Akan hal Kakmin, tak merasa rela bila kelapa di kebunnya diambil pengusaha beruk kampung tetangga. Â Mungkin dia berprinsip "belanjalah di warung tetangga" (emangnya pengusaha beruk dengan warung, sama, ya?). Â Lupakanlah!
Mungkin itulah sebabnya selepas mandi di sungai pagi ini, dia mendatangi rumah Frang. Tubuh Kakmin masih mengepulkan asap panas. Akan hal rumah Frang, sama sekali tak berasap. Hanya halimun kabut menyungkup  halaman.
"Oii, Uda Fang! Waang di mano? Assalamu'alaikum!"  Kakmin  celingak-celinguk. Sepi. Hanya suara jangkrik memberi irama pagi.
Kakmin berjalan ke belakang rumah. Â Di antara pohon ketapang, dia melihat seseorang duduk mencangkung. Hempasan ombak yang halus terdengar lamat-lamat. Â Kakmin memicingkan mata. Â Ternyata seseorang itu adalah Frang. Dia duduk mencangkung di hadapan gundukan tanah merah. Dia lama tertunduk, kemudian tengadah seperti menerawang. Air matanya jatuh di pipi.
"Aii, waang di siko tanyato. Manga waang di siko?" Hening. Aroma melati seolah membuat bulu kuduk berdiri.
Maaf, untuk kali  kesekian aku meminta maaf. Dialog selanjutnya aku memakai Bahasa Indonesia karena takut salah, dan dimarahi Pak Irwan.
"Ada masalah apa, Frang? Kelapaku banyak yang sudah masak. Kita ambil sekarang, ya?"
"Aku tak bisa memanjat."
"Apa selama ini kau yang memanjat kelapa?"
"Hmm, kau buta, ya? Jabatan itu kan diambil Mansi."
Kakmin tersenyum. "Maafkan aku, kawan." Kakmin menepuk pundaknya. "Mansi, mana Manis?"