Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surai

16 Agustus 2019   09:33 Diperbarui: 16 Agustus 2019   10:07 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Ada tiga orang tetua kampung menyusul Hes. "Turunlah, Mirza. Kami ingin kau membantu menangkap binatang itu!" kata salah seorang tetua kampung.

Saya tak enak hati bila menolak ajakan bernada perintah itu. Keluarga saya turun-temurun dikenal  sebagai penakluk harimau. Bahkan konon buyut saya pernah tertangkap mata masyarakat sedang menunggang harimau di tengah kampung. Meskipun belum seorang juga yang melihat saya mampu menaklukkan si belang itu, tetap saja mereka berharap besar pada saya.

Saya mengambil senter, turun ke atas tanah, mengikuti orang-orang itu. Saya mengikatkan syal di leher, merapatkan sweater, dan membenamkan topi kupluk, hingga mata saya hilang setengah.

Kami menyusuri jalan setapak, melintasi bukit kecil, melewati sungai yang berair, dan berhenti di dekat pematang sawah. Semua terkejut mendengar suara letusan senjata. Kampung terlihat membara. Ada apa dengan harimau pengacau itu?

Kami memang risau karena harimau masuk ke kampung. Tapi, kami tetap menghargainya sebagai saudara tua yang merawat hutan. Maka orang-orang itu memanggil saya, bukanlah berharap saya bergelut dengan harimau, lalu membunuhnya. 

Bukan seperti itu! Orang-orang itu hanya mengharapkan saya menangkap atau lebih tepatnya mengajak harimau itu menjauh dari kampung, dan membawanya ke hutan rimba. Meski semua mengamini tak pernah lagi menemukan hutan rimba, tapi yang  penting, harimau itu menjauh.

Kami berlarian menuju kampung. Warna merah itu semakin menyala. Suara riuh masyarakat mengelu-elukan seorang pemuda gagah yang mengacung-acungkan senjata dengan yel-yel memuakkan!

Ada darah segar membasahi tanah, darah segar dari seekor harimau yang tak lagi bernyawa, diinjak pemuda gagah itu.

Kami berempat menggemeratakkan gigi. Kami ingin menghajar orang itu. Tapi, masyarakat telah menganggapnya pahlawan. Padahal membunuh itu bukanlah salah satu cara menyelesaikan masalah. Masih banyak cara lain yang lebih terhormat.

Saya melihat telinga harimau itu berbulu perak. Tak salah lagi. Dia adalah Surai sahabat kental saya.  Kemarahan saya tak dapat ditahan. Saya maju sambil mengapungkan badik. Sebuah letusan menghentikan pergerakan badik itu. Bahu saya berdarah. Saya terkapar tak sadarkan diri.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun