"Kebetulan kau ada. Jadi, tak usah lagi kucari besok pagi." Dia tersenyum. Sepertinya bapak satu ini akan mengajakku mudik. Ya, sekadar menggantikan nyetir kalau dia mengantuk.
"Kau kenal Pakri, kan?" lanjutnya. Aku mengangguk. "Tadi dia kecelakaan kerja. Jadi, selama sebulan harus dirawat di rumah sakit. Kamu yang akan menggantikannya. Upahnya dobel. Sudah, ya," katanya sambil berjalan ke tempat wudhu.
Pikiranku berpusing. Seusai shalat tarawih, sengaja aku singgah ke warung kopi. Setelah memesan wedang, aku duduk di sudut dengan raut kusut. Lamhot mendekat. Dia menarik kursi, duduk di hadapanku. "Kusut begini habis apa, Bis? Thr belum turun, ya?"
Aku menatapnya seraya menggeleng. Selintas wajah Atet dan Imah silih-berganti di pelupuk mata. Mereka membisu. Batu. Mungkinkah aku sanggup mengatakan bahwa tak jadi mudik? Apa tanggapan mereka? Seorang ayah pendusta. Suami pembohong. Atau, ada pelakor di antara kami?
"Aku tak jadi mudik, Hot." Lelaki tegar ini akhirnya berurai air mata. Lamhot menepuk pundakku. Dia memintaku bersabar.
Apakah lukaku lebih perih dari apa yang dia rasakan? Di saat orang lain bergembira menyambut hari fitri bersama keluarga, dia selamanya tabah di atas roda. Hampir dua puluh tahun. Â Paling tidak sehari-dua dalam lima bulan, dia bisa melunaskan waktu bersama keluarga. Tentang hari fitri, biarkanlahÂ
"Di saat orang lain bisa mendapatkan hari kemenangan setelah sebulan penuh, kita harus tetap berjuang, dan bersabar untuk menggembirakan orang. Membuat mereka nyaman. Membuat senang. Kau tak membayangkan betapa susah mereka yang bekerja di kilang lepas pantai. Saat orang lain takbir merayakan kemenangan, di sekeliling mereka hanya ada desah ombak yang terkadang menggeram. Pekik burung yang rindu kepada pasangannya. Tapi pekerja kilang itu tetap tertawa. Sesama pekerja, anggaplah satu keluarga. Seperti aku, penumpang adalah kakak-adikku. Â Ayah-ibuku. Tersenyumlah. Kita telah ditakdirkan bekerja dalam penat, meski tak usah senyap dari canda-tawa."
Ucapan Lamhot terus terngiang hingga aku sendirian membelah malam. Terasa ada denyar semangat menghapus kekalahan. Tapi, setelah aku berada dalam kamar, rasa kalah itu membenam ke ceruk luka terdalam. Aku gamang memegang ponsel. Kendati akhirnya melukai, ketakterusterangan akan memperkeruh suasana. Segera kutekan beberapa angka di layar ponsel. Terdengar suara rindu yang menelusup gendang telinga; Imah. Atet menjeritkan nama ayahnya.
"Eh, kebetulan ayah bertelepon. Padahal aku juga mau bertelepon." Seorang suami ini akhirnya lungkrah. Imah mungkin ingin menanyakan tentang mudik. Aku menggigit bibir bawah. Mencoba agar air mata tak terbit di kelopak, tapi tumpah di dada.
"Aku…" Suaraku terputus.
"Ada berita gembira." Imah terdengar bergairah. "Om Bi kan sedang berada di kampung."