Saya sampai di kebun dengan amarah besar. Segala pohon saya terjang. Buah-buahan yang hampir matang, terjerambab ke tanah. Rasanya saya ingin membunuh siapa saja. Siapa saja yang berusaha memutuskan tali persahabatan saya dengan Surai. Â Â
Tapi, amarah saya terhenti ketika ada kepul asap dari gubuk. Siapa yang sedang memasak di gubuk saya itu? Aromanya harum. Wangi kopinya kental.Â
Saya bergegas memasuki gubuk. Seorang perempuan yang sedang menata makanan di lantai, di atas tikar pandan, membuat saya terheran. Perempuan berambut panjang dan bertubuh sintal. Sebelumnya saya tak pernah melihatnya.
"Hei, siapa kau?"
Perempuan itu sedikit tersentak. Dia kembali mengaduk kopi dalam gelas, lalu mempersilahkan saya menikmati santapan.
"Saya nenek," jawabnya.
"Nenek siapa?"
"Saya Surai!"
"Surai?"Â
Ada rasa bingung bercampur bahagia dalam diri saya. Setelah kami duduk berhadap-hadapan, dan saya menyeruput kopi, dia berkata  bahwa dia adalah Surai sahabat kental saya.Â
Sebenarnya dulu, kaumnya sama dengan kaum saya, artinya sama-sama manusia. Namun, karena kakek-buyutnya pernah mempelajari ilmu siluman harimau, maka seluruh keturunannya harus menuruti.