Bila belum, saya merekomendasikan Anda membaca tulisan Iqbal Aji Daryono di salah satu media elektronik Indonesia. Judulnya ‘Mendidik Dengan Rendah Hati’.
Mulanya ditemukan tulang belulang. Tulang-belulang yang diduga milik dinosaurus itu disusun sedemikian rupa. Berdasar susunan itu, ilmuwan kemudian memberi pencintraan. Dan jadilah gambaran dinosaurus persis seperti yang kita dapati di buku-buku atau saksikan di film semisal Jurrasic Park.
Kurang lebih seperti itu tutur anaknya yang ditulis oleh Bung Iqbal. Tapi yang mengagumkan belumlah selesai. Anak Bung Iqbal ini menyambung ceritanya kepada sang ayah. Karena hari ini tak ada lagi dinosaurus, maka gambaran dinosaurus hanya dugaan, hasil dari proses mereka-reka. Dan karena itu bisa jadi benar, bisa jadi salah.
Selama ini saya selalu dalam anggapan bahwa memang demikianlah bentuk dinosaurus. Anggapan yang berarti bahwa ada yang pernah melihatnya dan kemudian memindahkannya ke dalam bentuk gambar. Sama seperti ketika kita melihat gunung, rumah, tokoh kartun favorit dan kemudian menggambarnya. Bagi saya pribadi, cerita anak cerdas ini memberi pesan yang dalam untuk selalu mengecek kembali asumsi-asumsi saya mengenai berbagai hal. Ini adalah pesan untuk tak pernah berhenti menggali informasi. Dan bagian ini, menurut hemat saya, adalah di antara pesan yang Bung Iqbal coba kirimkan lewat tulisannya.
Akan tetapi ada juga pesan dalam tulisan Bung Iqbal itu yang perlu dicermati. Ia menulis
“Namun membayangkan bahwa anak-anak kita kan mulai melatih kebijaksanaan demikian dalam belajar, bahwa materi yang mereka dapatkan (apalagi dalam ranah sosial-humaniora) bukan kebenaran mutlak, bahwa selalu terbuka kemungkina mereka untuk menggali dan terus menggali,…”
Tidak ada kebenaran mutlak. Kebenaran bersifat relative. Setiap informasi punya nilai yang sama benarnya dengan informasi lainnya tanpa terkecuali. Menurut saya setidak-tidaknya ini salah satu semangat yang dapat ditangkap dalam tulisan itu.
Pandangan tidak ada kebenaran mutlak membawa kita kepada konsep relativisme. Konsep yang telah jauh ada sejak zaman orang Yunani mulai berfilsafat. Tapi menemukan momentumnya ketika Einstein datang dengan teori relativitas.
Sejak itu relativisme memuncak sebagai sebuah konsep. Hari ini, akan sulit rasanya menemukan orang di tengah kita yang tidak ‘beriman’ kepada konsep ini. Terutama mereka yang datang dari latar belakang pendidikan yang tinggi.
Salah satu penjelasannya adalah relativisme sebagai sikap kritis. Jika sesuatu tak dapat dibuktikan atau tak memiliki bukti yang memadai, maka sulit untuk diterima. Sebaliknya ketika bukti hadir maka sesuatu dapat diterima. Ketika beberapa hal yang berbeda memiliki jumlaah bukti yang sama banyaknya maka semuanya berpotensi benar dan dengan demikian bisa diterima dan diakui. Prinsip inilah yang berlaku pada ilmu alam. Menariknya, dalam suatu kesempatan Einstein pernah mengungkapkan bahwa “Relativity applies to physics. Not ethics” relativitas berlaku pada ilmu alam. Tidak pada prinsip moral.
Pada hakikatnya relativisme bukanlah sesuatu yang tabu. Posisi matahari bagi orang di Indonesia akan selalu relative terhadap orang di Alaska yang pada kira-kira 21 Juni dan 22 Desember mengalami siang selama 24 Jam. Tinggi-rendah, besar-kecil suatu objek bisa jadi berbeda bagi orang yang berada di sekitarnya dan bagi orang yang melihat objek itu dari kejauhan. Dan banyak lagi.
Namun walau demikian, tak pada semua hal relativisme berlaku. Pada keadaan normal dua orang yang saling menampar dengan kekuatan penuh akan sama-sama merasakan sakit. Jika seorang Hakim berkata kepada seorang pengemplang pajak: “Kenapa anda menunggak pajak”? “Ini pelanggaran serius”! Bayangkan bila ia menjawab :”Tidak ada yang salah. Sebab menurut saya tidak membayar pajak adalah sebuah perbuatan benar”
Untuk menjadi absah sebuah ide seyogyanya selamat dari penegasian oleh ide itu sendiri. Di sinilah aib relativisme. Jika kebenaran itu relatif, maka kalimat “kebenaran itu relatif” relatif dan dengan demikian tidak dapat menjadi ukuran. Namun bila kita membuat pengecalian dengan mengatakan “kebenaran itu relatif” itu tidak relatif, maka kita sudah membuat pengakuan bahwa tidak semuanya relatif. Pengakuan bahwa setidak-tidaknya ada yang absolut yaitu “Kebenaran itu relatif”
Di Indonesia, relativisme cukup mendapat tempat. Terutama di kalangan intelektual, aktivis pegiat kampanye anti Intoleransi. Dari kalangan Islam kita semua tahu lokomotifnya adalah JIL. Ada juga yang membawa nama sendiri. Sedang yang berlatar belakang agama lain, sejauh ini saya mendapati satu. Jelang Natal 2016 salah satu media bermarkas di Surabaya memuat sebuah tulisan. Penulisnya adalah seorang Kristiani, anggota Gusdurian (Gusdurian seperti yang jamak diketahui bergerak dalam isu-isu intoleransi). Dalam opininya, Ia berusaha menjelaskan konsep dalam kristen dan kurang lebih padanannya dalam konsep yang ada di Islam. Sama sekali tidak ada penegasian. Yang satu benar dan yang lainnya sama benarnya.
Yang dapat menjelaskan mengapa relativisme mendapat tempat di Indonesia agaknya karena kemajemukan Indonesia. Relativisme terkenal dengan fungsinya mengumpulkan hal-hal yang berbeda dan bertolak belakang tanpa perlu repot-repot menyebut siapa yang salah. Dan ini mungkin cocok dengan Indonesia yang kerap dilanda insiden berbau SARA dan ketakutan akan intoleransi. Kita dapat melihat dalam isu-isu inilah para aktivis tadi menggaungkan relativisme.
Pertanyaanya sejauh mana validitas klaim bahwa relativisme adalalah obat mujarab intoleransi? Sebab jika ditelaah, meyakini sebuah nilai sebagai kebenaran mutlak adalah hal yang dapat mendorong seseorang melihat ke dalam wilayah nilai orang lain. Dan dari situ terbuka kesempatan belajar memahami dan menghormatinya.
Relativisme pada hakikatnya justru membuat seseorang bertahan dengan nilainya sendiri yang ia yakini kebenarannya. Ia meyakini kebenaran nilai pihak selain dirinya dan karena itu tak perlu untuk masuk. Menengok ke dalam nilai-nilai yang orang lain yakini. Mengetahui adalah kunci memahami. Dan bagaimana mungkin toleransi yang ruhya adalah memahami akan hadir bila untuk mengetahui saja enggan.
Sebagai sebuah mazhab berpikir, relativisme patut untuk kita selami. Tapi mesti dengan kecermatan dan sikap kritis.
Belum lama ini muncul buku Jokowi Undecover yang isinya tidak benar. Juga kata pancagila yang digunakan militer Australia. Saya tidak tahu pendapat Anda. Tapi saya yakin satu hal ; mengatakan bahwa apa yang ditulis oleh penulis buku di atas serta apa yang dilakukan oleh militer Australia itu adalah benar, sebagaimana yang diafirmasi oleh relativisme, merupakan sesuatu yang tak dapat diterima.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H