Motor melaju membelah malam. Kami terdiam. Harum keringat si lelaki berseragam, membuatku teringat parfum si Yeyen.
"Badanku harum, kan?"
"Apa?" Aku tak bisa mendengar jelas.
"Harum badanku. Parfum baru istri. Beli satu dapat dua. Belinya satu yang makainya dua." Dia tertawa. Motor berhenti sekitar tiga puluh meter dari sekumpulan anak muda yang sedang bernyanyi-nyanyi dengan riang.
"Beli sate, ya? Manis, maksudku orangnya yang manis." Pemuda itu tertawa. Aku permisi sambil bergegas masuk gang. Sisa hujan yang menggenang di tengah jalan, memercik ujung celana. Lelaki berseragam itu yang duluan membuka pintu pagar rumahnya. Dia melambai. Aku tersenyum. Masuk ke dalam rumahku sambil menunduk.
Kali ini Wiryo menelepon. Ponsel kuletakkan di atas meja. Saat ring tone jeda, buru-buru kumatikan ponsel. Mengguyur tubuh adalah pilihan terbaik membunuh kesal. Setelah mengenakan daster merah pupus, kunikmati pemberian si seragam sampai ke tusuk terakhir.
Hmm, mudah-mudahan aku tak lagi pindah-pindahan kos seperti kucing beranak. Meski seminggu berdiam di gang ini, terasa sekali aku betah. Hampir penghuninya melulu pensiunan. Lebih senang di dalam rumah, ketimbang menggosip dengan tetangga. Rata-rata mereka tak memiliki anak, karena semua anak sudah berkeluarga dan tinggal di tempat terpisah.
Aku teringat kali pertama diusir dari kosan karena dianggap mengotori kampung. Kali kedua sama saja, aku dituduh pelakor. Kali ketiga aku tak nyaman. Dinding kosan bolong-bolong. Aku sering diintip jika sedang mandi.  Pokoknya banyak ketaknyamanan yang membuatku harus pindah Kosan.  Gang Kesot ini adalah kosan kali kesepuluh. Mudah-mudahan  warga tak resah dan aku betah.
***
"Selamat pagi!"
Aku urung menyampirkan handuk. Badanku yang dibalut sarung selepas mandi, kututup dengan handuk. "Pagi, Pak Wo. Mau ke mana?"