Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mak Wo

4 Agustus 2019   06:43 Diperbarui: 4 Agustus 2019   06:47 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Meski kerut usia memeta wajahnya, Mak Wo berpantang menyerah. Sepuluh tahun lalu dia terbiasa hadir di pasar induk saat tengah malam. Ketika itu pick up turun dari dusun membawa sayur-mayur. 

Dia dan para pedagang berjibaku untuk mendapatkan  sayur paling segar, dan paling bagus. Terkadang sesama pedagang sering bersitegang.  Tapi, manakala masing-masing mendapat jatahnya, mereka bersahabat seperti sediakala. Menyeruput kopi sambil lalu, di lapak-lapak dadakan pinggir pasar.

Setelah sepedanya menjerit, Mak Wo  akan pulang ke rumah bukan untuk tidur, tapi memisahkan sayur sangat segar dan kurang segar. Dia juga memasak lontong, nasi uduk, beserta pelengkapnya. 

Sebab jam lima tepat, para pemburu sarapan sudah tercogok di warung. Menyusul pemburu  sayur, sehingga dia kerap kelabakan, mana yang harus didulukan.

Sekarang setelah sepuluh tahun terlewat, Mantri Amak mulai sering mengatakan asam urat Mak Wo mengkhawatirkan. Perempuan tua ini tetap merasa kuat, masih merasa hebat. Kendati kerut usia lebih kuat menancapkan kukunya. Dia tak bisa lagi berburu sayur segar  di tengah malam. 

Dia hadir di sana setelah sayur tinggal sisa pilihan.  Dia  pulang saat sepedanya masih lengang, dan mendarus sebaris-dua ayat Qur'an sebelum shubuh tiba.

Pembeli seakan mafhum adanya. Mereka baru muncul di warung Mak Wo sekitar pukul enam pagi; sarapan nasi uduk, atau membeli sayur. Atau dua-duanya. Masalah lontong, tubuh tua itu sudah majal untuk dipaculkan. Tapi, hidup tetap harus berjalan. Tubuhnya bahkan merasa remuk kalau tak dipaculkan.

Yang tidak mahfum dalam hal ini hanyalah Gubal. Dia ini cucu Mak Wo. Berusia belasan tahun. Tak sekolah lagi, tapi sering membuat panas hati.

Orangtua Gubal sudah lima bulan berpisah. Praktis Mak Wo yang mengambil-alih kehidupan si cucu. Meski dia seperti mengasih umpan kepada macan. Gubal sesekali menerkamnya. 

Maka itu uang di kaleng selalu berkurang banyak. Modal Mak Wo berulangkali sekarat. Apalagi kalau bukan untuk Gubal berjudi, minum topi miring dicampur obat-obatan, bahkan obat nyamuk bakar, agar bisa teler hingga pagi. 

Mak Wo hanya bisa mengelus dada. Pernah dia menasehati Gubal. Hasilnya panci-panci terhumbalang. Uang di kaleng berkurang banyak.

Pagi ini di tengah asam urat tak mau diajak kompromi, Gubal masih saja tertidur. Gerobak sarapan tentu tak mau berjalan tanpa dorongan. Sementara jam dinding menunjukkan pukul enam  lewat.

Berulangkali Mak Wo coba membangunkan cucunya. Namun, seolah dia mati. Untung saja anak-anak lewat di depan rumah. Gerobak bisa bergerak karena didorong tangan-tangan kecil itu. Perut kecil itu pun harus dipadatkan sebagai upah.

"Abang Gubal di mana, Mak?" tanya anak-anak itu sambil berdecap kepedasan.

"Biasa, tidur."

"Tadi malam kami lihat ramai orang di simpang." Anak-anak lega setelah kenyang, mengelap mulut dengan ujung lengan.

"Si Gubal juga ada," sela Bik Sam yang sedang memilih sayuran. "Biasa. Mabok lagi!"

"Mmm, nggak, Bik. Ada pesta kawinan anak Uni Eti." Anak-anak meluruskan. Mereka berlarian menuju lapangan sempit untuk bermain bola.

"Sambilannya begadang menunggui pesta kawinan anak Uni Eti. Tujuan utama mabok judi. Habis mabok, dilanjutkan judi." Bik Sam merepet sambil memasukkan sayur ke dalam kantong kresek.

"Iya, kerjaan anak muda di sini mabok terus. Apa saja diminum, asal bisa hilang ingatan."

"Ingat tidak si Lisdan, baru seminggu lalu tewas karena ngoplos."

Mak Wo menyela pembicaraan ibu-ibu, "Aduh, tak baik pagi-pagi sudah ghibah, Ibu-ibu."

Suasana kembali tenang. Para ibu kembali berbincang tentang rencana masak pagi ini agar suami semakin cinta. Tawa pun pecah. Perbincangan semakin seru hingga sayur Mak Wo tak bersisa. Tiba baginya rehat sejenak agar bila terbangun bisa agak segaran.

***

Mendadak sore yang cerah diributkan pembicaraan masalah Mak Wo. Ada berita bahwa perempuan itu telah meninggal dunia.

"Apa? Mak Wo meninggal dunia?  Kok bisa? Tadi pagi dia segar saja." Bik Ici kebingungan.

"Umur orang siapa yang tahu, Bu."

Para lelaki mengambil peci, bergegas menuju rumah Mak Wo. Para ibu mengambil beras di gentong, mengikuti suami mereka.

Sesampai di rumah Mak Wo, terjawab sudah. Ternyata bukan Mak Wo yang meninggal dunia, melainkan si Gubal, lantaran minum minuman keras oplosan. 

Mak Wo hanya bisa menangis sesunggukan, kenapa cucunya meninggal dunia begitu cepat. Bapak-ibu Gubal baru bisa datang malam harinya. Mereka hanya bisa menyesali hal yang sudah terjadi.

Besok-lusanya, Mak Wo kembali disibukkan usaha sayuran. Dia bingung bisa bergelut kembali pasar induk seperti sepuluh tahun lewat. Apakah karena dia senang setelah Gubal sudah tiada?

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun