Tahun 2024 kembali menjadi catatan kelam bagi kepolisian Indonesia. Deretan kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota polisi menimbulkan pertanyaan tentang profesionalisme dan akuntabilitas institusi tersebut.
Mulai dari kekerasan domestik yang menunjukkan kegagalan mengendalikan emosi, Penyalahgunaan senjata yang mengakibatkan kematian sesama anggota dan warga sipil. Dan pelanggaran hak asasi manusia yang melanggar konstitusi.
Amnesty International Indonesia mencatat periode Januari-November 2024 ada 116 kasus kekerasan yang diduga dilakukan aparat kepolisian di berbagai wilayah di Indonesia.
Rincian kasus tersebut meliputi:
1. Pembunuhan di luar hukum (29 kasus)
2. Intimidasi dan kekerasan fisik (28 kasus)
3. Penyiksaan (26 kasus)
4. Penangkapan sewenang-wenang (21 kasus)
5. Penggunaan gas air mata dan meriam air tidak sesuai prosedur (7 kasus)
6. Penahanan incommunicado (3 kasus)
7. Pembubaran diskusi (1 kasus)
8. Penghilangan sementara (1 kasus)
Beberapa Kasus yang menjadi sorotan publik diantaranya adalah
1. Seorang pria tewas ditembak oleh polisi dihadapan keluarganya.
Tragedi penembakan Romadon, warga sipil yang tidak bersalah, terjadi di depan keluarganya. Saat itu, Romadon sedang membantunya memperbaiki sandal yang rusak bersama anaknya di rumah.
Tiba-tiba, ayahnya memanggil. Belum sempat menemui, Romadon langsung ditembak petugas kepolisian tanpa peringatan atau penjelasan yang jelas dihadapan istri, anak serta ibu dan ayahnya. Tindakan ini menimbulkan pertanyaan tentang proporsionalitas kekerasan yang digunakan.
Setelah ditembak, Romadon diseret secara paksa dan dilemparkan ke dalam mobil polisi. Keluarganya yang berduka kemudian diberitahu bahwa Romadon telah meninggal dunia.
Pihak kepolisian meminta izin untuk melakukan autopsi, namun keluarga menolak karena kecurigaan akan penyalahgunaan wewenang. Meskipun demikian, autopsi tetap dilakukan secara sepihak.
Hal ini memperkuat dugaan keluarga akan pelanggaran prosedur dan hak asasi manusia. Jenazah Romadon dikembalikan dengan luka lebam pada pergelangan tangan, Sudah dibelah dari leher sampai ujung perut dan kemudian ada bekas luka tembak di perut tembus ke belakang. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang perlakuan yang diterima selama dalam penanganan pihak berwajib.
2. Kasus Tragis Kematian Afif Maulana
Pada tanggal 9 Juni 2024, Afif Maulana, bocah berusia 13 tahun, ditemukan tewas mengambang di bawah Jembatan Batang Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat. Menurut investigasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, kematian Afif diduga disebabkan oleh penyiksaan yang dilakukan oleh oknum polisi dari Sabhara Polda Sumbar yang menuduhnya terlibat dalam aksi tawuran.
Peristiwa ini bermula ketika Afif dan temannya, A, dihentikan oleh anggota Sabhara yang sedang melakukan patroli. Polisi menendang motor mereka, menyebabkan keduanya terjatuh. A melihat Afif dikelilingi oleh aparat yang memegang rotan sebelum dibawa ke Polsek Kuranji. Setelah itu, A tidak pernah lagi melihat Afif.
Hasil autopsi menunjukkan bahwa Afif meninggal secara tidak wajar dengan luka-luka yang mencurigakan, termasuk rusuk patah dan paru-paru robek. Kasus ini memicu sorotan publik dan desakan untuk mengusut tuntas tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian, mempertanyakan integritas dan profesionalisme oknum tersebut.
3. Kasus Polisi Tembak Polisi
Pada 22 November 2024, terjadi insiden tragis di Polres Solok Selatan, Sumatera Barat, di mana AKP Dadang Iskandar, Kepala Bagian Operasional Polres Solok Selatan, menembak Kasat Reskrim AKP Ryanto Ulil Anshar hingga tewas. Kejadian ini terjadi setelah AKP Ryanto berhasil menangkap pelaku tambang ilegal galian C di wilayah tersebut.
Penembakan terjadi di area parkir Mapolres Solok Selatan saat AKP Ryanto kembali ke mobilnya untuk mengambil ponsel. Rekan-rekannya mendengar suara tembakan dan menemukan AKP Ryanto sudah terkena tembakan di kepala. Pelaku penembakan, AKP Dadang, menggunakan senjata api pistol dan melarikan diri dari lokasi kejadian.
Kasus ini menarik perhatian publik dan memicu desakan untuk mengusut tuntas tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian. Komisi III DPR RI juga ikut turun tangan untuk mendalami kasus ini dan memastikan pelaku penembakan dijatuhi hukuman yang setimpal.
4. Gamma seorang siswa tewas ditembak oleh polisi di Semarang.
Gamma Rizkynata Oktavandy, seorang siswa SMK Negeri 4 Semarang, tewas ditembak oleh seorang polisi bernama Aipda Robig Zaenudin pada 24 November 2024. Kejadian ini terjadi saat Gamma bersama teman-temannya diduga terlibat dalam aksi tawuran. Namun, rekaman CCTV menunjukkan bahwa Gamma tidak sedang menyerang polisi dan tidak terlibat dalam tawuran pada saat itu.
Rekonstruksi kasus ini menunjukkan bahwa Aipda Robig menembak Gamma dari jarak dekat, sekitar 1,4 meter, tanpa adanya ancaman langsung terhadap dirinya. Keluarga Gamma merasa kecewa dengan jalannya rekonstruksi yang dianggap tidak adil dan tidak menunjukkan detail peristiwa secara lengkap.
Kasus ini menimbulkan sorotan publik dan desakan untuk mengusut tuntas tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian. Keluarga Gamma juga meminta agar Kapolrestabes Semarang dicopot dari jabatannya karena dianggap tidak bertanggung jawab dalam menangani kasus ini.
Itu hanyalah beberapa dari banyaknya kasus yang telah merusak citra kepolisian. Masih banyak lagi kasus yang telah ditorehkan oleh para aparat kepolisian sepanjang tahun 2024 ini.
Berdasarkan catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ada sekitar 35 peristiwa penembakan oleh aparat kepolisian yang menewaskan 94 orang dalam kurun waktu 2019 sampai 2024. Sebanyak 80 persen dari kasus tersebut belum jelas kelanjutannya.
Sektor kasus yang berujung pada insiden penembakan tersebut beragam, mulai dari konflik kemanusiaan berkepanjangan di Papua, kasus narkotika, oposisi politik atau kebijakan hingga agraria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H