Aku mengenalnya dari cerita tetua saat singgah di kampung dalam Pariaman. Namanya Frang Barat, ibu Jepang, bapak Sumatera Barat. Entah apa sebabnya dia terdampar di dusun itu, aku juga tak menemukan benang merah. Tapi dari ujung Barat ke Timur orang sangat mengenalnya  sebagai si joki mamak beruk.
Pagi sekali saat matahari masih malu-malu di ufuk Timur, dia sudah mengayuh sepeda kumbang dengan semangat. Mansi si beruk berada di boncengan. Sesekali mereka diajak singgah oleh warga. Duduk sebentar menyesap kopi, dan merasakan hangat pada juadah ubi bakar. Mansi seperti biasa beroleh pisang sesisir, hingga temboloknya bunting. Dari jaman nenek-moyangnya, Mansi sudah tahu program menabung. Mungkin dari merekalah orang menemukan ide membuat perbankan, aku sendiri tak tahu.
Biasanya setelah prosesi bersantap sejam-dua, mereka melanjutkan mengambil kelapa. Entah muasal darimana pula,  seluruh anggota PPB alias Paguyuban Pengusaha Beruk, tak terkecuali Frang, kalau menakhodai sang beruk, mestilah memakai Bahasa Indonesia, bukan Bahasa Minang totok. "Ambil yang masak" kalau ingin  beruk mengambil kelapa yang masak. "Ambil yang muda" kalau ingin beruk mengambil dogan. "Seberang dan turun" jika ingin si  beruk menyeberang ke kelapa berikutnya, atau turun dari pohon kelapa pertanda pekerjaan selesai dan melanjutkan ke pohon-pohon kelapa selanjutnya atau pulang.
Mungkin karena kutukan pengusaha beruk, rata-rata mereka berpantangan memanjat kelapa. Entah apa sebabnya. Tapi tak usah kau pikirkan itu, biarlah menjadi rahasia cerita.
Aku ingin menceritakan bahwa selain pengusaha beruk, Frang juga jago melawak. Ya, tentu saja dengan tubuhnya yang bulat ibarat bola, dan leher  gemuk-pendek karena dililit lemak. Seumur-umur, belum pernah dia terlihat cemberut. Entah dia sedang susah atau senang, itu juga menjadi rahasia.
Ada satu yang aneh pada diri Frang. Menginjak usia empat puluh tahun, dia belum sekalipun ditemukan berkawan dengan perempuan. Apalagi yang namanya menikah, jauh panggang dari api. Padahal rata-rata orang di kampung itu, menikah antara umur dua puluhan. Berpacaran hanya sebulan-dua. Seterusnya diikat tali pernikahan. Sebab, tak baik menurut adat mereka berpacaran lama-lama, siapa tahu ada  pengikut ketiga; setan terkutuk.
Apakah dia cemburu? Sama sekali tidak. Kau pasti salah menebak. Sifat cemburu sepertinya sudah dia kikis habis. Bahkan ketika melihat si Mansi selalu berpacaran dengan Wansi sekelar bertugas, dia pun tak tersindir. Beruk Frang memang ada dua; Mansi dan Wansi. Tapi yang bertugas memanjat kelapa hanya Mansi. Wansi mungkin tugasnya bersolek di kandang agar ketika Mansi pulang tugas, dia kembali mencharge ulang tenaga pejantan itu.
Maaf, aku kelupaan. Sebenarnya ada satu lagi yang aneh pada diri Frang. Meski kemaluannya belum tentu besar, tapi rasa malunya suaaangat besar. Setiap bertemu perempuan---entah namanya remaja tong-tong karena bila dijentik berbunyi tong-tong saking tuanya, atau remaja ting-ting yang berbunyi ting-ting lantaran masih muda---Frang selalu tertunduk dan diam seribu bahasa.
Frang hanya menurut mengambil kelapa para perempuan itu, dengan sama sekali tidak menatap wajah mereka, konon lagi sekadar berbasa-basi. Badan lelaki itu akan keras seperti arca. Mansi sendiri bingung mau mengambil kelapa masak atau muda. Sebab sang tuan puasa bicara. Tinggal si beruk mempergunakan instingnya.
Maaf, aku kelupaan lagi. Ini yang terakhir. Agar terang bagimu cerita ini, pengusaha beruk sepertinya dilarang mendapat upah berupa uang. Semua dibayar memakai kelapa. Sistem bagi hasil seolah menjadi undang-undang. Bila kelapa yang dipetik sepuluh, pengusaha beruk beroleh 1 buah. Bila yang dipetik seratus, tentulah mereka dapat sepuluh. Nah, bila yang dipetik jumlah ganjil, maka sisa yang setengah, sepertiga, atau berkeping-keping sekali pun, itu kelak bisa diselesaikan di belakang layar.
Sangat disayangkan, hampir sebulan ini, Frang seolah hilang dari jalanan. Pintu rumahnya selalu tertutup. Sepeda kumbangnya hampir kecoklatan diselimuti debu. Kelapa penduduk yang minta dipetik, terpaksa diserahkan ke pengusaha beruk dari kampung lain. Tentu saja upahnya agak mahal. Sebab jarak satu kampung dengan kampung lain hampir dua kilometer. Berat diongkos, begitu kira-kira pengusaha beruk beralasan. Sepuluh kelapa berupah dua buah. Seratus kelapa dibayar sebelas buah. Seperti itu seterusnya.
Akan hal Kakmin, tak merasa rela bila kelapa di kebunnya diambil pengusaha beruk kampung tetangga. Â Mungkin dia berprinsip "belanjalah di warung tetangga" (emangnya pengusaha beruk dengan warung, sama, ya?). Â Lupakanlah!
Mungkin itulah sebabnya selepas mandi di sungai pagi ini, dia mendatangi rumah Frang. Tubuh Kakmin masih mengepulkan asap panas. Akan hal rumah Frang, sama sekali tak berasap. Hanya halimun kabut menyungkup  halaman.
"Oii, Uda Fang! Waang di mano? Assalamu'alaikum!"  Kakmin  celingak-celinguk. Sepi. Hanya suara jangkrik memberi irama pagi.
Kakmin berjalan ke belakang rumah. Â Di antara pohon ketapang, dia melihat seseorang duduk mencangkung. Hempasan ombak yang halus terdengar lamat-lamat. Â Kakmin memicingkan mata. Â Ternyata seseorang itu adalah Frang. Dia duduk mencangkung di hadapan gundukan tanah merah. Dia lama tertunduk, kemudian tengadah seperti menerawang. Air matanya jatuh di pipi.
"Aii, waang di siko tanyato. Manga waang di siko?" Hening. Aroma melati seolah membuat bulu kuduk berdiri.
Maaf, untuk kali  kesekian aku meminta maaf. Dialog selanjutnya aku memakai Bahasa Indonesia karena takut salah, dan dimarahi Pak Irwan.
"Ada masalah apa, Frang? Kelapaku banyak yang sudah masak. Kita ambil sekarang, ya?"
"Aku tak bisa memanjat."
"Apa selama ini kau yang memanjat kelapa?"
"Hmm, kau buta, ya? Jabatan itu kan diambil Mansi."
Kakmin tersenyum. "Maafkan aku, kawan." Kakmin menepuk pundaknya. "Mansi, mana Manis?"
"Tuh!" Frang tersedu. Dia menunjuk dengan bibirnya yang monyong.
Jadi, gundukan tanah itu milik Mansi. Kakmin ikut tersedu di sebelah Fang. Â Mansi sudah mati. Lama mereka mengadakan prosesi kesedihan. Mereka berpelukan. Tapi setengah jam kemudian, Kakmin tersadar. Ha, kelapa? Kelapa harus dipetik! "Frang, aku pulang dulu. Sementara aku memakai jasa pengusaha beruk lain sampai kesedihanmu berkurang."
Seminggu kemudian Kakmin ke rumah Fang. Kasihan bujangan itu menanggung sedih sendirian. Ternyata dia masih di belakang rumah, di antara pohon ketapang. Dia seakan sudah tumbuh di sana.
"Aii, Frang kau masih di sini? Move on dong. Â Cari beruk baru."
"Harganya mahal hampir setengah juta."
"Apa guna ada kawan? Pinjam sama aku. Hidup tak akan kelar kalau kau bersedih terus."
Frang berdiri. Dia seakan menyeret Kakmin  mendekati pantai. Di situlah  Wansi sedang tertidur.
"Aku kehilangan Mansi. Dan aku sangat sedih. Sementara siapa yang bisa menghibur Wansi? Dia sekarang sedang hamil. Sebentar lagi dia melahirkan tanpa pejantan."
"Carikanlah dia pejantan."
"Apa dia mau?"
Kakmin terdiam. Frang bingung siapa kelak yang mengasuh anak yatim dari mendiang Mansi. Kawanku ini sudah tak waras, batin Kakmin sambil meninggalkan Frang. Kakmin tak pernah lagi berkunjung ke rumahnya.
Sejak saat itu orang tak pernah melihat Frang. Kalau kau kebetulan  lewat di dekat rumahnya, sekarang rumah itu telah rata dengan tanah. Di sana hanya ada pohon sawit yang memanjang di setiap sela tanah. PPB hilang, juga Frang. Tak ada lagi pohon kelapa yang hendak dipanjat.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H