Gigiku bergemeretak. Hanya kutahan-tahankan amarah. Bagaimana pun aku belum tahu apakah alasan  mereka menyebut ayah penyihir. Mungkin saja itu hanya bohong-bohongan untuk menyudutkan ayah.
Dari keterangan Bu Fat tentang ayah yang penyihir membuatku terbelalak. Dia mengatakan sebelum aku lahir, ayah telah menjadi seorang dukun santet. Berhubung ayah bergaya parlente, maka dia tak disebut dukun, melainkan penyihir.Â
Ada tiga orang yang sudah disantet ayah. Memang tak ada yang sampai mati. Hanya saja sakit-sakitan. Setelah kami sekeluarga pindah rumah, ajaib mereka yang kena santet langsung sembuh.
Aku menganggap ucapan Bu Fat isapan jempol semata. Aku juga tak perduli ketika dia menyerahkan secarik kertas yang bertuliskan alamat praktek ayah kepadaku. Namun seminggu setelah itu, aku iseng-iseng mencari alamat dimaksud.
Ya, Allah, ternyata aku menemukan tempat itu, di sebuah lorong becek. Tempat itu hanya rumah buruk yang banyak lobangnya. Sambil mengendap-endap aku mencoba mengintip suasana di dalam. Kuhitung ada sekitar lima orang duduk bersila di hadapan lelaki yang sangat kukenal. Lelaki itu ayahku.
Hatiku hancur. Aku tak tahan lagi memendam kegundahan di dada. Aku meminta penjelasan ibu, sebenarnya ayah itu bekerja sebagai apa? Namun ibu mencoba berkelit. Dia langsung masuk ke dapur. Begitupun aku bukan lagi anak kecil yang bisa ditipu.Â
Aku tetap berjuang meminta penjelasan ibu. Akhirnya dia mengatakan bahwa ayah memang berprofesi dukun. Ayah sengaja tak membuka praktek di rumah, sebab tak enak dilihat orang. Hanya saja menurut ibu, ayah hanya membantu menyembuhkan penyakit pasiennya.
Atau membantu meluluskan niat mereka. Sedangkan mengenai penyihir atau tukang santet, itu sama sekali tak benar. Orang-orang hanya ingin menyudutkan ayah.
Penjelasan ibu tak bisa menenangkanku. Saat ayah pulang, langsung kucecar dia dengan pertanyaan mengapa dia bekerja sebagai dukun.
Memang ayah mencoba berkilah. Tapi karena melihat tatapan serius dariku, ayah mengiyakan bahwa dia memang dukun. Jelas saja aku kecewa. Ternyata ayah yang selalu kubangga-banggakan hanya seorang dukun. Aku kemudian menangis dan berlari ke kamar.Â
Sementara ayah tak memperdulikanku sama sekali. Bahkan sempat aku mendengar dia dengan nada marah berbicara kepada ibu. "Terserah dialah mau sedih apa tidak mendengar pekerjaanku. Yang penting dia makan dari hasil usaha seperti itu."