Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Arumwati

10 September 2019   15:00 Diperbarui: 10 September 2019   15:31 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Saya mulai lupa beberapa hal tentang Arum. Juga kecantikannya yang dulu sangat memabukkan. Ketika senja ini kami bertemu saat saya mencari buku di sebuah toko, kemunculannya taklah saya sadari. Sebuah novel membuat saya terkagum-kagum hanya pada prolog. Saya sebenar terhipnotis, sehingga tak menyadari Arum berdiri di samping saya entah berapa lama.

"Hai, asyik sekali," sapanya.

Saya menoleh, menurunkan kacamata. Melemparkan senyum, mungkin terlalu dingin. Perhatian saya kembali disembunyikan novel itu.

"Alan, kan? Apakah aku yang sok akrab?"

Saya terganggu. Perempuan itu terlalu genit. Saya menatap manik matanya. Dulu sekali, saya pernah amat menyukai manik mata seperti itu.

"Apakah aku mengenalmu?" Saya mengetuk-ngetuk kening, mencoba mengingat. Apakah mungkin dia? Perempuan itu. Musik saksefon dari langit-langit toko, seakan menerbangkan saya. Saya ingat betul pernah mengatakan jatuh cinta kepada seorang perempuan. Tapi, saya selalu kalah beberapa langkah dari beberapa lelaki yang mencoba merebut hatinya. 

Tentu saja masalah ketampanan. Apalagi tubuh saya ringkih seperti papan penggilasan. Harta saya satu-satunya hanya sepeda kumbang dan setumpuk buku. Ah, saya berharap itu dia. Tapi, kau mungkin berharap itu bukan dia. Kau tahu saya sudah menikah. Memiliki tiga krucil. Kau juga suka syair-syair saya yang tulus seakan menghambarkan air laut (meskipun itu tak mungkin). Kau takut kehilangan syair-syair itu, karena mulai dikotori kisah lama. Cinta lama, tepatnya.

"Kamu Arum, ya?" tebak saya. Tak saya sangka dia mengangguk. Entah angin apa yang berembus, saya terhanyut olehnya. Saya dan Arum menghabiskan senja menjelang maghrib di sebuah warung jajanan. Saya memesan kopi panas, dan setumpuk gorengan, kesenangan lama saya. Arum memesan jus jeruk, sepinggan kwe tiau, kesenangan lamanya.

Kami mengupas kembali kisah-kisah lama. Tentang Ruhul yang tergila-gila kepada Arum. Hingga dia selalu bermain gitar setiap malam di depan rumah perempuan itu. Catat, setiap malam! Meski terkadang dia beroleh air kopi yang dicampakkan ayah Ruhul dari jendela. Kami juga mengupas kisah-kisah lelaki lain yang selalu merubung Arum.. Ada beberapa lelaki yang nyantol. Setahun-dua tanggal begitu saja seakan hilang gantungan.

"Dan tentangmu." Manik matanya bergerak jenaka. Saya teringat setiap pulang sekolah selalu memberikan Arum satu bait syair. Hanya itu yang dapat saya berikan. Kau tahu, ketika kemudian saya mengatakan jatuh cinta kepadanya, dia tertawa geli sampai air matanya berderai. Saya memberikannya syair terakhir, dua tahun setelah mengatakan jatuh cinta kepadanya. Saat itu Arum di bandara. Dia akan pindah sekolah ke kota lain. Na'as betul nasib syair itu. Ayah Arum mengelap kertas syair ke keningnya seakan tissue.

"Bagaimana, anakmu sudah berapa?" Saya tersenyum, menebak dia telah beroleh suami kaya nan tampan, juga anak-anak menggemaskan.

"Aku belum menikah."

"Ah, yang benar! Aku sudah punya anak tiga. Tapi, istri masih satu."

"Mau nambah?"

Kami sama-sama tertawa. Saya melihatnya tambah cinta. Apalagi dia memberikan saya novel memikat persis seperti di toko itu. Bodohnya saya. Ternyata pengarang novel itu perempuan di hadapan saya; Arumwati. Kau tahu, kami kemudian semakin akrab. Entah karena perasaan saya saja.

Saya mulai banyak alasan dengan istri, tentang pulang malam karena pementasan, padahal saya dan Arum sedang menonton teater sambil menikmati pop corn. Saya sadar kami sebenarnya sedang tak serius menikmati teater, tapi lebih tepatnya menikmati wajah masing-masing.

Saya tertawa ketika Arum membahas kerut di ujung mata saya, juga uban menyemak. Sebaliknya saya memujinya nyaris tanpa gelambir memualkan. Dia bertubuh singset, berbeda seratus delapan puluh derajat dari istri saya yang tong kosong nyaring bunyinya. Maksud saya sang istri besar serupa tong, dan cerewet laksana nyaring bunyi tong kosong.

Saya menyelediki bagaimana mungkin Arum berhasil menjadi novelis. Padahal saya tahu sejak bisa membaca, dia seperti fobia buku. Syair-syair saya juga dianggapnya cocok pembungkus kacang goreng.

Dari cerita Arum baru saya tahu kalau dia tak sadar menjadi novelis karena lelaki. Cerita dalam novelnya terinspirasi melulu tentang lelaki yang mengelilinginya. Tentu saja dia bisa menulisnya sangat detail, sehingga memikat pembaca, termasuk saya. Ketika saya menebak bahwa tokoh Bram di novel itu adalah saya, dia menjawab dengan tawa. Dia mengatakan tak akan mungkin memasukkan sosok saya, sebab saya belum pernah bersemayam di relung hatinya.

“Termasuk saat ini?”

“Ya, mungkin saja!”

“Yakin?”

“Bisa jadi.”

Saya tertawa jengah. Hati saya berbunga-bunga karena ketika kami akan berpisah, saya berhasil mengecup punggung tangannya. Tapi, saat tiba di rumah, saya disambut istri dengan bunga-bunga nota bon.  Bon sembilan kilogram beras di warung Kadi. Bon lima butir telur ayam kampung di warung Saf. Lalu serentetan hutang yang membuat saya lupa pernah bisa membuat syair.

“Uang mana?”

“Tidak ada!”

“Sudah berapa malam kau pentas?”

“Panitia belum ada uang.”

Isah, istri saya, mulai nyerocos tentang banyaknya saingan pedagang kue di pasar, sementara dia hanya mempunyai lapak kecil di teritis toko bangunan milik Tionghoa, yang jika gerimis harus bubar. Saya menyarankan agar dia membuat kue yang bervariasi. Dia beralasan tak cukup modal jika ingin membuat kue bervariasi.

Saya bungkam. Ketika hendak tidur malam, Isah memunggungi saya. Apakah dia sedang halangan? Saya hitung-hitung, dia baru selesai halangan seminggu lalu. Dia mungkin enggan melayani saya. Baguslah, saya ada kesempatan membayangkan Arum. Andainya dia sedang terbaring di sebelah saya, alangkah indahnya! Hey, apakah saya masih mengerti kata indah?

Saya teringat sejak menikah dengan Isah, praktis dia yang membuat dapur berasap. Dia  yang berjibaku membuat kue, juga menjajakannya. Dia juga mencari tambahan mencuci-gosok  di panthi werdha, dengan pakaian seabrek-abrek, juga dengan daki yang  membuat perut mules.

Sementara Arum, apakah dia pernah membantu saya mengarungi hidup susah?  Tubuhnya memang proforsional, dan jauh dari ukuran tong, apalagi cerewetnya tak ada sama sekali. Apalagi kulitnya melulu kuning langsat. Tapi, wajarkah dia mendampingi saya dalam sekian waktu hanya pada posisi senang? Sadarkah saya tega meneraktir Arum dalam beberapa kali pertemuan kami? Aduh, saya hanya seumpama lelaki yang berusaha menggarami air laut.

Saya tersadar ketika pagi-pagi sudah ada sepiring nasi goreng di atas meja. Setelah saya mandi, sudah ada seperangkat pakaian di atas kasur, termasuk sepatu yang sudah disemir di kolong dipan. Isah kemudian menyuapi saya nasi goreng. Kami tertangkap basah anak yang belum saja berangkat sekolah. Isah kemudian meminta maaf pasal tadi malam. Dia mengatakan ada bisul di pingangnya sebelah kiri, jadi dia harus tidur menghadap tembok.

“Aku sedang capek,” dusta saya. Padahal saya sangat ingin, apalagi teringat Arum. Sial! Bagaimana mungkin saya menjadi orang munafik di saat melakukannya dengan istri, secara bersamaan saya membayangkan Arum, yang belum tentu semilimeter pun memikirkan saya.  Alan, kau harus berpikir realistis!

Saya kemudian membuang novel itu ke tong sampah. Pagi ini saya mengisi program di radio tentang syair-syair. Tapi, tunggu dulu.  Saya tak sengaja melihat Arum bergandengan dengan lelaki di halaman sebuah mall. Perempuan itu memanggil saya, lalu memperkenalkan lelaki itu sebagai pacar barunya. Dia juga menambahkan sangat tak bisa menulis satu paragraph pun untuk jabang novelnya saat dia bersama saya.

“Jadi setelah jalan dengan lelaki ini, ide-ideku selancar arus sungai.”

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun