Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Senja

7 September 2019   18:00 Diperbarui: 7 September 2019   18:01 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Saya berpusing-pusing dan tak bisa membuka kelopak mata. Saya teringat Min, istri saya yang sedang hamil. Saya terkenang Badu dan Irul, dua anak saya. Apakah ajal saya sudah tiba? Seperti inikah kematian yang ditakdirkan Allah kepada saya? Apakah lelaki tadi malaikat Izrail? Pikiran saya berkecamuk. Pikiran saya berbantah bahwa lelaki tadi bukanlah malaikat. Saya yakin itu. Dan lebih yakin lagi kalau saya akan terjerembab ke daerah yang salah. Bukan alam barzah.

Hening! Bisu! Angin seolah mengilingi.

Perlahan saya membuka kelopak mata. Saya melihat sebuah kota yang kosong. Bangunan-bangunan berdiri rapuh, membentuk lorong. Bangunan-bangunan berpintu, tanpa jendela. Kota yang dingin. Kota tanpa kesibukan.

"Selamat siang, Pak   Murad!" Seseorang menyapa saya. Dia lelaki berpakaian merah, dan dekil. Lelaki dengan senyum  lebar, namun bersimpul kesombongan.

"Apakah aku mengenalmu?"

"Sangat mengenal! Bahkan amat sangat!" Tawanya berderai.

Saya melupakan apakah pernah mengenalnya. Saya asing dengannya, juga dengan kota ini. Saya heran kenapa sebuah kota begini sepi? Kenapa semua gedung tanpa jendela? Apakah tiada niat orang kota ini sekadar menikmati senja dari jendela yang terbuka lebar? Atau tak adakah keinginan saling bertegur-sapa dari jendela gedung yang satu dengan orang di jendela gedung seberang? Jaraknya hanya delapan meter!

"Terserah kaulah!" Saya akhirnya pasrah. Saya mengikutinya ke dalam sebuah gedung. Di dalam gedung itulah saya terbelalak. Ternyata apa yang tampak di luar sangat kontras dengan yang ada di dalam gedung. Di dalam gedung penuh orang. Sumpek. Tapi seperti kota ini, semua hening. Bisu! Tak ada pula tawa lepas, selain bibir-bibir yang manyun. Semua seperti pekerja keras yang bekerja berbilang bulan di sebuah perusahaan besar tanpa menerima gaji sama sekali. Kecuali orang tadi. Orang tadi yang bisa tersenyum lebar bersimpul sombong. Hei, ke mana dia?

"Aku di sini!" Bicaranya sedikit kasar,  mengejutkan saya. Dia berdiri sambil menyandarkan punggung di dinding. "Kami di sini ingin kau menjadi orang baik. Biar kami ada pekerjaan. Kami di sini adalah pengangguran. Termiskinkan karena ulah manusia."

"Ulah manusia."

"Ya, aku sangat kenal kau, Pak Murad. Aku adalah setan yang setia mendampingimu dari lahir sampai ajal menjemputmu. Kau tahu, dulu semua setan di sini pekerja yang makmur. Hampir setiap hari kami naik pangkat karena berhasil menggoda dan menjerumuskan anak Adam." Dia terkekeh. "Bapak kami iblislah yang telah membuat kaum kalian akhirnya terusir dari sorga."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun