Perlahan saya meraba si garpu yang menyelip di pinggang. Saya tak tega berbuat nekat. Prinsip saya, tak baik melawan si senja itu. Memalukan! Lagi pula saya selalu luluh menghadapi orang yang selesai shalat. Pernah kawan sesama pencopet beroperasi di sekitaran masjid  seusai Shalat Jum'at. Saya langsung menyarangkan si garpu ke pingangnya. Melawan sedikit, ujung si garpu akan mengoyak kulit ari. Dia pun berlalu tunggang-langgang. Jangankan si garpu, mencari masalah dengan saya saja lebih tak berani.
Saya pernah dikapak seseorang di pasar. Tapi bukan kepala saya yang modar, melainkan kapak itu yang patah. Orang langsung mengira saya mempunyai ilmu kebal. Padahal tidak sama sekali. Pertama, karena saya yakin gagang kapak sudah lapuk. Kedua, karena jari manis tangan kanan saya berhiaskan cincin suasa besar dan bermata amat besar peninggalan mendiang ayah. Ketiga, dan yang paling utama karena Tuhan telah melindungi saya.
Saya masih duduk mencangkung ketika si senja mengajak saya ke dapur. Baginya tamu adalah raja. Di lorong menuju dapur, saya bertemu---mungkin---istrinya. Dia menatap saya heran. Lakinya itu menjelaskan, bahwa saya ini temannya. Saya penjaga malam yang kebetulan kelaparan.
Saya kehilangan nyali merampok sama sekali. Mungkin karena saya hanya memiliki nyali mencopet. Satu lagi, entah kenapa pelaku kejahatan akan melemah ketika menemukan korban yang sangat tenang. Berbeda jika korban melawan, nyawa pun bisa diambil paksa.
Saya benar-benar seperti raja. Dia menyiapkan di meja dapur secangkir besar teh, juga beberapa potong martabak manis. Dia bercerita banyak saat saya menikmati juadah itu. Saya sendiri sampai lupa bahwa saya pencopet wahid di Pasar 16 Ilir. Â Bahkan ketika saya bersendawa karena lumayan kenyang, Pak Rofiq---si senja itu---menyuruh saya menginap di rumahnya hingga shubuh. Saya terpaksa ikutan Shalat Shubuh berjamaah bersama lima orang anak kecil sepantaran. Mungkin sekitar sepuluh tahunan.
Saya bingung sesenja itu Pak Rofiq masih mempunyai anak, malahan kembar lima. Belakangan saya tahu Pak Rofiq tak memiliki anak. Mereka semua adalah anak yatim piatu yang dipeliharanya.
"Mas, eh siapa namamu?" tanya Pak Rofiq menjelang jam enam pagi, saat saya bermaksud permisi pulang.
"Rohman, Pak."
"Kamu bisa jaga anak-anak sampai sore nggak? Soalnya aku dan ibu harus ke kondangan di dusun. Mungkin baru sampai  di Palembang selewat isya. Tolong, ya?"
Saya sebenarnya ingin menolak. Tapi ketika orang sudah memakai kata "tolong", saya cenderung melemah.
"Kamu bisa masak nggak?" Pak Rofiq cengengesan. "O, iya aku lupa kau bukan perempuan."