Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Arumwati

10 September 2019   15:00 Diperbarui: 10 September 2019   15:31 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

“Bisa jadi.”

Saya tertawa jengah. Hati saya berbunga-bunga karena ketika kami akan berpisah, saya berhasil mengecup punggung tangannya. Tapi, saat tiba di rumah, saya disambut istri dengan bunga-bunga nota bon.  Bon sembilan kilogram beras di warung Kadi. Bon lima butir telur ayam kampung di warung Saf. Lalu serentetan hutang yang membuat saya lupa pernah bisa membuat syair.

“Uang mana?”

“Tidak ada!”

“Sudah berapa malam kau pentas?”

“Panitia belum ada uang.”

Isah, istri saya, mulai nyerocos tentang banyaknya saingan pedagang kue di pasar, sementara dia hanya mempunyai lapak kecil di teritis toko bangunan milik Tionghoa, yang jika gerimis harus bubar. Saya menyarankan agar dia membuat kue yang bervariasi. Dia beralasan tak cukup modal jika ingin membuat kue bervariasi.

Saya bungkam. Ketika hendak tidur malam, Isah memunggungi saya. Apakah dia sedang halangan? Saya hitung-hitung, dia baru selesai halangan seminggu lalu. Dia mungkin enggan melayani saya. Baguslah, saya ada kesempatan membayangkan Arum. Andainya dia sedang terbaring di sebelah saya, alangkah indahnya! Hey, apakah saya masih mengerti kata indah?

Saya teringat sejak menikah dengan Isah, praktis dia yang membuat dapur berasap. Dia  yang berjibaku membuat kue, juga menjajakannya. Dia juga mencari tambahan mencuci-gosok  di panthi werdha, dengan pakaian seabrek-abrek, juga dengan daki yang  membuat perut mules.

Sementara Arum, apakah dia pernah membantu saya mengarungi hidup susah?  Tubuhnya memang proforsional, dan jauh dari ukuran tong, apalagi cerewetnya tak ada sama sekali. Apalagi kulitnya melulu kuning langsat. Tapi, wajarkah dia mendampingi saya dalam sekian waktu hanya pada posisi senang? Sadarkah saya tega meneraktir Arum dalam beberapa kali pertemuan kami? Aduh, saya hanya seumpama lelaki yang berusaha menggarami air laut.

Saya tersadar ketika pagi-pagi sudah ada sepiring nasi goreng di atas meja. Setelah saya mandi, sudah ada seperangkat pakaian di atas kasur, termasuk sepatu yang sudah disemir di kolong dipan. Isah kemudian menyuapi saya nasi goreng. Kami tertangkap basah anak yang belum saja berangkat sekolah. Isah kemudian meminta maaf pasal tadi malam. Dia mengatakan ada bisul di pingangnya sebelah kiri, jadi dia harus tidur menghadap tembok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun