Guru matematika itu bernama Pak Regar. Dia berasal dari kota Medan. Karena berkepala botak, anak-anak suka menyebutnya Pak Regar Botak. Bila dia sedang mengajar, seisi kelas hening. Dia adalah guru yang paling ditakuti di sekolah kami.
Pada suatu hari, ada anak iseng menulis Regar Botak di papan tulis. Usop, ketua kelas, buru-buru mengambil penghapus. Tapi, belum sempat dia menghapus tulisan itu, Pak Regar tiba-tiba datang.
Usop langsung berlari ke bangkunya. Semua hening. Jantungku berdegup keras. Ijal tertunduk ketakutan. "Siapa yang menulis Regar Botak di papan tulis?" bisikku kepada Ijal.
"Aku tak tahu! Pak Regar bisa marah besar." Dia menggaruk-garuk kepala.
"Hai, kenapa bisi-bisik?!" Pak Regar berdiri di hadapan kami. Ijon semakin tertunduk. Kalau dia kura-kura, mungkin kepalanya akan dimasukkan ke dalam badan. Aku melirik kaki Pak Regar, lalu pura-pura mengambil buku di laci meja. Mudah-mudahan saja Pak Regar tak melihat tulisan itu.
"Sekarang kita ulangan. Bapak akan menulis soalnya di papan...." Dia terdiam. Matanya mengarah ke tulisan di papan tulis itu. Seketika muka Pak Regar memerah seperti udang rebus. Dia paling tak suka disebut Regar Botak.
Dia menanyakan siapa yang menulis kata-kata itu di papan tulis. Tapi tak seorang anak pun yang menjawab. "Ayo, siapa pelakunya! Bapak tak akan marah kalau kalian jujur. Cuma, Â jangan lagi berbuat yang serupa. Menambah-nambahi nama orang untuk olok-olokan itu tak baik. Apalagi kepada guru. Kami ini orangtuamu di sekolah."
"Mungkin Arif yang menulisnya, Pak!" teriak Abdul dari bangku paling belakang. Badan Abdul besar, dan semua anak di kelas ini takut kepadanya. Dia sudah dua kali tak naik kelas.
Dia tak suka kepadaku. Karena setiap kali dia meminta contekan saat ulangan, aku selalu menolak. Aku menutup-nutupi kertas ulangan agar dia tak bisa melihat jawabanku. Aku tak suka dicontek, dan lebih tak suka lagi mencontek.
"Aku tak melakukannya, Pak!" Aku membela diri.
"Pasti dia pelakunya! Soalnya dia yang lebih dulu masuk ke dalam kelas. Betul kan teman-teman?" Abdul semakin menyalahkanku. Beberapa anak menyetujui perkataan Abdul. Memang akulah anak yang pertama masuk ke dalam kelas. Tapi, bukan aku yang menulis Regar Botak itu.
Karena tak ada yang mau mengaku, akhirnya Pak Regar menghapus tulisan itu, dan mulai menulis sepuluh soal ulangan. Mungkin dia tak ingin memperpanjang masalah. Hanya saja aku tak suka bila seisi kelas mencurigai aku sebagai pelakunya. Maka saat Pak Regar hendak keluar kelas, aku buru-buru minta ijin karena kebelet kencing.
Selesai kencing, aku melihat Pak Regar berdiri di luar kelas. Aku ada ide untuk menjebak orang yang menulis kata-kata Regar Botak itu. Pelan-pelan aku mengatakan ide itu kepada Pak Regar. Dia mengangguk-anguk sambil mengajakku masuk ke dalam kelas.
Sepuluh menit berlalu, tiba-tiba Pak Regar menutup hidungnya. "Siapa yang buang angin? Â Tak sopan. Ayo, mengaku!" Â Pak Regar mengedarkan pandangan ke seisi kelas.
"Siapa yang buang angin? Kok tak bau?" Anak-anak ribut dan saling tuduh.
"Iya, ada yang kentut. Busuk sekali!" Aku menimpali.
"Ha, bapak tahu siapa yang kentut itu! Dia pasti orang yang menulis Regar Botak di papan tulis," katanya sambil tersenyum.
"Bukan aku yang kentut!" Terdengar suara seseorang dari bangku paling belakang. Seluruh mata tertuju ke sana. Ternyata si Abdul yang bersuara.
"O, jadi kau pelakunya?" Pak Regar hanya tertawa diiringi teriakan anak-anak. Abdul tertunduk takut. Sementara aku tersenyum girang. Ideku membuat Abdul tanpa sadar mengakui perbuatannya.
---sekian---