"Tuh!" Frang tersedu. Dia menunjuk dengan bibirnya yang monyong.
Jadi, gundukan tanah itu milik Mansi. Kakmin ikut tersedu di sebelah Fang. Â Mansi sudah mati. Lama mereka mengadakan prosesi kesedihan. Mereka berpelukan. Tapi setengah jam kemudian, Kakmin tersadar. Ha, kelapa? Kelapa harus dipetik! "Frang, aku pulang dulu. Sementara aku memakai jasa pengusaha beruk lain sampai kesedihanmu berkurang."
Seminggu kemudian Kakmin ke rumah Fang. Kasihan bujangan itu menanggung sedih sendirian. Ternyata dia masih di belakang rumah, di antara pohon ketapang. Dia seakan sudah tumbuh di sana.
"Aii, Frang kau masih di sini? Move on dong. Â Cari beruk baru."
"Harganya mahal hampir setengah juta."
"Apa guna ada kawan? Pinjam sama aku. Hidup tak akan kelar kalau kau bersedih terus."
Frang berdiri. Dia seakan menyeret Kakmin  mendekati pantai. Di situlah  Wansi sedang tertidur.
"Aku kehilangan Mansi. Dan aku sangat sedih. Sementara siapa yang bisa menghibur Wansi? Dia sekarang sedang hamil. Sebentar lagi dia melahirkan tanpa pejantan."
"Carikanlah dia pejantan."
"Apa dia mau?"
Kakmin terdiam. Frang bingung siapa kelak yang mengasuh anak yatim dari mendiang Mansi. Kawanku ini sudah tak waras, batin Kakmin sambil meninggalkan Frang. Kakmin tak pernah lagi berkunjung ke rumahnya.