"Berarti buat KTP-nya di koran saja." Bapak lurah memutar kursi, membelakangi Misnan.
"Baiklah, kilat saja!"
Kalau bukan karena ingin mengurus surat lamaran, tak mau dia membuat KTP dengan kilat. Biarlah dia memilih biaya dua ribu lima ratus, meskipun tiga tahun tak jadi-jadi.
***
Bapak lurah tiba-tiba mengundang Misnan ke rumahnya. Ada kari kambing dan rendang menghiasi meja. Beragam jus menggoda selera. Misnan berpikir pada awalnya, bapak lurah sedang hajatan. Tapi hanya dua orang yang ada di ruang makan.
"Hajatan apa, Pak? Sunatan?" canda Misnan. Bapak lurah merengut. Anaknya hanya dua orang. Yang paling kecil sudah menikah dan tinggal di kota Jakarta.
"Sontoloyo, kau! Makan dulu baru kita ngobrol," sentak bapak lurah. Misnan hanya mengambil sejumput nasi, sejumput sambal dan sejumput sayur daun kates. Bapak lurah sampai keheranan melihatnya.
Bagi Misnan, makan di rumah bapak lurah, patut dicurigai. Apa yang terhidang di meja, bisa saja dibeli dengan uang panas. Kalau pun dia sekadar mencicip demi kesopanan, biarlah dia memakan yang murah-murah saja. Mudah-mudahan dosanya juga murahan dan bisa dicuci dengan istigfar.
Selepas makan, mereka menuju ke ruang tamu. Bapak lurah sebentar ke kamarnya. Lelaki yang duduk di sebelah Misnan, bertanya, "Kenapa kari kambingnya tak dimakan?"
"Saya darah tinggi, Pak," bohong Misnan agar lelaki tak bertanya macam-macam.
"Wah, masih muda sudah darah tinggi. Bagaimana dengan rendang?"