Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Betapa Nikmat Menjadi Pengusaha

15 Juli 2019   16:02 Diperbarui: 15 Juli 2019   17:17 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang pasti selalu mengharapkan bekerja di ruangan nyaman dengan penghasilan tetap tanpa sedikitpun was-was tempat bekerjanya itu sewaktu-waktu bangkrut. Itulah yang membuatku jauh-jauh hari bertekad menjadi salah seorang pegawai negeri sipil (PNS) di kotaku. Tekad yang harus diwujudkan. Selain demi memapankan diri, aku ingin membantu kedua orangtua membiayai tiga orang adikku sehingga kelak bisa memperoleh gelar sarjana atau setidak-tidaknya tamat SMA.

Maka di penghujung tahun 2004, aku mengikuti tes calon PNS. Aku yakin bisa lulus, sebab selama sekolah sampai kuliah, aku selalu memperoleh predikat lima besar. Bahkan semasa kuliah, aku sempat tiga tahun mendapatkan beasiswa.

Seperti sudah mafhum adanya, bukanlah hal mudah lulus menjadi PNS. Kecerdasan dan keahlian taklah menjamin. Tapi harus dibarengi sogok sana-sogok sini. Apakah sampai sekotor itu?

Aku hanya ingin lulus murni. Di samping tak mau memperoleh pekerjaan dengan cara menipu seperti itu, orangtua juga tak memiliki dana memadai demi sogok-sogokan. Tak cukup menghabiskan satu-dua jutaan, malahan puluhan juta rupiah.

Nyatanya aku tak lulus. Aku pun melamar kerja di sebuah perusahaan kontraktor dengan penghasilan di bawah upah minimum regional (UMR). Tapi tak apalah, daripada menganggur sehingga pikiran buntu, lebih baik bekerja. Setidak-tidaknya bisa memenuhi kebutuhan pribadiku dan tak perlu memoroti orangtua.

Tahun 2005, kucoba lagi peruntungan ini. Apakah retak tanganku memang menjadi PNS? Atau sebaliknya hanya bekerja di perusahaan-perusahaan yang tak memiliki masa depan jelas. Hasil akhir aku harus mengambil pilihan kedua. Aku tetap tak mampu melewati barikade tes PNS yang menurutku tak terlalu rumit. Namun itu tadi, tanpa "bermain mata" dengan uang bertimbun, lebih baik menutup harap menjadi penjabat di pemerintahan itu.

Orangtua menyarankanku meneruskan warung manisan mereka agar lebih besar. Bahkan mereka memberiku ide, supaya menambah jualan dengan kue-kue. Letak rumah yang strategis memungkinkan penjualan kami laris-manis. Lagipula, kue-kue yang kelak kubuat sendiri, sudah tak dipungkiri lagi kelezatannya. Hanya saja, apa tak lucu bila seorang sarjana sosial banting setir menjadi pembuat kue? Untuk apa kuliah susah-payah?

Tahun 2006, meskipun dengan harapan sama, yakni pasti tak lulus, aku tetap mengikuti tes PNS untuk yang ketiga kalinya. Mati-matian aku mewujudkannya. Bila tidak, umurku saja yang bertambah, kesejahteraan sama sekali nol besar. Saat itulah aku dihubungkan seorang teman kepada calo penerimaan PNS. Cerita temanku, si calo akan sangat mudah meluluskanku menjadi PNS, tentu dengan syarat harus memberikan uang sekian puluh juta rupiah.

Awalnya aku berkeras agar tak tergoda. Aku takut kelak penghasilan yang kuperoleh dari PNS itu tak halal. Sebab menjadi PNS kudapatkan dengan cara tak halal pula. Hanya saja, ketika orangtua mengetahui ada orang yang sanggup mewujudkan cita-citaku, mereka langsung berinisiatif menjualkan tanah di kampung. Kutaksir paling bisa laku duapuluh jutaan lebih.

Aku tetap berkeras lulus murni. Tapi karena pengaruh teman dan orangtua, akhirnya aku luluh. Tanah orangtua laku duapuluh dua juta. Sementara calo telah mematok empat puluh juta rupiah.

Aku putus asa dan memastikan mengurungkan niat menjadi PNS. Namun setelah nego yang alot, si calo mau menurunkan tawaran menjadi tigapuluh juta rupiah. Akhirnya ayah nekad meminjam uang kepada Uwak yang tinggal di kota J.

Ujung-ujungnya, bukannya diterima sebagai PNS, aku dan keluarga kehilangan uang di tangan si calo hampir limabelas juta. Nominal lumayan, sehingga membuat kami pusing tujuh-keliling. Berulangkali aku meminta si calo mengembalikan seluruh uang yang telah diterimanya. Tapi dia memberikan alasan macam-macam. Uang itu telah digunakan untuk urusan gona-gini. Membayar bapak itu, ibu ini.

Ah, aku sepertinya ingin mengadukan penipuannya kepada polisi. Namun setelah dipikir-pikir, tentu tak ada gunanya. Hanya membuat malu keluarga. Lagipula, mengadu ke polisi serta mengikuti sidang-sidang lanjutan membutuhkan biaya yang tak sedikit.

Aku pasrah. Pikiranku berkecamuk. Bagaimana mengembalikan hutang sekian juta kepada Uwak? Sesal memang selalu datang belakangan. Andaikan aku tetap ikut tes PNS tanpa sogok-sogokan, tentu seluruh orang tak perlu repok. Tak ada harta benda yang tergadai demi cita-cita.

Dalam kondisi demikian, perusahaan kontraktor tempatku bekerja, mendadak bangkrut. Alhasil tak ada lagi dana untuk kupakai sehari-hari. Yang ada hanya memoroti orangtua yang penghasilannya hanya mengandalkan warung manisan.

Atas saran seorang teman, pertengahan tahun 2006, aku akhirnya mulai membuat usaha rumahan. Aku ahli membuat kue, kenapa harus disia-siakan? Biaya untuk menjalankan usaha rumahan itu taklah sampai mencekik leher. Lagipula ada harapan dengan berbisnis kuliner, aku bisa membayar hutang kepada Uwak, sekaligus membantu taraf hidup keluargaku.

Awalnya aku minder juga. Ketika memajang kue-kue buatanku di warung manisan, aku berbohong bahwa semua itu kubeli dari seorang agen kue. Aku hanya menjualkannya saja. Toh betapa malunya bila kelak para tetangga mengetahui bahwa sarjana seperti aku hanya bekerja sebagai pembuat kue.

Ternyata pembeli sangat menyenangi kue-kue itu. Mereka ingin mengetahui dimana aku membelinya. Mereka juga ingin menjualnya. Saat itulah aku berani jujur bahwa semua kue itu adalah buatanku.

Mulailah proses usahaku merangkak naik. Kue-kue yang biasanya dibuat hanya seratus potong per harinya, menjadi lima atau enam ratus potong. Bahkan sekali-sekali malahan mencapai seribu potong per harinya. Itulah yang membuat nyaris seluruh anggota keluarga harus turung tangan membantuku.

Atas saran ibu, aku pun membayar dua orang pekerja membantuku membuat kue. Karena mengharapkan tenaga anggota keluarga tentulah tak bisa setiap hari. Masing-masing mempunyai urusan yang terkadang tak boleh dibengkalaikan.

Tanpa sadar setahun sesudahnya, usahaku berjalan cukup bagus. Hutang kepada Uwak bisa dilunasi. Simpanan uangku yang lumayan, akhirnya bisa dipergunakan menyewa rumah kontrakan. Rumah kontrakan itu tak hanya digunakan membuat kue-kue pesanan orang, tapi sekaligus aku menyambi memasak berbagai lauk-pauk khas Padang. Lauk-pauk itu kutitipkan di beberapa rumah makan terkenal.

Sungguh aku merasa bahagia. Rumah orangtua bisa direnovasi. Biaya sekolah adik-adikku pun tak pusing lagi mencarinya. Bahkan aku sanggup mengkredit sebuah rumah sederhana di bilangan pinggiran kota.

Aku bersyukur sekali. Andainya aku berjuang terus-terusan demi mendapatkan status PNS, tentu hidupku tetaplah melarat. Tapi sekarang tidak. Malahan ketika bersua dengan beberapa temanku yang menjadi PNS, mereka sampai terkagum-kagum. Mereka bangga melihat hidupku. Kata mereka, seandainya aku seorang PNS, aku pasti tak sampai sesejahtera sekarang.

Ya, ternyata untuk hidup itu tak melulu harus menunggu uluran tangan orang lain sehingga mengangkat kita menjadi pekerja mereka, yang kemudian diperas dan dibentak-bentak. Tapi kita sendiri bisa mengolahnya sesuai kemampuan masing-masing. Untuk apa mengeluarkan uang puluhan bahkan ratusan juta hanya demi diterima menjadi PNS, lalu bergaji antara satu sampai dua jutaan? Tentu lebih baik uang tersebut diputarkan untuk usaha sendiri. Seperti yang telah kujalankan hingga sekarang. Terima kasih, Tuhan.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun