Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dunia Kanak-kanak

30 September 2019   16:28 Diperbarui: 30 September 2019   16:40 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia kanak- kanak selalu tak terlupakan. Apalagi bagi kami yang tinggal di puncak bukit, negeri di atas awan. Pada siang yang cerah, terlihat awan berarak di bawah sana. Tapi, selagi masih pagi, kami sama sekali tak melihatnya. Kabut setia menyungkup desa kecil ini hingga pukul sepuluh.

Oya. Perkenalkan, namaku Helena. Temanku , Panjul, Cipluk, dan si kembar Aldi-Aldo. Aku bangga menjadi perempuan tercantik di antara mereka. Kau tahu kenapa? Ya, karena aku satu-satunya perempuan.

Di desa ini ada sungai kecil yang membelah punggung bukit. Lebarnya dua setengah meter. Airnya bening benar, turun dari sekumpulan kayu tua. Kami belum pernah melihat sekumpulan kayu tua itu.  Tempatnya jauh di puncak bukit paling tinggi. Di antara jalinan pohon yang merapat. Konon baru dua orang yang pernah ke sana. Kata mereka tempat itu menyeramkan.

Bang Sof membuat rakit dari dua batang pisang untuk kami.  Perasaan kami seperti perompak berdayung panjang dari sebatang bambu. Kami sangat kejam. Merompak siapa saja yang berani melintas. Namun, kalau ada yang menyerang  dengan torpedo, yakinlah sifat kejam kami menjelma pengecut. 

Kami menghambur ke darat. Sebelum serangan torpedo berhenti, kami tak akan berani ke sungai kecil Itu. Bisa-bisa kami mati. Kami menyebut torpedo itu tuanku nan kuning. Itu artinya ada yang membuang hajat di huluan.

Satu hal yang paling kami sukai berada di sungai kecil itu, yakni saat kami bisa menciptakan pelangi.  Amat mudah membuatnya. Terpenting, pastikan torpedo tak ada yang lewat. Kami akan memenuhkan air di mulut sehingga seperti ikan mas koki. Air itu kami semburkan ke arah langit. Rasanya kami sangat dekat dengan pelangi. Kami bisa memegangnya.

Kau tahu apa pekerjaan kami selanjutnya setelah berendam setengah hari, dan membuat kulit kisut bak jeruk?  Tentulah perut-perut kecil ini minta diisi. Mungkin setiap anak akan habis-habisan dimarahi ibunya. Akan hal aku dikasih makan siang berlauk lezat. 

Perut pun jadi sekeras pantat kuali. Mataku semakin berat.  Aku memutuskan tidur di rumah pohon. Entah kawan-kawan yang lain berpetualang ke mana, aku tak tahu. Meski kami kecil, rata-rata berumur lima tahun, lasaknya minta ampun.

Ibu biasanya menahan langkahku. "Kau di mana tadi?"

"Sungai Dolok," kataku. Aku menguap lebar. Ngantuk ini semain berat.

"Kalau sampai bapak tahu, habislah kau. Kau mau kalau terlalu lama mandi, tubuhmu seperti Nek Ipah?" Aku membayangkan Nek Ipah yang sangat tua. Melihatnya saja aku seram. Dia suka merajuk bila tak dikasih bantal busuk. Bantal busuk itu adalah bantal kesayangan. Sudah lebih banyak hitamnya ketimbang warna putih. Mungkin sudah pula bertungau. "Sekarang kau mau ke mana lagi? Melalak?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun