Setiap orang pasti selalu mengharapkan bekerja di ruangan nyaman dengan penghasilan tetap tanpa sedikitpun was-was tempat bekerjanya itu sewaktu-waktu bangkrut. Itulah yang membuatku jauh-jauh hari bertekad menjadi salah seorang pegawai negeri sipil (PNS) di kotaku. Tekad yang harus diwujudkan. Selain demi memapankan diri, aku ingin membantu kedua orangtua membiayai tiga orang adikku sehingga kelak bisa memperoleh gelar sarjana atau setidak-tidaknya tamat SMA.
Maka di penghujung tahun 2004, aku mengikuti tes calon PNS. Aku yakin bisa lulus, sebab selama sekolah sampai kuliah, aku selalu memperoleh predikat lima besar. Bahkan semasa kuliah, aku sempat tiga tahun mendapatkan beasiswa.
Seperti sudah mafhum adanya, bukanlah hal mudah lulus menjadi PNS. Kecerdasan dan keahlian taklah menjamin. Tapi harus dibarengi sogok sana-sogok sini. Apakah sampai sekotor itu?
Aku hanya ingin lulus murni. Di samping tak mau memperoleh pekerjaan dengan cara menipu seperti itu, orangtua juga tak memiliki dana memadai demi sogok-sogokan. Tak cukup menghabiskan satu-dua jutaan, malahan puluhan juta rupiah.
Nyatanya aku tak lulus. Aku pun melamar kerja di sebuah perusahaan kontraktor dengan penghasilan di bawah upah minimum regional (UMR). Tapi tak apalah, daripada menganggur sehingga pikiran buntu, lebih baik bekerja. Setidak-tidaknya bisa memenuhi kebutuhan pribadiku dan tak perlu memoroti orangtua.
Tahun 2005, kucoba lagi peruntungan ini. Apakah retak tanganku memang menjadi PNS? Atau sebaliknya hanya bekerja di perusahaan-perusahaan yang tak memiliki masa depan jelas. Hasil akhir aku harus mengambil pilihan kedua. Aku tetap tak mampu melewati barikade tes PNS yang menurutku tak terlalu rumit. Namun itu tadi, tanpa "bermain mata" dengan uang bertimbun, lebih baik menutup harap menjadi penjabat di pemerintahan itu.
Orangtua menyarankanku meneruskan warung manisan mereka agar lebih besar. Bahkan mereka memberiku ide, supaya menambah jualan dengan kue-kue. Letak rumah yang strategis memungkinkan penjualan kami laris-manis. Lagipula, kue-kue yang kelak kubuat sendiri, sudah tak dipungkiri lagi kelezatannya. Hanya saja, apa tak lucu bila seorang sarjana sosial banting setir menjadi pembuat kue? Untuk apa kuliah susah-payah?
Tahun 2006, meskipun dengan harapan sama, yakni pasti tak lulus, aku tetap mengikuti tes PNS untuk yang ketiga kalinya. Mati-matian aku mewujudkannya. Bila tidak, umurku saja yang bertambah, kesejahteraan sama sekali nol besar. Saat itulah aku dihubungkan seorang teman kepada calo penerimaan PNS. Cerita temanku, si calo akan sangat mudah meluluskanku menjadi PNS, tentu dengan syarat harus memberikan uang sekian puluh juta rupiah.
Awalnya aku berkeras agar tak tergoda. Aku takut kelak penghasilan yang kuperoleh dari PNS itu tak halal. Sebab menjadi PNS kudapatkan dengan cara tak halal pula. Hanya saja, ketika orangtua mengetahui ada orang yang sanggup mewujudkan cita-citaku, mereka langsung berinisiatif menjualkan tanah di kampung. Kutaksir paling bisa laku duapuluh jutaan lebih.
Aku tetap berkeras lulus murni. Tapi karena pengaruh teman dan orangtua, akhirnya aku luluh. Tanah orangtua laku duapuluh dua juta. Sementara calo telah mematok empat puluh juta rupiah.