Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surai

16 Agustus 2019   09:33 Diperbarui: 16 Agustus 2019   10:07 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baca juga :Tukang Sulap,Betis Ken Dedes,Apa yang Kau Cari Palupi,Resep Pecel Lelel Wan Hamidah, Anak Pribumi

Surai sudah berteman dengan saya sejak dia menjadi sahabat kental bapak. Kami sering mengelilingi kebun kopi seluas lima hektar itu agar tak habis dilahap makhluk lain semisal musang. Atau mahluk yang tak bisa kenyang bernama manusia.

Setelah kebun kopi diwariskan bapak kepada saya pada saat dia hampir sakaratul maut, praktis sayalah yang menjadi sahabat kental Surai satu-satunya. 

Awalnya saya bertahan menanam kopi sebagai tradisi turun-temurun yang tak boleh dilanggar. Tapi saya tak bisa mengelak  dari tuntutan pasar. Masyarakat lebih suka sop atau jus buah. Keberadaan minum kopi yang terlihat feodal, mulai ditinggalkan. 

Warung-warung kopi sepi pembeli karena masyarakat jenuh dengan bual-bualan. Parabola  tak lagi menjual, sebab aplikasi di ponsel lebih mudah dan murah untuk menjangkau siaran televisi nyaris seantero jagat.

Ada beberapa buah yang saya pelihara di kebun itu, mulai jeruk, mangga, pepaya, dan cempedak. Sementara di pinggir-pinggir, saya tanami salak, agar menghalangi maling pengganggu.

Senja ini setelah  mengitari kebun buah, saya dan Surai bersiap menyantap makan siang yang lumayan terlambat. Surai dengan manja rebahan di paha saya. Saya membiarkannya saja. Dulu dia manja dengan ayah. Tentu sebagai sahabat kentalnya, tempat dia bermanja hanyalah saya.  

Terkadang saya iseng menggelitikinya. Dia balas mengigit lengan saya pelan. Kami akhirkan permainan sambil bergelut di atas tanah. Terkadang saya yang menang. Namun, Surau lebih sering menjadi kampiun.

"Saya sayang kamu, Surai." Saya mengelus-elus kepalanya. Dia melenguh. Menyurukkan kepalanya ke bawah ketiak saya, sehingga saya terpancing menggelutnya. Kami terengah-engah, bersimbah keringat.

"Saya harap kau jangan nakal. Musuhmu semakin banyak. Saya tak ingin kau terlibat pertarungan, dan harus mati. Saya tak tahan kalau kita berpisah. Saya bisa mati rindu."

Saya membuat api unggun. Telah tiba saatnya kami menyantap menjangan bakar yang saya tombak tadi siang. Surai sabar menunggu sampai menjangan benar-benar matang. Dia berpindah dari dekat saya, dan sengaja tidur-tiduran di atas batu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun