"Aku belum menikah."
"Ah, yang benar! Aku sudah punya anak tiga. Tapi, istri masih satu."
"Mau nambah?"
Kami sama-sama tertawa. Saya melihatnya tambah cinta. Apalagi dia memberikan saya novel memikat persis seperti di toko itu. Bodohnya saya. Ternyata pengarang novel itu perempuan di hadapan saya; Arumwati. Kau tahu, kami kemudian semakin akrab. Entah karena perasaan saya saja.
Saya mulai banyak alasan dengan istri, tentang pulang malam karena pementasan, padahal saya dan Arum sedang menonton teater sambil menikmati pop corn. Saya sadar kami sebenarnya sedang tak serius menikmati teater, tapi lebih tepatnya menikmati wajah masing-masing.
Saya tertawa ketika Arum membahas kerut di ujung mata saya, juga uban menyemak. Sebaliknya saya memujinya nyaris tanpa gelambir memualkan. Dia bertubuh singset, berbeda seratus delapan puluh derajat dari istri saya yang tong kosong nyaring bunyinya. Maksud saya sang istri besar serupa tong, dan cerewet laksana nyaring bunyi tong kosong.
Saya menyelediki bagaimana mungkin Arum berhasil menjadi novelis. Padahal saya tahu sejak bisa membaca, dia seperti fobia buku. Syair-syair saya juga dianggapnya cocok pembungkus kacang goreng.
Dari cerita Arum baru saya tahu kalau dia tak sadar menjadi novelis karena lelaki. Cerita dalam novelnya terinspirasi melulu tentang lelaki yang mengelilinginya. Tentu saja dia bisa menulisnya sangat detail, sehingga memikat pembaca, termasuk saya. Ketika saya menebak bahwa tokoh Bram di novel itu adalah saya, dia menjawab dengan tawa. Dia mengatakan tak akan mungkin memasukkan sosok saya, sebab saya belum pernah bersemayam di relung hatinya.
“Termasuk saat ini?”
“Ya, mungkin saja!”
“Yakin?”