"Saya kolesterol, Pak."
"Kalau penyakitan, ini obatnya." Pak Lurah tiba-tiba sudah duduk di depan mereka sambil membawa koper. Koper dibuka, sehingga membuat Misan tersedak. Uang merah bersusun rapi di situ.
"Wah, mau beli tanah lagi, Pak?
"Ya, untuk tanah pekuburanmu." Bapak lurah tertawa karena melihat wajah Misnan memucat. Lelaki di sebelah Misnan ikut tertawa. Pelan-pelan bapak lurah menceritakan bahwa uang di koper itu untuk Misnan, agar pemilihan kepala dusun berakhir sukses. Lelaki di sebelah Misnan akan mencalonkan diri dan harus dimenangkan. Dia warga kampung sebelah, tapi semua toh bisa diatur dengan uang. Lelaki yang kemudian memperkenalkan diri bernama Parmin, memiliki belasan kafe di sepanjang lima ratus meter di jalan lintas provinsi. Misnan berapa kali melihat puluhan truk sering terparkir di halaman kafe yang becek apabila hujan, berdebu apabila panas. Ya, Â sopir truck singgah mungkin sekadar makan siang, namun lebih utama makan lain yang bagi Misnan untuk memikirkannya saja membuat bergidik.
"Saya tak berminat. Ini harus fair memenuhi aspirasi warga." Misnan berdiri membungkuk sambil menyalami bapak lurah dan lelaki itu.
Dia dirayu bapak lurah bahwa uang dalam koper hampir tiga puluh juta, namun Misnan tetap menolak. Dia langsung angkat kaki, membuat orang di ruang tamu itu terbelalak heran. Seumur-umur, seorang Misnan saja yang berani menolak rejeki nomplok. Parmin menghembuskan napas kesal. Bapak lurah berulangkali meminta bersabar, karena masih ada kesempatan lain merayu Misnan.
Parmin mengibaskan tangan tak peduli. Dia menelepon seseorang dan berbicara sebentar. Setelah ponsel dimatikan, dia berkata, "Kalau tak bisa dengan cara lembut, kita main kasar!"
***
Misnan menggeber motornya melewati kebun kelapa sawit. Malam semakin gelap dan dingin. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Saat melintas di Kilometer Lima, ban motornya mendesis pertanda bocor. Saat dia turun dari motor, tiga lelaki memakai topeng langsung memukulnya bertubi-tubi.
"Jangan sampai mati. Buang di kanal!" perintah seseorang. Tubuh Misnan begitu saja terlempar di dalam kanal yang kering. Sakit yang menyerang wajah dan tulang pinggang, membuatnya pingsan. Â Dia baru merasakan sakit alang-kepalang, ketika matahari pagi menjamah wajahnya. Oh, bukan saja matahari pagi, juga seorang lelaki tua memegang wajahnya yang lebam.
"Anak kenapa?" tanya lelaki tua itu.