Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Senja

7 September 2019   18:00 Diperbarui: 7 September 2019   18:01 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Baru pertama kali saya melihat lelaki itu. Dia seorang gondrong, berjambang, bermata teduh dengan sebatang rokok mengapit sela bibirnya. Saya sebetulnya selalu tak hirau sekitar, selain melakukan tujuan utama---seperti kali ini menikmati senja di taman ditemani setangkup roti dan minuman mineral. Tetapi tatapan lelaki itu mengusik saya. Mata teduhnya seolah borgol yang menjerat mata saya agar berulang-ulang melirik ke arahnya. Hah, saya masih normal, kan?

Tiba-tiba dia berdiri. Jantung saya berdegup kencang. Saya pura-pura fokus menatap perempuan yang sedang bermain dengan anjing pudelnya. Ketika dia berjalan ke arah saya, saya bergegas pergi.

"Sepertinya saya mengenal anda!" Lelaki itu telah berdiri di hadapan saya. "Kenalkan, saya Mihrab! Masih ingat?"

Saya membongkar memori, tapi otak saya majal, apalagi menjelang malam begini. Saya paling bosan mengingat-ingat sesuatu, malas berpikir, setelah seharian berkutat dengan pekerjaan.

"Saya membawa labtop!" lanjutnya. Pikiran saya menjalar kepada sosok penghipnotis. Mungkin sebentar lagi dia akan menjelaskan kehebatan labtopnya. Membuat saya tergoda, terhipnotis. Membuat saya menyerahkan dompet dengan sejumlah gaji yang baru tadi siang saya terima dari Pak Bahler. O, o. Tak bisa! Jangan tatap matanya Juang! Palingkan wajahmu!

Sekarang jaman sudah modern. Penghipnotis tak lagi bersenjatakan batu cincin, azimat atau istambul. Mereka sudah up to date, bersenjatakan labtop, hp dan gadget semacamnya.

"Saya sudah punya dua, di rumah dan di kantor!" tekan saya. "Sepertinya anda salah menerka kalau saya adalah kawan anda."

Bisu! Langit yang merah tersaput awan gelap. Angin dingin menerpa, menerbangkan debu-debu.

Kenapa mendadak hendak hujan? Kenapa lelaki itu seolah memaksaku melihat labtopnya?

Aku merasakan keaneahan. Layar labtop di tangannya menyala. Sebuah pusaran entah apa, bermain-main di layar itu. Saya seakan tersedot. Bukan seakan lagi! Saya tersedot! Saya dihisap layar labtop itu!

Saya berpusing-pusing dan tak bisa membuka kelopak mata. Saya teringat Min, istri saya yang sedang hamil. Saya terkenang Badu dan Irul, dua anak saya. Apakah ajal saya sudah tiba? Seperti inikah kematian yang ditakdirkan Allah kepada saya? Apakah lelaki tadi malaikat Izrail? Pikiran saya berkecamuk. Pikiran saya berbantah bahwa lelaki tadi bukanlah malaikat. Saya yakin itu. Dan lebih yakin lagi kalau saya akan terjerembab ke daerah yang salah. Bukan alam barzah.

Hening! Bisu! Angin seolah mengilingi.

Perlahan saya membuka kelopak mata. Saya melihat sebuah kota yang kosong. Bangunan-bangunan berdiri rapuh, membentuk lorong. Bangunan-bangunan berpintu, tanpa jendela. Kota yang dingin. Kota tanpa kesibukan.

"Selamat siang, Pak   Murad!" Seseorang menyapa saya. Dia lelaki berpakaian merah, dan dekil. Lelaki dengan senyum  lebar, namun bersimpul kesombongan.

"Apakah aku mengenalmu?"

"Sangat mengenal! Bahkan amat sangat!" Tawanya berderai.

Saya melupakan apakah pernah mengenalnya. Saya asing dengannya, juga dengan kota ini. Saya heran kenapa sebuah kota begini sepi? Kenapa semua gedung tanpa jendela? Apakah tiada niat orang kota ini sekadar menikmati senja dari jendela yang terbuka lebar? Atau tak adakah keinginan saling bertegur-sapa dari jendela gedung yang satu dengan orang di jendela gedung seberang? Jaraknya hanya delapan meter!

"Terserah kaulah!" Saya akhirnya pasrah. Saya mengikutinya ke dalam sebuah gedung. Di dalam gedung itulah saya terbelalak. Ternyata apa yang tampak di luar sangat kontras dengan yang ada di dalam gedung. Di dalam gedung penuh orang. Sumpek. Tapi seperti kota ini, semua hening. Bisu! Tak ada pula tawa lepas, selain bibir-bibir yang manyun. Semua seperti pekerja keras yang bekerja berbilang bulan di sebuah perusahaan besar tanpa menerima gaji sama sekali. Kecuali orang tadi. Orang tadi yang bisa tersenyum lebar bersimpul sombong. Hei, ke mana dia?

"Aku di sini!" Bicaranya sedikit kasar,  mengejutkan saya. Dia berdiri sambil menyandarkan punggung di dinding. "Kami di sini ingin kau menjadi orang baik. Biar kami ada pekerjaan. Kami di sini adalah pengangguran. Termiskinkan karena ulah manusia."

"Ulah manusia."

"Ya, aku sangat kenal kau, Pak Murad. Aku adalah setan yang setia mendampingimu dari lahir sampai ajal menjemputmu. Kau tahu, dulu semua setan di sini pekerja yang makmur. Hampir setiap hari kami naik pangkat karena berhasil menggoda dan menjerumuskan anak Adam." Dia terkekeh. "Bapak kami iblislah yang telah membuat kaum kalian akhirnya terusir dari sorga."

Saya tersentak. Tubuh saya gemetaran. Beginilah rupa setan yang sebenarnya! Tak menakutkan sangat. Tapi lakunya selama ini, bahkan yang terkabar di kitab-kitab, telah membuat sejagat raya takut dan memusuhinya. Harusnya saya blak-blakan mengumbar amarah kepadanya. Dialah yang membuat saya harus kehilangan istri dan anak akibat pertengkaran yang  tak sudah. Dialah yang menggoda saya agar menyemai benih pertengkaran dengan umpan seorang Misse yang memiliki tubuh ranum dan harum. Saya berselingkuh oleh bujuk rayu kaum setan. Jadi, kenapa sekarang dia malah menuduh manusia telah memiskinkan kaumnya?

"Dengarlah, kami sudah banyak di-phk oleh bapak iblis. Pikirlah, sekarang tanpa kami rayu dan goda, manusia telah melakukan dosa berjamaah tanpa malu. Orang berzina menjadi kebanggaan dan rutinitas. Malahan dipertontonkan. Korupsi dibela karena pelakunya banyak harta. Pasar-pasar sudah dipenuhi penipu, pencopet, penodong, penjambret. Gedung-gedung penuh maksiat. Coba, bagaimana cara kami menggoda orang yang telah tergoda tanpa kami goda?"

Saya terdiam. Angin panas menampar-nampar dari pintu. Daunnya terbanting-banting.

"Telah habis kesabaran bapak iblis, yang kemudian tak hanya menurunkan pangkat kami. Sekaligus dia membuat kami sengsara di dalam gedung ini seibarat tahanan. Kami dikatakan tak becus menggoda manusia. Tak becus bekerja. Tapi siapa yang bisa kami goda? Manusia malahan lebih parah dari kami. Mereka bisa saling membunuh. Bisa saling menyakiti. Kami, hanya penggoda dan tak pernah memaksakan kehendak dengan kasar sampai kalian tergoda. Sesama kami saling melindungi dan tak pernah saling menyakiti apalagi sampai membunuh. Konon, bapak iblis sekarang lebih memilih manusia sebaga bala tentaranya. Kata bapak iblis, manusia lebih hebat tipu dayanya ketimbang anak buahnya ini; para setan. Jadi, tolonglah Pak Murad menjadi orang baik . Sekali ini saja untukku. Agar aku bisa bekerja, bisa naik pangkat. Bisa makan enak."

"Tapi, bukankah kalian yang membuat keluargaku hancur berantakan?"

"Sama sekali tidak, Pak. Aku mengakui pernah beberapa kali menggodamu agar tak shalat dan puasa. Tapi itu dulu sekali. Ketika kau masih muda. Setelah kau bekerja di instansi pemerintahan dengan cara menyogok---dan itu bukan atas rayuanku---kau tak perlu lagi kugoda untuk tak shalat dan puasa. Kau sudah terlalu pintar, Pak. Bahkan untuk mengorupsikan uang negara tanpa bujuk rayuku. Semua murni dari nafsu dan kelicikan otak di dalam kepalamu. Mengenai keluarga, bukankah kau sendiri yang tertarik kepada Misse? Kemudian kalian berselingkuh. Kemudian nikah siri dan terbongkar di media. Wajar kemudian istrimu meminta cerai sekaligus merenggut anak-anak darimu. Jadi, kami mohon berubahlah menjadi orang baik."

Saya mendengus.

"Kami sudah mencoba mencari orang baik, bahkan sampai ke masjid. Tapi hanya segelintir yang kami temukan. Segelintir itu yang kami perebutkan. Ternyata pula di luar saja mereka itu yang terlihat baik. Di dalam hatinya terkadang terselip ria, atau hanya sekadar ingin menumpahkan gulana. Bukan semata niat tulus beribadah kepada Yang Mencipta."

"Jadi, kau pikir sampai sekarang ini aku belum termasuk orang baik?"

"Sama sekali belum." Dia tertunduk. "Kau bukan yang pertama diundang ke mari, Pak Murad. Sudah banyak. Bahkan kami menyembah-nyembah mereka agar menjadi orang baik. Hanya saja janji mereka cuma sekadar janji. Ketika kembali ke alamnya, mereka tetap berlaku jahat. Kami tetap tak bisa bekerja. Kami tetap menjadi pesakitan di gedung ini. Dulunya kami hanya ratusan, sekarang sudah ribuan, jutaan. Kami kelaparan dan tertindas."

"Apakah menjadi baik itu bisa direkayasa?"

"Tentunya harus tulus, Pak. Lekaslah bertobat dan jalani kehidupan sesuai aturan-Nya."

"Setelah itu?"

"Setidaknya aku ada pekerjaan untuk menggodamu. Setidaknya tak menganggur dan bisa makan tiga kali sehari."

"Kalau aku tak bisa kau goda lagi untuk menjadi jahat?"

"Nah, aku akan memiliki pekerjaan tetap sampai kau bisa tergoda."

"Kalau aku tergoda, lalu menjadi bajingan lagi, bagaimana nasibmu?"

"Ya, aku akan naik pangkat." Dia tersenyum. "Tapi jadi bajingannya jangan lama-lama. Nanti aku susah pula mencari orang baik."

Saya tertawa. Dia menepuk-nepuk lembut lengan saya. Sesaat kemudian dia mengantar saya kembali ke luar gedung. Angin pun tiba-tiba berputar menerbangkan debu. Membelit saya. Menarik saya ke tempat entah. Dan ketika membuka mata, saya masih duduk di taman. Malam sudah benar-benar jatuh. Lampu taman berkerdap-kerdip menyinari pelan pasangan-pasangan yang bersembunyi di semak.

Seorang perempuan bertubuh sintal mendekati saya. Kami tawar-menawar. Lalu beranjak dari taman. Sempat telinga saya mendengar jeritan kesal dari rimbun pohon mawar. Jerit pengangguran yang kelaparan. Entah siapa.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun