Baca juga :Tukang Sulap,Betis Ken Dedes,Apa yang Kau Cari Palupi,Resep Pecel Lelel Wan Hamidah, Anak Pribumi
Surai sudah berteman dengan saya sejak dia menjadi sahabat kental bapak. Kami sering mengelilingi kebun kopi seluas lima hektar itu agar tak habis dilahap makhluk lain semisal musang. Atau mahluk yang tak bisa kenyang bernama manusia.
Setelah kebun kopi diwariskan bapak kepada saya pada saat dia hampir sakaratul maut, praktis sayalah yang menjadi sahabat kental Surai satu-satunya.Â
Awalnya saya bertahan menanam kopi sebagai tradisi turun-temurun yang tak boleh dilanggar. Tapi saya tak bisa mengelak  dari tuntutan pasar. Masyarakat lebih suka sop atau jus buah. Keberadaan minum kopi yang terlihat feodal, mulai ditinggalkan.Â
Warung-warung kopi sepi pembeli karena masyarakat jenuh dengan bual-bualan. Parabola  tak lagi menjual, sebab aplikasi di ponsel lebih mudah dan murah untuk menjangkau siaran televisi nyaris seantero jagat.
Ada beberapa buah yang saya pelihara di kebun itu, mulai jeruk, mangga, pepaya, dan cempedak. Sementara di pinggir-pinggir, saya tanami salak, agar menghalangi maling pengganggu.
Senja ini setelah  mengitari kebun buah, saya dan Surai bersiap menyantap makan siang yang lumayan terlambat. Surai dengan manja rebahan di paha saya. Saya membiarkannya saja. Dulu dia manja dengan ayah. Tentu sebagai sahabat kentalnya, tempat dia bermanja hanyalah saya. Â
Terkadang saya iseng menggelitikinya. Dia balas mengigit lengan saya pelan. Kami akhirkan permainan sambil bergelut di atas tanah. Terkadang saya yang menang. Namun, Surau lebih sering menjadi kampiun.
"Saya sayang kamu, Surai." Saya mengelus-elus kepalanya. Dia melenguh. Menyurukkan kepalanya ke bawah ketiak saya, sehingga saya terpancing menggelutnya. Kami terengah-engah, bersimbah keringat.
"Saya harap kau jangan nakal. Musuhmu semakin banyak. Saya tak ingin kau terlibat pertarungan, dan harus mati. Saya tak tahan kalau kita berpisah. Saya bisa mati rindu."
Saya membuat api unggun. Telah tiba saatnya kami menyantap menjangan bakar yang saya tombak tadi siang. Surai sabar menunggu sampai menjangan benar-benar matang. Dia berpindah dari dekat saya, dan sengaja tidur-tiduran di atas batu.Â
Dua burung gelatik yang sedang kawin di depannya, mungkin jadi pemandangan indah. Ataukah Surai cemburu? Dia melirik saya. Saya bertambah ligat meniup bara agar panas merata, membuat daging menjangan  meletut-letup mesra.
***
Malam pekat. Dingin menusuk tulang. Gerimis tipis di luar sana, merapatkan lelap. Saya meringkuk di bawah selimut. Sama sekali tak ingin diganggu hingga besok pagi. Pun oleh Surai.
Tapi, ketukan di pintu membuat saya merutuk. Malas-malasan saya duduk, menendang selimut ke sudut kamar. Orang di luar sana itu kurang ajar benar. Seakan tak perduli waktu istirahat saya.Â
Saya ogah-ogahan membuka jendela. Ada Hes berdiri di depan pintu. Keningnya bersinar diterpa lampu teras. Pertanda kening itu sangat berkeringat. Raut matanya cemas. Saya berharap dia tak membawa berita mencemaskan tentang harimau yang menyambangi kampung kami sebulan-dua ini. Apa salah binatang itu?
"Harimau itu datang lagi, Mir!" ucapnya mementahkan harapan saya.
Harimau sering masuk kampung, melahap apa saja yang bisa dijadikan pengganjal perut. Ayam Sutan hilang sekandang. Itu ulah harimau. Sapi Matdin yang akan dikurbankan Idul Adha, tulangnya saja tak bersisa. Apakah semua salah harimau?.
Tapi, harimau itu mempunyai alasan berbuat demikian. Ekosistemnya terganggu akibat hutan dibakar, lalu menggantinya dengan kebun sawit sejauh mata memandang. Berulang kali saya ingatkan masyarakat agar tak menjual tanah kepada pendatang.Â
Hanya saja mereka silau dengan uang, sehingga bisa dibelikan kuda jepang, atau perangkat elektronik berbunyi dentang-dentum. Padahal sebulan- dua seluruh harta benda itu akan terbang.Â
Selama ini mereka menjadi tuan tanah. Akhirnya mereka menjadi buruh di tanahnya sendiri. Memang ada yang masih beruntung hidupnya karena memelihara ternak.Â
Tapi, apa tak napas senin-kamis kalau hampir setiap hari mereka mendengar auman yang berarti sebentar lagi kandang ternak akan porak-poranda dan kosong-melompong?
Ada tiga orang tetua kampung menyusul Hes. "Turunlah, Mirza. Kami ingin kau membantu menangkap binatang itu!" kata salah seorang tetua kampung.
Saya tak enak hati bila menolak ajakan bernada perintah itu. Keluarga saya turun-temurun dikenal  sebagai penakluk harimau. Bahkan konon buyut saya pernah tertangkap mata masyarakat sedang menunggang harimau di tengah kampung. Meskipun belum seorang juga yang melihat saya mampu menaklukkan si belang itu, tetap saja mereka berharap besar pada saya.
Saya mengambil senter, turun ke atas tanah, mengikuti orang-orang itu. Saya mengikatkan syal di leher, merapatkan sweater, dan membenamkan topi kupluk, hingga mata saya hilang setengah.
Kami menyusuri jalan setapak, melintasi bukit kecil, melewati sungai yang berair, dan berhenti di dekat pematang sawah. Semua terkejut mendengar suara letusan senjata. Kampung terlihat membara. Ada apa dengan harimau pengacau itu?
Kami memang risau karena harimau masuk ke kampung. Tapi, kami tetap menghargainya sebagai saudara tua yang merawat hutan. Maka orang-orang itu memanggil saya, bukanlah berharap saya bergelut dengan harimau, lalu membunuhnya.Â
Bukan seperti itu! Orang-orang itu hanya mengharapkan saya menangkap atau lebih tepatnya mengajak harimau itu menjauh dari kampung, dan membawanya ke hutan rimba. Meski semua mengamini tak pernah lagi menemukan hutan rimba, tapi yang  penting, harimau itu menjauh.
Kami berlarian menuju kampung. Warna merah itu semakin menyala. Suara riuh masyarakat mengelu-elukan seorang pemuda gagah yang mengacung-acungkan senjata dengan yel-yel memuakkan!
Ada darah segar membasahi tanah, darah segar dari seekor harimau yang tak lagi bernyawa, diinjak pemuda gagah itu.
Kami berempat menggemeratakkan gigi. Kami ingin menghajar orang itu. Tapi, masyarakat telah menganggapnya pahlawan. Padahal membunuh itu bukanlah salah satu cara menyelesaikan masalah. Masih banyak cara lain yang lebih terhormat.
Saya melihat telinga harimau itu berbulu perak. Tak salah lagi. Dia adalah Surai sahabat kental saya. Â Kemarahan saya tak dapat ditahan. Saya maju sambil mengapungkan badik. Sebuah letusan menghentikan pergerakan badik itu. Bahu saya berdarah. Saya terkapar tak sadarkan diri.
***
Saya sampai di kebun dengan amarah besar. Segala pohon saya terjang. Buah-buahan yang hampir matang, terjerambab ke tanah. Rasanya saya ingin membunuh siapa saja. Siapa saja yang berusaha memutuskan tali persahabatan saya dengan Surai. Â Â
Tapi, amarah saya terhenti ketika ada kepul asap dari gubuk. Siapa yang sedang memasak di gubuk saya itu? Aromanya harum. Wangi kopinya kental.Â
Saya bergegas memasuki gubuk. Seorang perempuan yang sedang menata makanan di lantai, di atas tikar pandan, membuat saya terheran. Perempuan berambut panjang dan bertubuh sintal. Sebelumnya saya tak pernah melihatnya.
"Hei, siapa kau?"
Perempuan itu sedikit tersentak. Dia kembali mengaduk kopi dalam gelas, lalu mempersilahkan saya menikmati santapan.
"Saya nenek," jawabnya.
"Nenek siapa?"
"Saya Surai!"
"Surai?"Â
Ada rasa bingung bercampur bahagia dalam diri saya. Setelah kami duduk berhadap-hadapan, dan saya menyeruput kopi, dia berkata  bahwa dia adalah Surai sahabat kental saya.Â
Sebenarnya dulu, kaumnya sama dengan kaum saya, artinya sama-sama manusia. Namun, karena kakek-buyutnya pernah mempelajari ilmu siluman harimau, maka seluruh keturunannya harus menuruti.
Ada beberapa siluman harimau yang tersebar dari wilayah Sumatera Barat hingga ke perbatasaan Sumatera Utara. Mereka bertugas merawat kebun dari para pengganggu, apalagi maling. Namun, bila suatu waktu siluman harimau mati  karena dibunuh, ilmu silumannya akan punah. Dia akan menjadi manusia seperti asalnya.
"Dan kau?" Saya masih bingung.
"Seperti peraturannya, bila majikan saya seorang perempuan, maka kami akan menjadi saudara."
"Bagaimana kalau laki-laki?"
"Saya akan menjadi istrinya." Dia tersenyum simpul. Entah apa yang bergetar di dada saya. Yang ada tangan saya menjangkau tangannya. Mencubit lengannya. Menjentik bibirnya yang indah.
Tiba-tiba saya ingin memeluknya. Â Tentu tak ada salahnya saya memeluknya. Hanya saja, saya seolah memeluk bulu. Memeluk darah.
Saya terkejut tengah memeluk harimau mati yang bersimbah darah. Orang-orang melolong. Sebilah badik masih di tangan saya. Berlumur darah. Seorang pemudah gagah terkapar di tanah. Mati. Suara sirene memecah fajar pada kampung yang mulai hangat.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H