Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dunia Kanak-kanak

30 September 2019   16:28 Diperbarui: 30 September 2019   16:40 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tidurlah, Bu. Mau ke mana lagi." Ibu akan memberikan aku makanan. Beberapa jumput kacang, atau setongkol jagung, atau makanan lain. Biasanya aku tak bisa tidur, selain melahap makanan itu sampai habis. Akibat masih ingin, makanan  yang biasanya ditarok di lemari, akan pindah ke perutku. Tubuh ini memang buntal seperti bola karet. Bisa digembung-gembungkan.

Hasilnya ayah tak kebagian makanan. Ibu muntab menjewer pantatku. Ayah tertawa sambil duduk di teras. Dia memang lebih suka memakan asap ketimbang makanan buatan ibu. Berjejer di bilik kami bungkus sigaret. Telah kujadikan duit-duitan. Tapi sekarang tinggal sedikit. Aku selalu kalah bermain lempar tempurung dengan anak-anak. 

Kau masih ingat permainan ini? Tempurng ditarok di tengah lingkaran. Di bawah tempurung diletakkan duit-duitan. Setiap anak yang ikut main, masing-masing meletakkan selembar duitannya. Kami akan berdiri di belakang garis sekitar tiga meter dari tempurung itu, bergantian melemparnya dengan batu. Duitan yang keluar dari lingkaran, adalah milik si pelempar.

Akhirnya menjelang ashar aku akan tidur. Rasanya sebentar sekali. Bolehlah aku melanjutkan hingga maghrib karena aku belum wajib shalat. Tapi, apakah aku mau meninggalkan saat-saat membahagiakan itu? Tak lain tak bukan, menunggu lelaki ubanan itu muncul  di pangkal bukit. 

Dia terlihat kepayahan mendorong sepeda kumbang peninggalan Jepang. Mulutnya masih penuh asap. Meski napasnya megap-megap melawan tanjakan, pantang baginya melepaskan rokok daun nipah berisi tembakau.

Dia datang dari ibu kota kecamatan. Ada-ada  saja yang dia bawa, buah dari peruntungannya berjualan tembakau. Terkadang ayam, tepung, garam, beras atau yang lain-lain. Dia paham betul ketika melihat kami, lima sekawan, duduk di pinggir warung Wak Liah. Permata-mata surga itu. 

Ya, ya. Dia akan turun dari sepeda kumbangnya. Melambai ke arah kami. Yakinlah, kami akan berebut mendorong sepedanya. Siapa yang berhasil mendapat posisi bagian belakang sepeda, pastilah tenaganya harus kuat. Dialah yang kelak beroleh permata-permata surga yang banyak. Permen  berwarna-warni.

Terkadang karena aku yang paling lemah, Wak Salasa, begitu kami menyebutnya, sering diam-diam mengantongkanku permen  yang lebih banyak. Sampai tertidur terkadang aku lupa masih mengunyah permen.

Besok malam, mulutku pun seperti dientup tawon. Tiga hari aku menahan sakit gigi, dan menahan telinga panas  karena direpeti ibu terus-terusan.

Apakah aku kapok? Tentu tidak! Selama aku masih  mempunyai  mulut, juga perut, makan permen jalan terus. Urusan sakit gigi, paling hanya bertahan satu-dua hari. Kemarin itu aku sampai sakit gigi tiga hari,  Wak Salasa memberikan aku  dua batang permen coklat cap ayam.

Oh, iya, aku sampai lupa. Kau kenal kan si Panjul? Itu anak yang kepalanya pitak. Suatu hari dia berhasil merebut posisi di belakang sepeda kumbang Wak Salasa. Mungki terbayang  dia bakal beroleh permen yang banyak, hingga tak sadar ada ayam jago terikat di sadel belakang. Breet, dia terkena torpedo ayam itu. Dia malu sekali, pulang ke rumahnya. Sejak saat itu ada pameo di kalangan anak-anak, "Jul, permennya mana, Jul. Itu di pantat ayam! Hahaha!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun