"Bukan! Dia seorang wanita," pria  di sebelahnya lebih ramah.
"Oh, berarti nomor bangku ini ganda. Ada nomor sama untuk dua orang."
"Bukan! Dulu dia situ. Sekian puluh tahun lalu, mungkin. Dia seorang perempuan kesepian, menumpang pada Sabtu malam pada bulan kesekian, tahun kesekian. Ya, mungkin. Begitulah."
Saya bingung arah pembicaraan si tua. Tapi, saya berhasil menuliskan empat kata; Gila. Setelah itu kata; Aku. Bukankah kata "aku" cukup menjatuhkan martabat? Â Oh, saya harus cepat menggantinya menjadi kata; Kau. Bagus, kan? Saya tertawa.
Pria tua itu sedikit cemberut. Dia kembali asyik mengikir kuku tangan, sambil bercerita masa muda dengan  perempuan di sebelahnya.
Hmm, kepala saya tiba-tiba diliputi pembenaran, tapi bukan kebenaran. Saya juga penah mendengar di gerbong ini seringkali ditemukan orang-orang kesepian yang pulang Sabtu malam, ataukah malam Minggu?
Terserah kau yang menyusun kata-katanya. Tak jarang mereka berjenis kelamin pria seperti saya, pun ada berjenis kelamin wanita. Kebanyakan jomblo sepanjangan. Bisa juga jomblo anyar, baru saja diputus sang pacar. Seperti kasus saya.
Mereka suntuk sepanjangan. Bukan seperti saya tentunya. Suntuk tetap bisa saya piting, dan jejalkannya ke dalam tong sampah. Saya penulis, pasti bisa membunuh gundah.
Di antara ketertegunan, saya tersentak oleh kelap-kelip lampu lorong. Seorang wanita duduk di sebelah saya. Beramput panjang. Ya, saya  suka itu. Gaun putih, itu paling saya suka . Bau bunga kamboja? Apakah saya suka aroma itu? Seketika wanita itu hendak mencekik saya. Dia terlihat kesepian. Orang-orang di gerbong, berdiri dan ingin  mencekik saya. Mereka terlihat kesepain.
"Kami ingin membunuh sepi. Kami ingin ramai, dengan mencekik leher kamu. Besok akan ada berita seorang pria mati dicekik di gerbong sekian." Seseorang berbicara, entah siapa.
"Ya, agar dimuat di media cetak maupun online, di media beling maupun kaca. Kami ingin ramai. Heboh. Membahana."