terbuka kesempatan belajar memahami dan menghormatinya.
Relativisme pada hakikatnya justru membuat seseorang bertahan dengan nilainya sendiri yang ia yakini kebenarannya. Ia meyakini kebenaran nilai pihak selain dirinya dan karena itu tak perlu untuk masuk. Menengok ke dalam nilai-nilai yang orang lain yakini. Mengetahui adalah kunci memahami. Dan bagaimana mungkin toleransi yang ruhya adalah memahami akan hadir bila untuk mengetahui saja enggan.
Sebagai sebuah mazhab berpikir, relativisme patut untuk kita selami. Tapi mesti dengan kecermatan dan sikap kritis.
Belum lama ini muncul buku Jokowi Undecover yang isinya tidak benar. Juga kata pancagila yang digunakan militer Australia. Saya tidak tahu pendapat Anda. Tapi saya yakin satu hal ; mengatakan bahwa apa yang ditulis oleh penulis buku di atas serta apa yang dilakukan oleh militer Australia itu adalah benar, sebagaimana yang diafirmasi oleh relativisme, merupakan sesuatu yang tak dapat diterima.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H