Lelaki itu bernama Misnan, menjabat  ketua pemilihan kepala dusun. Rumahnya tak jauh dari kaki bukit, beberapa puluh meter dari perusahaan pertambangan minyak dan gas, yang setiap hari cerobong apinya membakar angkasa. Lebih satu bulan dia menjabat. Lebih tiga sepeda motor telah diturunkan dari mobil pick-up ke halaman rumahnya, tapi  dia suruh antar pulang kembali ke pengirimnya..
Ghalibnya dusun, berlingkup kecil. Perusahaan  pertambangan minyak dan gas itu membuatnya menjadi besar. Bagai gula dirubung semut, bagai ikan asin diperebutkan kucing. Oleh sebab itu, dari dulu, setiap akan digelar pemilihan kepala dusun, kondisinya melebihi pemilihan gubernur. Bukan kemeriahannya melebihi, tapi permainan duit panas membuat merinding. Misnan, lelaki jebolan pesantren yang kata orang  sepuluh betul. Orang lurus tanpa hono-hene, tak ke sono tak ke sene. Selalu berpegang teguh pada tali kebenaran. Kali ini, kalap juga diumpankan  hal-hal yang menerbitkan air liur.
Pak Rupat, Â bandar togel, pun narkoba, bukan hanya sepeda motor yang diumpankan, perempuan cantik molek dari tanah jauh, dijabanin. Mula-mula perempuan bermake-up tebal dan bibir tipis menggoda, lewat di depan rumah Misnan. Berstatus masih bujangan, membuat dia segera menutup dan mengunci pintu, bersembunyi di dalam rumah. Ternyata perempuan itu tak hanya lewat, sekaligus masuk ke halaman, mengetok pintu sambil bernyanyi kecil. Misnan membuka pintu, menguncinya rapat-rapat, dan berdiri agak jauh dari perempuan itu.
"Kok di kunci, Mas, Om. Saya panggil apa, ya?" Perempuan itu mengedipkan mata.
"Panggil saja kakek." Misnan merengut. "Saya mengunci pintu karena tadi saya tak aman bersembunyi di dalam, jadi sekarang saya bersembunyi di luar."
"Oh, so sweet! Anda penyair atau penyanyi, ya? Saya ke mari utusan Pak Rupat, mau..." Perempuan itu tak jadi melanjutkan ucapannya, memilih lari tunggang-langgang, sebab takut dihantam bakiak yang diacungkan Misnan tinggi-tinggi.
***
Misnan sudah tahu sejak perusahaan pertambangan minyak dan gas itu beroperasi, hampir setiap bulan pihak perusahaan menggelontorkan uang ke kepala dusun sebagai tali kasih. Tapi, hanya sedikit yang dapat dicicip warga. Selebihnya, memperkaya keluarga kepala dusun. Ketika bapak lurah, menunjuk Misnan sebagai ketua pemilihan kepala dusun, tanpa dua kali ditanya mau apa tak, dia langsung mengangguk cepat. Dia berharap pemilihan kepala dusun tahun ini bermanfaat besar bagi kesejahteraan warga.
Lalu, bagaimana dia bersikap di dalam lingkungan yang bobrok? Ikan bisa hidup di laut tanpa menjadi asin. Â Sayangnya, masalah tak sesepele itu. Ketakbiasaan warga bahwa uang bukan segalanya, menjadi keterbiasaan sekarang. Mau apa-apa selalu memakai uang pelicin. Tanpa uang pelicin persoalan mampet seperti got ditimbun sampah. Pernah sekali, ketika Misnan berkunjung ke kelurahan demi membuat KTP, dia bertanya kepada bapak lurah. "Mau buat KTP habis berapa, Pak?"
"Kalau kilat seratus atau dua ratus ribu. Ekspress dalam satu hari lima ratus ribu. Kalau biasa lima puluh ribu, siapnya dua bulan." Bapak lurah memilin kumisnya yang jarang seperti kumis kucing.
"Lho, saya baca di koran, cuma dua ribu lima ratus!"
"Berarti buat KTP-nya di koran saja." Bapak lurah memutar kursi, membelakangi Misnan.
"Baiklah, kilat saja!"
Kalau bukan karena ingin mengurus surat lamaran, tak mau dia membuat KTP dengan kilat. Biarlah dia memilih biaya dua ribu lima ratus, meskipun tiga tahun tak jadi-jadi.
***
Bapak lurah tiba-tiba mengundang Misnan ke rumahnya. Ada kari kambing dan rendang menghiasi meja. Beragam jus menggoda selera. Misnan berpikir pada awalnya, bapak lurah sedang hajatan. Tapi hanya dua orang yang ada di ruang makan.
"Hajatan apa, Pak? Sunatan?" canda Misnan. Bapak lurah merengut. Anaknya hanya dua orang. Yang paling kecil sudah menikah dan tinggal di kota Jakarta.
"Sontoloyo, kau! Makan dulu baru kita ngobrol," sentak bapak lurah. Misnan hanya mengambil sejumput nasi, sejumput sambal dan sejumput sayur daun kates. Bapak lurah sampai keheranan melihatnya.
Bagi Misnan, makan di rumah bapak lurah, patut dicurigai. Apa yang terhidang di meja, bisa saja dibeli dengan uang panas. Kalau pun dia sekadar mencicip demi kesopanan, biarlah dia memakan yang murah-murah saja. Mudah-mudahan dosanya juga murahan dan bisa dicuci dengan istigfar.
Selepas makan, mereka menuju ke ruang tamu. Bapak lurah sebentar ke kamarnya. Lelaki yang duduk di sebelah Misnan, bertanya, "Kenapa kari kambingnya tak dimakan?"
"Saya darah tinggi, Pak," bohong Misnan agar lelaki tak bertanya macam-macam.
"Wah, masih muda sudah darah tinggi. Bagaimana dengan rendang?"
"Saya kolesterol, Pak."
"Kalau penyakitan, ini obatnya." Pak Lurah tiba-tiba sudah duduk di depan mereka sambil membawa koper. Koper dibuka, sehingga membuat Misan tersedak. Uang merah bersusun rapi di situ.
"Wah, mau beli tanah lagi, Pak?
"Ya, untuk tanah pekuburanmu." Bapak lurah tertawa karena melihat wajah Misnan memucat. Lelaki di sebelah Misnan ikut tertawa. Pelan-pelan bapak lurah menceritakan bahwa uang di koper itu untuk Misnan, agar pemilihan kepala dusun berakhir sukses. Lelaki di sebelah Misnan akan mencalonkan diri dan harus dimenangkan. Dia warga kampung sebelah, tapi semua toh bisa diatur dengan uang. Lelaki yang kemudian memperkenalkan diri bernama Parmin, memiliki belasan kafe di sepanjang lima ratus meter di jalan lintas provinsi. Misnan berapa kali melihat puluhan truk sering terparkir di halaman kafe yang becek apabila hujan, berdebu apabila panas. Ya, Â sopir truck singgah mungkin sekadar makan siang, namun lebih utama makan lain yang bagi Misnan untuk memikirkannya saja membuat bergidik.
"Saya tak berminat. Ini harus fair memenuhi aspirasi warga." Misnan berdiri membungkuk sambil menyalami bapak lurah dan lelaki itu.
Dia dirayu bapak lurah bahwa uang dalam koper hampir tiga puluh juta, namun Misnan tetap menolak. Dia langsung angkat kaki, membuat orang di ruang tamu itu terbelalak heran. Seumur-umur, seorang Misnan saja yang berani menolak rejeki nomplok. Parmin menghembuskan napas kesal. Bapak lurah berulangkali meminta bersabar, karena masih ada kesempatan lain merayu Misnan.
Parmin mengibaskan tangan tak peduli. Dia menelepon seseorang dan berbicara sebentar. Setelah ponsel dimatikan, dia berkata, "Kalau tak bisa dengan cara lembut, kita main kasar!"
***
Misnan menggeber motornya melewati kebun kelapa sawit. Malam semakin gelap dan dingin. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Saat melintas di Kilometer Lima, ban motornya mendesis pertanda bocor. Saat dia turun dari motor, tiga lelaki memakai topeng langsung memukulnya bertubi-tubi.
"Jangan sampai mati. Buang di kanal!" perintah seseorang. Tubuh Misnan begitu saja terlempar di dalam kanal yang kering. Sakit yang menyerang wajah dan tulang pinggang, membuatnya pingsan. Â Dia baru merasakan sakit alang-kepalang, ketika matahari pagi menjamah wajahnya. Oh, bukan saja matahari pagi, juga seorang lelaki tua memegang wajahnya yang lebam.
"Anak kenapa?" tanya lelaki tua itu.
"Saya dipukulin orang tak dikenal tadi malam, Pak," jawab Misnan. Lelaki tua itu memanggil buruh sawit yang sedang melintas menumpang mobil pick-up. Tubuh Misnan dibopong beramai-ramai dan diletakkan di bak mobil pick-up. Mereka mengantar Misnan ke rumahnya.
Berita penganiayaan itu tersebar seperti kain disulut api. Warga marah besar. Seorang perwakilan dari perusahaan pertambangan minyak dan gas, menjemput Misnan, membawanya ke rumah sakit perusahaan. Misnan belum bisa diajak berbincang-bincang. Dia sesekali meringis menahan pedih yang mengoyak sebagian wajahnya. Pihak aparat dari kota pun turun tangan.
Suatu senja, Parmin menjenguk Misnan. Dia tersenyum pura-pura ramah. Parmin membisikkan sesuatu ke telinga lelaki yang terbaring lesu itu, entah apa.
***
Kantor lurah penuh warga. Misnan tertunduk lesu di sudut ruang. Bapak lurah tersenyum kepada Parmin. Aura kemenangan terpancar di wajah mereka. "Baiklah, sekarang mari kita dengarkan penjelasan saudara Misnan tentang penganiayaan beberapa hari lalu." Bapak lurah manggut-manggut.
Dengan terbata-bata Misnan menceritakan tentang kejadian di kebun sawit. Dia memohon maaf kepada seluruh warga, bahwa kejadian penganiayaan itu hanya bohong belaka. Sebenarnya dia hanya digebukin warga dusun sebelah, karena ketahuan mengintip perempuan mandi di sungai.
"Wuuu!" teriak warga dengan nada sumbang. Mereka antara percaya dan tidak atas penjelasan Misnan. Sebab mereka kenal betul siapa lelaki itu. Entah kenapa dia melakukan perbuatan yang memalukan.
Beberapa warga hendak bertanya. Bapak lurah melarang. Sebab Misnan belum sehat betul. Dia butuh istirahat. "Demi kesucian dusun, maka saya menunjuk Sopuan menggantikan Misnan sebagai ketua pemilihan kepala dusun. Setujuuu?"
Tak ada warga yang menjawab. Seorang demi seorang meninggalkan kantor lurah dengan tertunduk lesu.
***
Di sudut sebuah kafe remang-remang, tiga lelaki ditemani tiga perempuan tertawa sambil berjoget mengiringi irama remix. Kau mungkin mengenal mereka. Ada bapak lurah, Parmin, dan itu tuh.... Ada Misnan!
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H