Baru pertama kali saya melihat lelaki itu. Dia seorang gondrong, berjambang, bermata teduh dengan sebatang rokok mengapit sela bibirnya. Saya sebetulnya selalu tak hirau sekitar, selain melakukan tujuan utama---seperti kali ini menikmati senja di taman ditemani setangkup roti dan minuman mineral. Tetapi tatapan lelaki itu mengusik saya. Mata teduhnya seolah borgol yang menjerat mata saya agar berulang-ulang melirik ke arahnya. Hah, saya masih normal, kan?
Tiba-tiba dia berdiri. Jantung saya berdegup kencang. Saya pura-pura fokus menatap perempuan yang sedang bermain dengan anjing pudelnya. Ketika dia berjalan ke arah saya, saya bergegas pergi.
"Sepertinya saya mengenal anda!" Lelaki itu telah berdiri di hadapan saya. "Kenalkan, saya Mihrab! Masih ingat?"
Saya membongkar memori, tapi otak saya majal, apalagi menjelang malam begini. Saya paling bosan mengingat-ingat sesuatu, malas berpikir, setelah seharian berkutat dengan pekerjaan.
"Saya membawa labtop!" lanjutnya. Pikiran saya menjalar kepada sosok penghipnotis. Mungkin sebentar lagi dia akan menjelaskan kehebatan labtopnya. Membuat saya tergoda, terhipnotis. Membuat saya menyerahkan dompet dengan sejumlah gaji yang baru tadi siang saya terima dari Pak Bahler. O, o. Tak bisa! Jangan tatap matanya Juang! Palingkan wajahmu!
Sekarang jaman sudah modern. Penghipnotis tak lagi bersenjatakan batu cincin, azimat atau istambul. Mereka sudah up to date, bersenjatakan labtop, hp dan gadget semacamnya.
"Saya sudah punya dua, di rumah dan di kantor!" tekan saya. "Sepertinya anda salah menerka kalau saya adalah kawan anda."
Bisu! Langit yang merah tersaput awan gelap. Angin dingin menerpa, menerbangkan debu-debu.
Kenapa mendadak hendak hujan? Kenapa lelaki itu seolah memaksaku melihat labtopnya?
Aku merasakan keaneahan. Layar labtop di tangannya menyala. Sebuah pusaran entah apa, bermain-main di layar itu. Saya seakan tersedot. Bukan seakan lagi! Saya tersedot! Saya dihisap layar labtop itu!