Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gang Sayang

21 September 2019   11:47 Diperbarui: 21 September 2019   12:36 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Baca juga : Kronologis cerita saat di Gang Rampok

Seperi perputaran bumi, ada siang, ada malam, aku kembali menjadi kucing beranak alias pindah kontrakan. Saran pelangggan setia baksoku ketika tinggal di Gang Rampok---mungkin kau kenal dengan Mbak Stuva---aku pindah ke Gang Sayang. Agak jauh sih jaraknya dari Gang Rampok, sekitar tiga kilometer. Tapi gangnya adem. Orangnya ramah-ramah. Sesama tetangga saling sayang.

Dari awal istri sudah ngotot tidak mau pindah ke gang itu. Naluri perempuannya tersentil. Ada bau perselingkuhan di sana. Dia takut aku terkontaminasi. "Aku lelaki setia, Bu. Belahlah dadaku."

"Pasti ada namaku, kan?" katanya sumringah. Mulutnya penuh bakso.

Aku mesem-mesem. "Ada semangkok bakso."

"Gundul!"

Sekarang kami sudah siap-siap menyusun barang di teras rumah kontrakan. Lega rasanya, karena tidak susah-susah mencari pick up. Semua dapat diselesaikan dengan aplikasi. Duduk-duduk santai di rumah. Pencet sana-pencet sini, GoBox sudah terparkir di teras.

Jangan kasih tahu istri, ya. Sopir GoBoxnya perempuan. Wangi lagi. Berkali-kali aku melintas di depannya. Apakah ini tidak kurang ajar? Bola mata istri melihatku setajam silet.

"Biar saya saja yang mengangkat barang-barangnya, Neng." Aku mulai menaikkan barang-barang yang lumayan berat ke bak GoBox. Pak Solah membantuku. Si neng sopir seolah tidak peduli. Dia melenguh seolah setuju. Aku melirik, dia asyik bermain ponsel; game mobile legend.

Menjelang pukul sebelas siang, bak Gobox menjerit kepenuhan. Perlu sekali lagi aku ke rumah kontrakan, agar semua barang terangkut, termasuk belahan hidupku; gerobak bakso.

Tentang kebiasaan aku dan istri kalau naik mobil angkutan barang, posisiku selalu di tengah, dan dia di pinggir. Pertama, agar dia bisa ngangin (berangin). Kedua, agar selangkangannya tidak mengapit persnelling. Terbayang aku kalau si mang sopir sedang memainkan persnelling. Si mang sopir keenakan. Cemburuku blingsatan.

Saat aku mengambil posisi di tengah sekarang ini, istri seakan mau mengajak perang. Dia ngotot mengambil posisi itu. Mungkin terbayang dia bila aku yang mengambil posisi di tengah, bagaimana lihaynya si neng sopir memainkan persnelling? 

Bisa-bisa si neng sopir bingung kenapa bisa ada dua kepala persnelling. Hahaha. Setengah malu, aku pindah ke bagian pinggir. Akan hal istri, wajahnya merah seperti udang rebus.

Gang sayang memang menggoda. Harum aroma bunga sudah menyambut kami di pangkal gang. Setelah GoBox masuk ke dalam gang sekitar sepuluh meter, kami pun sampai di rumah kontrakan berwarna kuning menantang. Bersihnya bukan kepalang. Istri sampai menggelendot di bahuku, pertanda dia senang melihat rumah kontrakan yang memesona. 

Tapi saat aku ingin menjemput sisa barang di Gang Rampok, dia ngotot turut serta. Biasa, dia berjaga-jaga agar aku jangan main mata. Apalagi main kaki. Apalagi main tangan. Bisa-bisa tumbuh piring terbang di kepala.

***

Fuah, capeknya luar biasa. Seluruh barang sudah rapi pada tempatnya. Tinggal menunggu istri menggoreng godo-godo, semacam bakwan. Nikmatnya semriwing bila dicocol kuah cuko.

Heran aku, panasnya sekarang tidak ketulungan. Sudah membuka baju, masih belum adem. Duduk di teras, tak ada perubahan yang berarti. Ketika seraut wajah muncul di pintu pagar, aku hampir terlonjak kaget. Dia bermake up melebihi tebal aspal jalan. Rol rambut memenuhi kepalanya. Mungkinkah rambutnya terbuat dari rol?

"Hai, Sayang! Tetangga baru, ya? Aku bawa oleh-oleh serantang es kacang merah. Obat senja yang gerah. Boleh masuk?"

"Oh, silahkan, Bu!"

"Panggil aku dengan sebutan; sayang."

Aku menggaruk-garuk kepala karena memang gatal. "Iya, Bu," jawabku.

"Jangan ibu. Tapi, sayang."

Kontan aku melihat ke pintu ruang tamu. Tanda-tanda istri muncul dengan semangkok godo-godo, sepertinya belum ada. Perempuan yang duduk di hadapanku mulai mengoceh. Dari suaminya yang tentara, dan jarang pulang seperti Bang Toyib. Juga kucingnya yang baru melahirkan tiga ekor. Semua kompak belang tiga. Plus rendang jengkol. Dia menawarkan makan malam di rumahnya.

Aku hanya bisa terpelongo mendengar si ibu sayang mengoceh tidak berhenti. Aku  mengimbanginya dengan berhe-eh dan iya. Setelah dia pergi, ternyata es kacang darinya itu enak tuenan. Rasa gerahku langsung minggat. Aku pergi ke dapur sekadar berbagi es kacang merah dengan istri.

Tapi apa yang kulihat, seekor buaya betina sedang mencangkung di depan kompor sambil mencabik-cabik godo-godo. Eh, maaf, bukan buaya maksudku, tapi istri. Tingkahnya yang ganas melebihi buaya, apalagi matanya memerah menyamai ikan busuk, membuat nyaliku ciut. Sadarlah aku dia sebenarnya sudah melihat  drama satu babak di teras tadi. Di mana aku seperti kerbau dicucuk hidung, terpesona melihat si ibu sayang.

Perlu kujelaskan, aku sebenarnya tidak terpesona melihat perempuan itu. Aku hanya terkejut melihat ada manusia semacam dia, hidup pula. Tapi, beribu pun alasanku, istri hanya memasang telinga yang bolong. Maksudku, kata-kata memang dia dengar, misalnya dengan telinga kanan. Setelah itu akan bablas ke telinga kiri. Begitu pula sebaliknya. 

Ibaratnya, apa pun alasanku tidak lebih setumpuk sampah yang harus dibuang. Istri kalau sedang cemburu, tidak pernah mau check ang recheck. Karena check and recheck  hanya ada di televisi. Bukan di dunia nyata. Maksudku nyata di depan mata kami.

Yakinlah aku, akan ada telor dan nasi setengah gosong di bawah tudung saji. Itu hanya kode dari istri. Artinya, kalau aku macam-macam, maaf, siap-siap telorku akan dibuatnya setengah gosong.

Juga ada gulai berasa garam. Bukan berarti istri tidak  doyan masak. Dia ratu masakku yang terbaik selama ini, sehingga setiap kali tak nahan selera, beratku selalu bertambah seminggu sekali. 

Artinya, gulai rasa garam itu juga kode dari istri. Kalau aku macam-macam, maka dia akan menikah lagi. Bukankah sudah menjadi pameo, gulai asin itu pertanda yang masak akan menikah?

Menjelang tidur malam pun aku hanya menyantap punggung. Selera harus ditahan. Aku ngeri bila besok pagi ada batu cincin di atas kasur. Silahkan pikirkan sendiri maksudnya apa, ya?

***

Pukul tujuh pagi tepat. Aku meloncat dari tempat tidur. Istri entah ke mana. Tercium aroma bakso yang segar menyelinap dari lobang angin di atas pintu. Sadarlah aku, istri diam-diam berjualan sendiri. Apakah ini upaya menciptakan perang dingin?

Aku buru-buru mandi. Buru-buru mengenakan pakaian yang terbaik. Saat hendak menuju teras, aku melihat istri sedang melayani seorang pembeli berwajah tampan, berbadan atletis dan berkumis tipis. 

Aku jadi curiga, apakah gulai berasa garam itu akan dijadikan kenyataan oleh istri? Oh, mungkin beginilah yang dia rasakan ketika melihatku berbincang dengan si ibu sayang kemarin itu.

"Saosnya banyak, Pak?" Itu suara istriku.

"Jangan panggil pak, Sayang. Panggil saja saya; sayang." Darahku seketika mendidih. Aku masih hapal sedikit jurus cakar macan yang diajarkan Atok Haji sekian puluh tahun lalu.  Mungkin saja aku masih bisa menghajar lelaki atletis itu. "Banyakin saosnya dong, Sayang. Juga cabenya, Sayang. 

Ihh, kalau makan bakso  pedes-pedes di pagi berkabut asap ini, cucok deh." Orang itu sepertinya tidak perlu dikasih jurus macan. Aku keluar rumah sambil terbatuk-batuk.

"Ada yang beli, toh! Nggak ngajak-ngajak jualan, Bu?" Saya mendekati istri. Dia merengut.

"Eh, ada bapak sayang. Hidungya cantik, bulat seperti jambo bol. Main-main ke rumah, ya? Saya buka salon. Mince namanya. Apa rambut sayang mau disemir? Mau pakai semir rambut atau semir sepatu? Dipernis juga bisa." Dia tertawa seperti kuntihombreng. "Eh, main-main ke salon saya, ya. Jangan lupa memanggil saya; sayang. Mari!" Dia pergi setelah istri menyerahkan bakso pesanannya.

Tumben-tumbenan istri mengerling aku seperti hendak tertawa. Aku hanya mesem-mesem. Dua orang pembeli datang lagi. Kami menjadi sibuk. Kemudian dua lagi datang. Kami tambah sibuk. Semua pembeli menggunakan semboyan; sayang.

Saat pembeli tidak ada, aku berdua istri tertawa sambil berpelukan. Tahukah kau ketika kami melapor ke Pak RT sebagai warga baru, kami baru tahu kenapa gang ini diberi nama Gang Sayang.

Menurut Pak RT, dulu gang itu bernama gang ember. Setiap hari ribut terus. Dari pertengkaran antar tetangga, hingga gosip ibu-ibu yang tak habis-habis. Atas inisiatif RT terdahulu, dibuatlah nama gang itu Gang Sayang.

"Jadi harap maklum. Setelah diberi nama Gang Sayang, warga menjadi latah menyebut siapa saja dengan sayang. Tapi saya pikir sih ada untungnya. Warga saling sayang-menyayangi, tapi jangan sampai saling cinta-menyintai. Jadi saya harap bapak-ibu maklum dengan pameo sayang itu."

Aku dan istri saling mengerling. Kami tersenyum maklum.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun