Saya mengambil tempat duduk di gerbong paling belakang, di bagian sudut. Di sini pasti saya bisa menikmati suasana di luar sana setelah roda kereta menggeleser rel sekian puluh mil. Melewati gunung-gunung kecil, lalang-lalang kerdil, para peladang penyuka para, para petani penyuka bulir padi yang sangkut di capingnya.
Ini adalah  perjalanan terpanjang saya menumpang kereta dari Kertapati ke Tanjung Karang. Kamu mungkin berpikir aku lagi sinting. Bisa melihat suasana di luar pada saat malam.
Saya kasih tahu, kereta ini adalah kereta malam, yang barangkat selewat jam delapan, dan diam-diam membiarkan kota Palembang lebih cepat tidur malam ini. Mungkin cukup sudah kencan, hura-hura, dan saya memutuskan menikmati kereta, sambil menyimpannya di dalam laptop.
Saya tak ingin sepi, setelah sekian jam lalu Hesti mengatakan, tidak akan menyesal  kami putus. Meski kami sudah tunangan. Ya, meskipun! Meskipun  dia hampir mencatat semua kata cinta yang keluar dari mulut saya.
Tentu saya tidak ingin mati karena cinta. Cinta itu terkadang memberikan kebersamaan, menumbuhkan sayang. Â Sebaliknya, tanpa malu-malu, cinta juga mempersembahan perpisahan. Itu hal wajar. Cinta diciptakan agar kita merasakan bagaimana legit pertemuan, bagaimana perih perpisahan.
Tapi, banggalah karena perpisahan menyajikan kelezatan rindu yang mengajari setiap penikmatnya menjadi penyair tercengeng sedunia, meski ketika sedang lapar masih lebih suka ayam bakar Mbok Berek ketimbang merundung malang perpisahan.
Sementara saya selalu ada pengganti setiap kali seorang wanita tega memutus cinta dan meninggalkan saya. Seperti segelas sampanye. Tapi, cepat-cepat saya ralat kata-kata itu.
Sampanye memang berhasil menggirang isi kepala sekejap. Dia teman setia. Tapi kesetiaanya akan terbayar menjadi bentakan penghuni komplek, ketika saya pulang sambil bernyanyi-nyanyi si Togol dengan kata terbalik. Itu adalah penghinaan untuk sebuah nama. Supaya kau tahu, nama teman saya di komplek itu memang si Togol.
Maka sekarang lebih sehat saya berteman labtop, seperti malam ini. Saya bisa mengukir perjalanan dalam layar, yang mungkin ketika kau baca, terasa indah, atau terasa jelek seumpama kain gombal dan tong sampah.
"Di bangku itu ada orang." Wanita di depan saya berbicara tanpa melihat ke arah saya. Gelap di luar lebih kuat memerangkap hasratnya.
"Pria?" tanya saya.
"Bukan! Dia seorang wanita," pria  di sebelahnya lebih ramah.
"Oh, berarti nomor bangku ini ganda. Ada nomor sama untuk dua orang."
"Bukan! Dulu dia situ. Sekian puluh tahun lalu, mungkin. Dia seorang perempuan kesepian, menumpang pada Sabtu malam pada bulan kesekian, tahun kesekian. Ya, mungkin. Begitulah."
Saya bingung arah pembicaraan si tua. Tapi, saya berhasil menuliskan empat kata; Gila. Setelah itu kata; Aku. Bukankah kata "aku" cukup menjatuhkan martabat? Â Oh, saya harus cepat menggantinya menjadi kata; Kau. Bagus, kan? Saya tertawa.
Pria tua itu sedikit cemberut. Dia kembali asyik mengikir kuku tangan, sambil bercerita masa muda dengan  perempuan di sebelahnya.
Hmm, kepala saya tiba-tiba diliputi pembenaran, tapi bukan kebenaran. Saya juga penah mendengar di gerbong ini seringkali ditemukan orang-orang kesepian yang pulang Sabtu malam, ataukah malam Minggu?
Terserah kau yang menyusun kata-katanya. Tak jarang mereka berjenis kelamin pria seperti saya, pun ada berjenis kelamin wanita. Kebanyakan jomblo sepanjangan. Bisa juga jomblo anyar, baru saja diputus sang pacar. Seperti kasus saya.
Mereka suntuk sepanjangan. Bukan seperti saya tentunya. Suntuk tetap bisa saya piting, dan jejalkannya ke dalam tong sampah. Saya penulis, pasti bisa membunuh gundah.
Di antara ketertegunan, saya tersentak oleh kelap-kelip lampu lorong. Seorang wanita duduk di sebelah saya. Beramput panjang. Ya, saya  suka itu. Gaun putih, itu paling saya suka . Bau bunga kamboja? Apakah saya suka aroma itu? Seketika wanita itu hendak mencekik saya. Dia terlihat kesepian. Orang-orang di gerbong, berdiri dan ingin  mencekik saya. Mereka terlihat kesepain.
"Kami ingin membunuh sepi. Kami ingin ramai, dengan mencekik leher kamu. Besok akan ada berita seorang pria mati dicekik di gerbong sekian." Seseorang berbicara, entah siapa.
"Ya, agar dimuat di media cetak maupun online, di media beling maupun kaca. Kami ingin ramai. Heboh. Membahana."
Napas saya seketika terhenti. Saat itulah saya tersentak. Ternyata saya hanya mimpi. Tapi ketika menyadari laptop saya tidak ada lagi, itu benar apa-apa."
"Ada apa, Pak? Semua penumpang sudah turun sejak sejam lalu."
"Laptop saya hilang."
"Anda sendirian?" Dia menodong saya dengan pertanyaan menjebak. Saya hanya bisa mengatakan bahwa saya sendirian ditinggalkan laptop. Tapi saya ingat masih ada teman lain, kopi di dalam gelas mineral. Dia  dingin di kaca jendela.
"Di sini di larang sendirian." Dia melanjutkan pekerjaannya. "Kopi itu juga punya teman."
"Sepiring pisang goreng pastinya." Perut saya lapar.
"Bukan! Dia telah berteman dengan kecoa." Saya melihat memang ada kecoa mati terendam air kopi. Tiba-tiba saya semakin sendirian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H