Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayahku Penyihir

22 Juni 2019   09:54 Diperbarui: 22 Juni 2019   10:05 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Aku merasa ayahku adalah ayah yang paling super sedunia. Ayah yang sangat memperhatikan anaknya. Karena hampir setiap pulang kerja, dia selalu tak lupa membawakan buah tangan. Dia juga sangat sayang kepadaku. Semasa kecil, aku sering didongenginya sebelum tidur. 

Belum lagi hari Minggu, Tak ada di kamus ayah untuk mendekam terus di rumah. Kadang aku---sesekali tanpa ibu---diajak ke kebun binatang, ke mall, bahkan belanja di pasar.

Tapi bertambahnya usia, timbul perasaan ganjil di hatiku. Aku heran, mengapa tak ada anak-anak tetangga yang betah bermain denganku. Setiap kali aku mau gabung, mereka langung kabur. Bahkan orang tua mereka seolah acuh kepadaku. 

Tak jarang mereka langsung menyuruh anaknya masuk ke rumah dan mengunci pintu ketika melihat batang hidungku. Hingga suatu hari keganjilan itu terungkap saat aku berteman dengan Siska. Dia adalah tetangga baruku.

Katanya aku dianggap anak seorang penyihir oleh anak-anak lain. Maka itu mereka sama sekali tak mau bergaul denganku. "Mereka bilang ayahmu penyihir."  Aku tersentak. Aku bingung sendiri. Apakah ayahku memang penyihir?

Perasaan tak tenang berkecamuk dalam hatiku. Aku tak tahan, kemudian bertanya kepada ibu apakah ayah memang penyihir. Ibu tak menjawab dan langsung masuk ke kamar.

Sebulan setelah itu tiba-tiba kami langsung pindah rumah ke lokasi yang lumayan jauh dari rumah pertama. Ya, bagi kami mudah saja sekadar pindah-pindah. Sebab kami hanya mengontrak. Tapi pikiran kekanakku bergejolak. Pasal apa sehingga kami tiba-tiba pindah rumah?

Alhamdulillah di lingkungan baru, orang-orangnya lebih ramah. Aku diterima bergaul dengan anak-anak tetangga sepuasnya. Hingga tahun demi tahun berganti, aku pun harus berpisah dengan keluarga. 

Aku melanjutkan pendidikan di sebuah SMP yang tak jauh dari rumah nenek. Otomatis aku bertemu kembali dengan teman-teman lamaku. Maklum, rumah nenek memang tak berjauhan dari rumah pertamaku.

Mungkin teman-temanku sudah melupakan kebencian mereka terhadapku. Tapi orang tua mereka tidak. Seorang Bu Fat pernah memanggilku ke rumahnya. Dia menanyakan apakah ayahku masih menjadi penyihir. Hati ini jelas meradang. 

Gigiku bergemeretak. Hanya kutahan-tahankan amarah. Bagaimana pun aku belum tahu apakah alasan  mereka menyebut ayah penyihir. Mungkin saja itu hanya bohong-bohongan untuk menyudutkan ayah.

Dari keterangan Bu Fat tentang ayah yang penyihir membuatku terbelalak. Dia mengatakan sebelum aku lahir, ayah telah menjadi seorang dukun santet. Berhubung ayah bergaya parlente, maka dia tak disebut dukun, melainkan penyihir. 

Ada tiga orang yang sudah disantet ayah. Memang tak ada yang sampai mati. Hanya saja sakit-sakitan. Setelah kami sekeluarga pindah rumah, ajaib mereka yang kena santet langsung sembuh.

Aku menganggap ucapan Bu Fat isapan jempol semata. Aku juga tak perduli ketika dia menyerahkan secarik kertas yang bertuliskan alamat praktek ayah kepadaku. Namun seminggu setelah itu, aku iseng-iseng mencari alamat dimaksud.

Ya, Allah, ternyata aku menemukan tempat itu, di sebuah lorong becek. Tempat itu hanya rumah buruk yang banyak lobangnya. Sambil mengendap-endap aku mencoba mengintip suasana di dalam. Kuhitung ada sekitar lima orang duduk bersila di hadapan lelaki yang sangat kukenal. Lelaki itu ayahku.

Hatiku hancur. Aku tak tahan lagi memendam kegundahan di dada. Aku meminta penjelasan ibu, sebenarnya ayah itu bekerja sebagai apa? Namun ibu mencoba berkelit. Dia langsung masuk ke dapur. Begitupun aku bukan lagi anak kecil yang bisa ditipu. 

Aku tetap berjuang meminta penjelasan ibu. Akhirnya dia mengatakan bahwa ayah memang berprofesi dukun. Ayah sengaja tak membuka praktek di rumah, sebab tak enak dilihat orang. Hanya saja menurut ibu, ayah hanya membantu menyembuhkan penyakit pasiennya.

Atau membantu meluluskan niat mereka. Sedangkan mengenai penyihir atau tukang santet, itu sama sekali tak benar. Orang-orang hanya ingin menyudutkan ayah.

Penjelasan ibu tak bisa menenangkanku. Saat ayah pulang, langsung kucecar dia dengan pertanyaan mengapa dia bekerja sebagai dukun.

Memang ayah mencoba berkilah. Tapi karena melihat tatapan serius dariku, ayah mengiyakan bahwa dia memang dukun. Jelas saja aku kecewa. Ternyata ayah yang selalu kubangga-banggakan hanya seorang dukun. Aku kemudian menangis dan berlari ke kamar. 

Sementara ayah tak memperdulikanku sama sekali. Bahkan sempat aku mendengar dia dengan nada marah berbicara kepada ibu. "Terserah dialah mau sedih apa tidak mendengar pekerjaanku. Yang penting dia makan dari hasil usaha seperti itu."

Berarti benar perkataan orang-orang bahwa ayah memang penyihir. Jadi, apa tindakanku? Menyuruh ayah menghentikan profesinya itu, sama saja membangunkan macan tidur. Namun esok paginya ayah mengajakku ke tempat dia praktek. Ayah ingin menunjukkan kepadaku bahwa dia bukan dukun seperti yang dikatakan orang. Dia tak pernah menyantet orang.

Apa yang diucapkan ayah memang benar. Dari beberapa pasiennya itu tak ada yang memohon untuk menyantet orang lain. Rata-rata hanya meminta pengobatan atas penyakit mereka. 

Sebagian kecil untuk meluluskan niat, misalnya biar bisa diterima bekerja di perusahaan anu, biar bisa naik pangkat, biar lulus ujian. Cuma cara ayah melayani permintaan mereka cukup ganjil menurutku. 

Ayah menyediakan baskom berisi air bercampur bunga-bunga. Ada juga dupa yang mengebulkan asap kemenyan. Kemudian mantra-mantra yang dia ucapkan. 

Kemudian air-air dalam gelas bercampur kertas bertuliskan mantra. Kemudian pasien-pasien yang memberikan uang dalam amplop. Aduh, apakah ini perbuatan tak menyalah?

Aku kemudian mencari tahu dari guru agama Islam tentang kegiatan perdukunan yang demikian. Kata guru agama, itu merupakan perbuatan syirik. Harus dihindari, kalau perlu dihentikan.  Hanya saja apa dayaku menyuruh ayah menghentikan kegiatannya.

Sekali waktu aku meminta ayah berhenti menjadi dukun dan mencari pekerjaan lain yang halal. Jawaban darinya hanya sebuah tamparan. Tamparan pertama kali dari ayah untuk anak tercintanya. 

Hingga saat ini ayah masih mencari penghidupan dari jalan haram itu. Sementara aku belum bisa juga menyadarkannya. Entah suatu hari kelak ada hidayah Allah yang membuatnya kembali ke jalan yang benar.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun